Setelah Ardi mengusir Violet dengan cara paksa, Cherry kembali ke kamarnya. Sesuai niatnya tadi, ia akan menghubungi Kalila yang beberapa panggilannya tidak terjawab. Cherry duduk di tepi ranjang, meletakkan ponselnya di telinga hingga suara seorang wanita terdengar dari ponsel itu.
“Halo Cher..,”
“Halo, Bun, tadi Cherry liat ada beberapa panggilan dari bunda. Tapi gak keangkat, soalnya Cherry baru bangun. Kenapa, Bun?” tanya Cherry. Ia menjelaskan alasan mengapa tak menjawab telepon bundanya
“Iya sayang bunda hapal banget kebiasaan kamu. Gak apa-apa, bunda cuma mau tahu kabar kamu aja. Kamu sehat sayang?”
Cherry merasa bersyukur, karena meskipun kurang beruntung dalam hal percintaan, setidaknya ia beruntung karena masih memiliki keluarga lengkap dan harmonis. Bunda dan ayahnya selalu memberikan limpahan kasih sayang pada dirinya, dan Langit, kakak laki-lakinya itu terkesan tidak peduli tapi sebenarnya
“Keira?” tanya Green bingung, pasalnya sejak tadi ia tak melihat manusia lain selain dirinya dan Langit.“Keira mana?” tanya Langit sekali lagi.Mata Green mencari-cari ke segala penjuru, barangkali sepeninggal dirinya tadi memang ada manusia lain yang datang ke rumah. Sebenarnya ia tidak yakin, namun melihat Langit bersikap demikian tidak salah bukan jika Green berpikir sempat ada orang lain di rumah ini selain dirinya dan Langit? Setelah mengamati semua sudut dan mengecek ke luar, Green kembali duduk dan berbicara pada Langit.“Gak ada Keira, Kak,” tutur Green.“Ada, tadi saya liat Keira.”“Gak ada, Kakak cuma mimpi. Barusan saya udah cek ke luar, gak ada siapa-siapa.”“Ada, Green,” Langit mengatakannya dengan sangat yakin.“Ga ada, Kak.”“Kei…” Langit kembali memanggil nama itu, berharap orang tersebut segera muncul dan men
Setelah kepergian Alta, Daren tersenyum miring. Ia senang karena sepertinya Alta termakan ucapannya. Daren sengaja mengatakan hal demikian agar Alta tak menyesal nantinya, ia tahu betul bahwa temannya itu hanya menjadikan Reina pelampiasan, hati dan cinta Alta sepenuhnya untuk Green. Hanya karena Green berada di kota yang berbeda, Alta jadi bersikap seenaknya, dan Daren ingin Alta kembali ke jalan yang benar. Menurut Daren, Alta dan Green adalah pasangan yang serasi, mereka saling mencintai dan mengasihi, sebagai teman ia ingin Green dan Alta bisa bersama sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Daren tak benar-benar ingin merebut Green, hanya sekadar ingin tahu reaksi Alta saat ia mengatakan hal itu, dan benar saja Alta langsung meradang saat mendengarnya.“Al… Al, udah dikasih cewek modelan Green, masih aja nyari kerikil jalanan,” tutur Daren sambil kembali memusatkan perhatiannya pada layar monitor.Perhatian Daren sedikit teralihkan saat meli
Langit menyentil dahi Green cukup keras hingga menimbulkan suara rintihan dari bibir wanita itu. “Aduhhhh sakittttt.”“Kamu itu kebanyakan hah hoh hah hoh.”“Ya kan saya gak terlalu denger kakak ngomong apa tadi, saya cuma denger─”“Udah jangan diterusin.” Langit memotong ucapan Green. Rasa kesal karena wanita itu membicarakan hal buruk tentangnya sudah reda sejak tadi.“Kak…”“Hmm?” jawab Langit sambil menyandarkan tubuhnya, kepalanya masih sedikit pening, sepertinya obat yang diberikan Green tadi belum bekerja secara maksimal.“Jangan dikasih C ya, plis,” tutur Green dengan rasa tidak enak.“Enggak.” Langit memijit pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa sakit.“Makasih, Kak, sekali lagi saya minta maaf.” Green lega karena posisinya aman, ternyata Langit tak sekejam itu.“Gak saya kasih C tapi D,&rdq
"Kakak darimana aja? Kenapa baru pulang?" Cherry langsung memberondong Langit dengan banyak pertanyaan begitu laki-laki itu membuka pintu. "Ada urusan," jawab Langit singkat. Cherry mencium gelagat aneh dari sang kakak, ia yakin kepergian Langit berhubungan dengan Green. "Udah gak usah kepo, urusan orang dewasa!" lanjut Langit yang paham isi kepala Cherry. Cherry mecebikkan bibirnya kesal, Langit berbicara seolah dirinya masih balita. "Gue udah dewasa woii." "Belum cukup umur," timpal Langit sambil terus berjalan menuju kamarnya, saat tengah melintasi ruang tamu matanya tak sengaja tertuju pada guci antik yang masih terpajang. "Nanti tolong minta bi Ruri buat pindahin guci itu ke gudang!!" ucap Langit sambil melenggang pergi. "Kenapa harus dipindahin ke gudang, bukannya dulu Kak Langit yang pengin guci itu disimpen di ruang tamu?" gumam Cherry dalam hati. Ia bingung dengan Langit, laki-laki itu terkadang bersikap labil dan sulit dipahami.
Keesokan harinya Green dan Zafran di panggil menghadap Ronal—pemilik minimarket, Green bingung mengapa lelaki tersebut memanggil dirinya, seingatnya ia tak melakukan kesalahan apapun. “Zaf, ada apa ya?” tanya Green gelisah. Zafran mengedikkan bahunya cuek. “Gak tahu.” Saat ini, Green dan Zafran berdiri di hadapan atasan mereka dengan perasaan tak menentu. Terutama Green, entah benar atau hanya perasaannya saja, tapi sejak kehadiran dirinya di ruangan itu pak Ronal menatapnya dengan tatapan tajam, sangat kentara bahwa pria itu tengah menahan amarah. “Green...” Deg!! Pak Ronal memanggil namanya dengan suara berat, firasat Green sangat tidak enak, tapi ia berusaha tetap tenang, toh ia tidak melakukan pelanggaran apa pun. “Iya, Pak?” jawab Green kalem. “Kamu saya pecat!” Green kaget bukan main mendengar penuturan Ronal, jujur saja ia tak tahu di mana letak kesalahannya sehingga Ronal mengambil tindakan tega
Green yang saat itu tengah dipenuhi amarah, kekesalan, dan merasa dirugikan mendatangi rumah Langit, ia sudah siap untuk mengomeli laki-laki tersebut. Menurutnya, apa yang terjadi hari ini sedikit banyak disebabkan oleh Langit yang tiba-tiba datang dan mengajaknya berbicara di luar malam itu. "Eh Non Green, mau ketemu Non Cherry, ya?" tanya Ardi yang tengah berjaga di pos satpam, seperti biasa laki-laki botak itu tengah sibuk dengan ponselnya. "Enggak Pak Ardi, saya mau ketemu kak Langit," jawab Green cemberut, amarah di wajah ayunya sudah tak bisa disembunyikan lagi. Ardi yang melihat itu segera membuka gerbang dan menyuruh Green masuk. "Silakan masuk non." Green berjalan dengan langkah lebar, sesampainya di depan pintu ia segera menekan bel berkali-kali. "Eh si cantik, bibi pikir debt colector tadi." Ruri terkekeh pelan, napasnya sedikit tersengal karena tergopoh-gopoh membuka pintu. Green menjawabnya dengan senyum tipis, asisten rumah tang
Fajar telah menyingsing menandakan malam telah berlalu, bulan telah kembali ke peradunya. Ada namun tak terlihat, begitulah kira-kira. Sang raja siang menyembunyikan dewi malam karena ingin sang dewi beristirahat sejenak usai menghibur lara yang dialami manusia saat malam tiba. Lara milik Green, salah satunya. Green baru bisa terlelap upukul 05.00 pagi, tidak ada yang menemaninya selain sang dewi. Kini, wanita itu masih bergulat dengan selimut merah muda yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. ‘Kringgggggggg…,’ suara alarm yang memang di setting pada pukul 06.00 pagi itu adalah pengingat agar Green tak kesiangan, jika biasanya Green akan langsung bangun begitu mendengar suara tersebut, yang terjadi hari ini malah sebaliknya, Green mematikan alarm itu dan melanjutkan tidurnya. Tak ada tanda-tanda ia akan bangun, padahal waktu telah menunjukkan pukul 06.40, seharusnya Green sudah tiba di kampus mengingat kelas akan dimulai pukul 07.00. ‘Dr
Untuk kamu yang pernah terluka di masa lalu Siapa pun dan di mana pun kamu berada, jika saat membaca kata demi kata dalam buku ini sedang merasa tidak baik-baik saja, masih terluka karena sosok yang pernah hadir kemudian pergi tanpa sepatah atau dua patah kata, tidak apa-apa. Berikan jeda pada dirimu untuk kembali menata hati, tidak perlu terlihat seolah baik-baik saja. Nanti, akan ada waktu di mana kamu bisa memaknai segalanya, dan ketika waktu itu datang, kamu akan sadar bahwa bukan dunia yang tak ramah padamu, melainkan kamu yang terlalu terpaku pada setiap luka dan rasa sakit. Hingga kamu lupa betapa setiap luka dan rasa sakit akan mengantarkanmu pada kehidupan baru, kehidupan di mana kamu bisa lebih menyeleksi siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh masuk ke dalam ruang terpenting dalam hidupmu. Bukan menutup diri, hanya saja membatasi. Untuk apa? sekadar tidak memberi kesempatan bagi mereka yang datang dengan tujuan kurang, belum, bahkan tidak baik sama sekali. Entah sudah