Beranda / Urban / Atas Nama Pohon Suci / 37 | Pop the Cherry (21+)

Share

37 | Pop the Cherry (21+)

Penulis: DiAndRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

VROOOMMM! Gemuruh suara kenalpot mobil mungilku melengkapi suasana semarak kerlap-kerlip lampu kota metropolitan. Kendati sudah hampir larut, denyut hiruk pikuk kehidupan masih kentara di kota terbesar kedua di Indonesia ini.

Di Jalan Ahmad Yani ini, aku mendengar suara gemuruh memburuku dari arah belakang. Aku menoleh dari kabin kemudi, gandengan gerbong-gerbong kereta api melesat mendahuluiku. Kugeser tuas perseneling manual mobil lebih tinggi lagi. Lantas kutancap pedal gas lebih dalam.

Aku berpikir, apa yang ada di benak Juleha saat dia tahu aku dan Amelia pulang malam-malam begini. Apalagi dengan adegan dalam kabin mobil tadi. Aku khawatir Juleha salah paham. Pada saat yang sama, aku  memergoki Juleha sedang bersama dengan pria lain. Aku tidak terima!

"Mau ke mana kamu habis ini, Lang?" tanya Amelia malu-malu.

"Gak  tahu!" aku tidak sadar mengatakannya dengan berseru.

Dari paparan cahaya lampu kota yang menembus kaca depan mobil, aku

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Atas Nama Pohon Suci   38 | Selamat Datang

    DOK! Dok! Dok!Bunyi nyaring pintu diketuk itu membuatku terbangun tipis-tipis. Siapa pula yang mengganggu waktu istirahatku? Padahal, setelah semua yang terjadi semalam, aku masih ingin tidur lebih lama lagi. Khususnya momen hangat dengan Amelia. Doi benar-benar menguras habis tenagaku.Dok! Dok! Dok!"Mas, digoleki Cak Kentung," suara Yeyen dari balik pintu kamarku."Opo?" aku setengah sadar. "Kentung opo'o?""Metuo!" perintah Yeyen. (Keluarlah!)“Yo!”Jam berapa sekarang? Aku pun merenggangkan otot lantas meraih ponsel dengan malas-malasan. Layar ponselku menampilkan angka 09.00 A.M. What? Baru jam sembilan pagi rupanya. Aku kira sudah jam sebelas atau malah jam dua belas. Jadi, baru sekitar lima jam saja aku tertidur. Kendati begitu, aku tak merasa pusing, meski sedikit capek.Aku pun keluar rumah untuk menunjukkan kalau aku sudah bangun. Di luar rumah, Kentung sedang terduduk di badukan rumahku sambil merokok.

  • Atas Nama Pohon Suci   39 | Sang Hawa

    CEWEK itu lantas berlari-lari kecil menuju warung Yuk Tari. Aku harus menguatkan diri. Soalnya, dua tonjolan itu mengayun seakan hendak lepas dari tempatnya. Aku ingin sekali menolongnya.Kukeluarkan satu bungkus rokok dari saku, mengambil sebatang, dan menyalakannya. Aku meletakkan sebungkus rokok itu di atas meja. Joko menyambarnya tanpa meminta izinku. Ya, aku tahu apa itu voluntary cooperation, mutual aid, and direct action. Benar-benar bocah punk sejati.“Yuk Tari," sapa cewek itu kepada pemilik warung. "Tumbas sabun?"Oh, mau beli sabun rupanya.Seakan mengetahui ada cowok di sampingnya, dia menoleh. Saat saling menatap itulah, aku dibuatnya terkejut. Rupanya, cewek ini yang melempar cium jauh kepadaku dari atas mobil pikap yang berjalan, tempo hari.Anjir! Kok malah ketemu di sini, sih.Woi! Kok doi malah melengos? Gak ingat aku apa? Yang kasih dia cium jauh duluan itu. Aku protes dalam hati. Padahal, cium jauh itu aku lakukan u

  • Atas Nama Pohon Suci   40 | Sang Pejudi

    "MAU, aku kasih les tambahan," Sekar menawariku dengan lembut nan manja.Ya ampyun! Suaranya merdu sekali sampai terngiang-ngiang di telingaku. Aku tak ingin kesyahduan ini cepat berakhir. Biarkan saja dia merajuk nantinya. Yang penting aku ingin menikmati kehangatan sekaligus keda ..."Mas!" ada suara perempuan lainnya. "Mas, woi!"Aku terkejut dengan sentakan Yuk Tari. Sampai-sampai, gelas es teh-ku nyaris tersenggol lenganku. Lho! Mana si Sekar tadi? Aku pun menoleh ke kanan dan kiri. Doi raib, coy!"Sekar nang ndi, Yuk?" tanyaku panik."Wes balik nang Arini" katanya. "Lha sampeyan dijak, meneng ae.”Anjir! Sampai ngelamun aku dibuatnya."Hape-ne sampeyan muni terus iku, loh!" Yuk Tari memberitahuku.Aku pun mengambil ponsel, lalu kulihat ada nama Kentung, menelepon via WhatsApp. Ada apa raja tuyul itu menghubungi?"Halu?" aku menjawab panggilannya."#$_&=©%," kata Kentung."Opo?" aku gak

  • Atas Nama Pohon Suci   41 | Wisma Arini

    BELUM jauh meninggalkan rumah berserabut hitam Pak Wayan, alarm radar feromonku meraung-raung. Aku pun mendorong tubuh sekaligus kepala sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Meskipun aku tahu, kalau posisi duduk tegak pun jangakauan pandanganku sama saja.Tapi aku bersikeras fokus menemukan Sekar!Rupanya, di blok ini, semakin banyak perempuan usia produktif yang berseliweran. Di sebelah kanan-kiri jalan, aku bisa melihat setiap rumah memasang kaca besar seukuran terasnya.Di kaca itu, tertempel semacam stiker kayak yang tertempel di kaca kios-kios tukang pangkas rambut. Ada yang bertuliskan BARBARA, MADONNA, ANGELA dan lain sebangsa nama-nama hot lainnya. Dari balik kaca jendela, aku memergoki ada sejumlah cewek ketawa-ketiwi di dalamnya.Sedikit lebih jauh, di sebelah kiri, aku bisa melihat kedai semipermanen punya Yuk Tari. Ternyata, dari blok ini, bisa memotong jalan melintasi rumah-rumah yang gak berpagar, ke blok lainnya, seperti ke blok-nya Yuk Tari

  • Atas Nama Pohon Suci   42 | Wisma Arini 2

    AKU pun jadi gak enak hati menepis pemberiannya itu, ya kan. Ya udah, daripada aku membuat hatinya terluka karena penolakan, aku hormatilah dia dengan meneguk isi gelas dimple mug itu. Tapi separuh dulu ya? Aku gak kuat kalau langsung habisin dalam sekali tenggak."Habisin!" perintah Sekar.Oke, siap!Terdengar suara cekikikan.Lalu, seperti biasa, Kentung mulai memecah kesunyian dengan menarikku duduk kembali. Kuteguk cepat-cepat minuman hasil fermentasi tanpa disuling itu, hingga meluber ke sisi-sisi mulutku. Segar rasanya, sampai-sampai kedua bola mataku lebih sensitif terhadap cahaya."Musyrik ...!" pinta Kentung untuk memainkan musik kembali.Layar LCD pun berganti menampilkan dua sejoli di tengah hamparan taman bunga. Yang laki-laki mengenakan jas putih, sementara yang perempuan mengenakan gaun dengan warna yang sama. Dalam adegan lambat mereka saling mengejar, berpelukan, tertawa dan lain sebagainya.Lalu di bagian bawah, muncu

  • Atas Nama Pohon Suci   43 | Sang Biduan

    “AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua

  • Atas Nama Pohon Suci   44 | Sebuah Janji

    “ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A

  • Atas Nama Pohon Suci   45 | Upeti

    KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t

Bab terbaru

  • Atas Nama Pohon Suci   51 | Soundrenaline 4

    Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin

  • Atas Nama Pohon Suci   50 | Soundrenaline 3

    KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k

  • Atas Nama Pohon Suci   49 | Soundrenaline 2

    AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g

  • Atas Nama Pohon Suci   48 | Soundrenaline

    CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun

  • Atas Nama Pohon Suci   47 | Windbreaker

    Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah

  • Atas Nama Pohon Suci   46 | Upeti 2

    "UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."

  • Atas Nama Pohon Suci   45 | Upeti

    KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t

  • Atas Nama Pohon Suci   44 | Sebuah Janji

    “ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A

  • Atas Nama Pohon Suci   43 | Sang Biduan

    “AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua

DMCA.com Protection Status