“Lang!” teriak seorang perempuan memanggilku dari luar kamar. “Galang,” panggilnya lagi. “Tangi, Le! Gak jemput Amel ta?”
“Nggih, Buk!” balasku setengah sadar dari dalam kamar.
Tapi, kok ibu bisa tahu aku mesti jemput si Amelia, malam ini? Aku kan gak cerita ke beliau. Mungkin saja, bapak yang kasih tahu. Aku lihat jam dinding hitam bergambar logo huruf A dan W putih yang saling tumpuk. Telunjuknya yang pendek mengarah ke angka 5, sementara telunjuk panjanganya menunjuk angka 1. Sudah jam lima sore.
Rupanya aku ketiduran setelah bermain gitar tadi. Paracetamol memang jos markuojos! Pantas, orang berkendara dilarang mengonsumsinya.
Aku pun merenggangkan ototku yang kaku, lalu menengok ponsel. Ada beberapa pesan percakapan via WhatsApp. Masih dalam keadaan terbaring, aku baca siapa saja yang mengiriku pesan. Yang terbaru ada si Ameliaia Limantoro yang mengingatkanku untuk menjemputnya tepat jam tujuh malam. Ak
DI beranda, Suk Budi sepertinya mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Rupanya, dia mengambil cangklong bambu-gading berukir, korek api, dan sejumput tembakau dan cengkeh. Suk Budi duduk di seberang Koh Vincent yang sibuk mengamati kliping berita.Cangklong itu pipa rokok atau once, kalok kalen gak tau.Jari-jari Suk Budi tampak lincah saat mencampur tembakau dan cengkih. Ramuan jamu itu dia masukkan ke ujung pipa yang menyerupai cawan. Suk Budi kemudian membakarnya dengan korek api.Pria tua Tionghoa ini memejamkan mata dan menghirup nikotin dengan sungguh-sungguh. Asap yang keluar dari mulutnya sama seperti asap knalpot becak tua.Saat menghisap pipa rokok, Suk Budi terlihat lebih karismatik. Tapi menurutku, dia juga pria berkelas. Cangklong memang perangkat legendaris. Berdasarkan sejarahnya, alat tersebut sudah digunakan jauh sebelum industri rokok berkembang.Setelah itu, Suk Budi putar berdiri lalu mengantarku masuk ke ruang tamu da
DARI kejauhan, aku melihat lampu pengatur lalulintas berubah menjadi merah. Kuhentikan mobil di belakang mobil pikap yang mengangkut sejumlah penumpang bergamis. Mereka tampak sedang koor dengan bahasa Arab yang tak aku tahu artinya. Bunyi rebana-rebana membahana mengalahkan bising lalulintas. Ada acara apaan, tanyaku dalam hati?Setelah berkendara beberapa lama, kami masuk Jalan Ahmad Yani. Dari kejauhan, aku bisa melihat gedung Emerald Exhibition and Convention Center diterangi lampu-lampu sorot yang diarahkan ke langit. Puluhan mobil tampak mengular antre demi masuk ke parkiran.FYI, Gedung Emerald ini merupakan salah satu gedung paling megah se-Kota Surabaya. Bangunan ini biasanya dipakai untuk perhelatan acara besar, seperti kongres partai politik, pameran otomotif, hingga bursa lowongan kerja.Selain itu, Gedung Emerald ini memang biasa dipakai oleh orang-orang kaya menggelar resepsi, lantaran ballroom-nya yang super luas dan desainnya yang modern. Fasilit
“BENERAN, nih, Mel,” tanyaku setengah menggeram.Amelia tak langsung menjawabku. Dia malah memarahi manja Kirana karena telah membocorkan rahasianya. Menurutku sih, itu bukan keterampilan yang mesti dia rahasiakan.Demi memproses informasi yang terbaru tentang Amelia ini, aku pun pamit ke dua cewek ini untuk menenangkan diri di luar gedung. Sementara dua cewek cantik ini, melanjutkan mengobrol cantik mereka. Padahal aku cuma ingin merokok.Di luar gedung, aku bisa melihat Jalan Ahmad Yani yang hidup. Cahaya-cahaya dari lampu kendaraan melesat-lesat tak keruan. Di awang-awang, langit tampak cerah menampilkan kerlap-kerlip bintang. Aku jadi membayangkan si Amelia di tengah panggung memainkan biola, sambil disorot lampu. Betapa syahdunya.Di tengah menatap langit itu, aku tiba-tiba teringat dua lintang kemukus yang menjelma bidadari, kemarin. Juleha. Aku periksa WhatsApp di ponsel. Doi tak juga membalas. Rokokku pun sudah habis. Setelah mematikan
AKU pun masuk barisan sambil malas-malasan.Kirana berinisiatif swafoto berempat. Kami pun mulai berpose menyesuaikan diri dengan lebar layar kamera. Dan, cekrek, bunyi shutter ponsel. Kirana lantas melihat-lihat hasil foto lalu mengaguminya. Pada saat itu, ada suara berbisik di telingaku.“Sopo maneh iki?” bisik Mas Inod kepadaku. (Siapa lagi ini?)“Ojok mulai nggosip,” aku menjawab. (Jangan mulai bergosip)“Lha, yang berhijab dulu mana?” tanya Mbak Wulan berbisik.“Jangan mulai bergosip,” aku mengulangi.Kirana lantas berbalik mengadap kami bertiga. Mas Inod, Mbak Wulan dan aku pun langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa.Aku dan Kirana lantas bersalaman, lalu mengucap terima kasih kepada Mas Inod dan Mbak Wulan. Kirana pun berbalik dan mulai berjalan di depanku. Ketika itu, pantatku didorong Mas Inod, hingga ‘senjataku’ hampir menyentuh pantat Kirana. Untung aku pu
Bunyi dawai-dawai yang digesek busur Amelia Limantoro sungguh menghanyutkan. Seolah-olah perasaanku yang campur aduk malam ini, terwakili oleh permainan biolanya yang menakjubkan.Aku merasa, ada kebahagiaan dalam nada-nada mayor, dan ada pula kesedihan dalam nada-nada minor. Semuanya terjalin kelindan dalam satu harmoni yang agung. Sampai-sampai, aku tak sadar tanganku menggenggam tangan Juleha.Kendati terkejut, aku tak ingin segera melepas genggaman tanganku padanya. Aku masih bersikukuh merasakan kasarnya telapak tangan Juleha. Pikiranku seakan terhubung, betapa keras dan seringnya telapak ini digunakan, hingga menimbulkan bilur dan lecet. Sebagai laki-laki, aku jelas tak sampai hati. Juleha adalah wanita yang kuat nan tabah.Seingatku, sejak kami masih kecil aku tak pernah menyentuhnya dengan sengaja, walau sekedar telapak tangan. Meski Juleha orang yang suka ngomel, aku sangat menghormatinya, sebagai seorang perempuan. Tapi, aku sendiri tak mengerti, menga
“JUWONO!” panggil Suk Alex. “Ambil kursi, bawa ke sini!”Yang dipanggil pun manut. Ketika berdiri dari tempatnya duduk, aku bisa melihat, perawakan Juwono ini jangkung nan tegap. Dengan balutan jas hitam, dia seperti pengawal pribadi Suk Alex. Rambutnya yang pendek rapi, membingkai wajahnya yang oval.Dengan berkacamata, ada kharisma sekaligus kecerdasan yang terpancar. Aku menaksir, usianya setara dengan Koh Vincent, putra sulung Suk Budi. Juwono menyeringai, membetulkan kerah jas, lalu menuruti perintah bapaknya.“Itu putra tertua Suk Alex,” bisik Amelia.Ketika Amelia berbisik itu, aku bisa mengendus aroma mint. Ingin rasanya kugeser pipiku supaya bertemu bibirnya yang tipis-mungil itu. Tapi, aku jadi bertanya-tanya, apa yang telah diperbuat kakekku, sehingga cucunya bisa menerima kehormatan, diambilkan kursi secara langsung oleh putra sulung tuan rumah.Oleh Juwono, kursi yang diambilkannya itu kemudian
"Ambil itu! Yang itu juga!" orang Tionghoa tua itu memerintahkan dengan suara yang keras dan serak kepada anak buahnya.Para katering yang sibuk merapikan makanan tampak ketakutan oleh beberapa orang besar yang mendatangi mereka. Padahal mereka sama-sama orang Jawa.Tiba-tiba aku merasakan seseorang memperhatikan aku lagi. Kali ini, lebih intens dari sebelumnya."Troy!" sapa Alex dengan berdiri lantas membuka tangannya lebar-lebar."Dasar tua bangka! Ngundang gua ke pesta malam-malam!" jawabnya kasar lalu menyapa Alex dengan pelukan ramah.Dari jarak sedekat ini, aku bisa menamatkan wajah enkong Tionghoa satu ini. Wajahnya persegi dibalut rambut cepak ala militer njeprak. Bekas luka di wajahnya yang aku sebutkan sebelumnya, bukan luka bekas luka sayat atau akibat benda tajam lainnya, tapi lebih seperti luka bakar. Dan itu berbekas di separuh wajah dan telinganya.Orang tua yang dipanggil Troy itu lalu menatap Cak Ji. Dia tersenyum sejenak la
VROOOMMM! Gemuruh suara kenalpot mobil mungilku melengkapi suasana semarak kerlap-kerlip lampu kota metropolitan. Kendati sudah hampir larut, denyut hiruk pikuk kehidupan masih kentara di kota terbesar kedua di Indonesia ini.Di Jalan Ahmad Yani ini, aku mendengar suara gemuruh memburuku dari arah belakang. Aku menoleh dari kabin kemudi, gandengan gerbong-gerbong kereta api melesat mendahuluiku. Kugeser tuas perseneling manual mobil lebih tinggi lagi. Lantas kutancap pedal gas lebih dalam.Aku berpikir, apa yang ada di benak Juleha saat dia tahu aku dan Amelia pulang malam-malam begini. Apalagi dengan adegan dalam kabin mobil tadi. Aku khawatir Juleha salah paham. Pada saat yang sama, aku memergoki Juleha sedang bersama dengan pria lain. Aku tidak terima!"Mau ke mana kamu habis ini, Lang?" tanya Amelia malu-malu."Gak tahu!" aku tidak sadar mengatakannya dengan berseru.Dari paparan cahaya lampu kota yang menembus kaca depan mobil, aku
Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin
KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k
AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g
CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun
Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah
"UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."
KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t
“ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A
“AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua