Hari berlalu begitu cepat, durasi perjanjian Langit dan Green akan berakhir bulan depan. Belum ada tanda-tanda Green membuka hati untuk Langit. Terlebih, ada Alta yang saat ini tengah berusaha terus menerus mendekati Green. Hal itu membuat Langit kesal, kekesalan yang tertahan karena ia tak berani mengutarakan, begitulah kiranya yang dirasakan Langit.
Seperti siang ini, Langit mendapati Green berbalas pesan dengan Alta, padahal wanita itu tengah bersama dirinya.
“Ponselnya boleh tolong dinonaktifkan? Fokus, Green!” ucap Langit pelan, namun tegas.
“Oke,” jawab Green menurut.
Green membiarkan ponsel tersebut menyala, namun meletakkan benda itu di atas meja, matanya sesekali menatap benda pipih tersebut sembari mengedit naskah.
“Dinonaktifkan gak bisa?” tanya Langit kesal.
“Gak bisa, nanti susah nyala laginya.” Green memberikan penjelasan singkat.
Langit manggut-manggut, tanda bahwa ia paha
“Please, kasih aku kesempatan ya?”Green mengalihkan pandangan, mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Hatinya tak lagi merasakan desiran apa pun saat Alta menciumnya tadi. “Green..,”“Hmmm?”“Kasih aku kesempatan, aku janji gak akan mengulang kesalahan yang sama.” Janji itu terdengar sangat meyakinkan, namun tak membuat hati Green bergetar. “Maaf Al, aku gak bisa,” tolak Green dengan tatapan tegasnya.“Karena Langit?” tanya Alta ingin tahu.“Aku pulang ya,” pamit Green tanpa menjawab pertanyaan Alta.“Aku anter.”“Gak usah,” tolak Green lagi.“Kenapa? Dulu kamu gak pernah nolak.” “Al, semuanya udah beda, gak s
Reina benar-benar membuktikan ucapannya, tiga hari setelah mengatakan soal kepindahannya pada Daren, wanita itu meninggalkan seluruh kehidupan lamanya di kota yang mengingatkan dirinya pada Alta.Di tempat ini lah Reina sekarang, rumah sederhana yang berada di pusat kota Jakarta. Suasana dan tempat baru, ia berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah masalah percintaan yang merenggut hampir seluruh kebahagiannya.Daren ikut bersama Reina, bukan ikut untuk tinggal bersama. Melainkan hanya mengantar dan membantu proses kepindahan wanita tersebut. Sebenarnya bisa saja Daren ikut pindah, mengingat Jakarta adalah kampung halamannya. Tapi, ia tak mau seperti Alta dan Reina yang memilih melanjutkan kuliah mereka di kota tersebut. Daren bertekad menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, sembari membuktikan keseriusannya pada Reina, ia ingin menunjukkan pada wanita tersebut bahwa tidak semua lelaki seperti Alta, sekalipun jarak memisahkan mereka.“Rei, ini diga
“Gak apa-apa kan ngegombalin calon suami?”Langit mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit tak percaya dengan yang Green katakan. Ia mencubit pipi Green untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi.“Aww. Sakit, Kak!” Green memegang pipinya yang dicubit Langit. Ia merengut kesal karena kelakuan lelaki itu.“Eh, yang mana yang sakit?” tanya Langit panik.Langit mengusap pipi Green dengan gerakan lembut, bibirnya tak henti tersenyum menyadari bahwa apa yang diucapkan Green beberapa saat lalu bukan mimpi.“Pipi lah, kan yang dicubit pipi,” ketus Green.“Hehe maaf, saya pikir mimpi tadi. Boleh diulang pertanyaannya?” “Gak!”“Ulangi dong, saya mau denger,” pinta Langit dengan nada memelas.“Gak, Kak Langit,” tekan
Satu tahun telah berlalu, Green sudah lulus kuliah dan berhasil menggapai cita-citanya, begitupun dengan Cherry dan yang lainnya. Saat ini, mereka tengah sibuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Ada yang masih berkutat dengan urusan percintaan yang tak kunjung selesai, ada pula yang cuek bebek dan memilih fokus pada diri sendiri.Cherry dan Zein masih berpacaran, begitupun dengan Zein dan Violet yang juga masih main belakang. Reina dan Daren? Sesuatu yang mengejutkan terjadi, Daren menikah dengan wanita lain, kabarnya lelaki itu dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Sementara Reina, wanita tersebut memilih menyibukkan diri memperdalam skill memasaknya. Ya, Reina mendaftar kelas memasak, ia bercita-cita membuka restoran suatu hari nanti.Green dan Langit? Setelah perjalanan panjang, melewati lembah dan gurun serta lautan, akhirnya mereka menikah. Dua bulan lalu, acara pernikahan itu digelar dengan sederhana, sesuai permintaan kedu
Tepat setelah mengatakan itu, Langit membopong tubuh Green dan membawanya kembali ke kamar. Jika sudah begitu, Green tak punya kesempatan untuk menghindar apalagi menolak. Karena semua penolakan dengan dalih apa pun, tak akan digubris oleh Langit. Lagipula, yang bersamanya saat ini adalah Langit, suami yang ia cintai sepenuh hati.Mata mereka saling bertemu, kemudian berbalas senyum. Setelahnya, terjadilah keintiman di antara keduanya. Langit memulai dengan menyentuh tubuh dan mencium bibir Green lembut. Green sangat terbuka merespons sentuhan itu. Tanpa diminta, ia mengalungkan tangannya di leher Langit. Mereka yang belum lama menikah benar-benar menikmati setiap detik momen hangat yang tercipta.Tanpa berpikir panjang, Langit segera melucuti seluruh kain yang menempel pada tubuh Green. Gairahnya sudah memuncak, dan menuntut untuk segera dituntaskan.Suara cecapan dan kedua bibir yang saling melumat memenuhi ruangan itu. Bagi mereka yang tengah dimabuk asmara,
“Sayang, kita kan udah pacaran lama. Kamu Gak ada niatan untuk ngenalin aku ke keluarga kamu gitu?” tanya Cherry saat mereka tengah berduaan di apartemen Zein.Zein diam sejenak, kemudian menjawab dengan senyum merekah. “Ada dong.”Bola mata Cherry berbinar mendengar jawaban Zein, ia menatap lelaki itu untuk meminta penjelasan. “Kapan?”“Nanti.”“Hmmm, oke deh.” Cherry tak mau bertanya lebih jauh, ia tak ingin mencari keributan dengan lelaki itu.“Maaf kalau aku terkesan cuek dan gak peduli. Tapi, kamu harus tahu kalau aku itu sayang sama kamu,” ungkap Zein yang sontak membuat hati Cherry berbunga.Memang benar yang dikatakan Cherry, mereka berpacaran sudah cukup lama. Namun, hingga kini tak ada tanda-tanda bahkan pembicaraan yang mengarah ke jenjang yang lebih serius. Sebagai wanita, tentu saja Cherry ingin mendengar keseriusan dari lelaki yang dicintainya. Apalagi saat
“Siapa sosok di balik lingerie merah itu?”Ekspresi kesal Zein kembali terlihat. Wajahnya tampak mengeras, menandakan laki-laki itu tak suka dengan pertanyaan Cherry. “Bisa kita bahas soal lingerie itu nanti aja?”“Gak bisa,” tegas Cherry. “Aku mau sekarang,” sambungnya.“Cher, nurut sama aku bisa, kan?” Zein memberikan tekanan di setiap katanya.“Zein…”“Sayang, lihat aku.” Zein memegang dagu Cherry hingga mata keduanya bertemu. “Aku gak mungkin main belakang. Cinta dan sayang aku sepenuhnya cuma buat kamu. Gak ada yang lain. Kamu percaya, kan?” potong Zein sebelum Cherry menyelesaikan ucapannya.Ingin sekali Cherry menggeleng keras. Mana bisa ia percaya begitu saja setelah menemukan baju dinas malam di kamar lelaki itu. Cherry sangat yakin, apa yang terjadi sebenarnya tidak sama dengan yang Zein katakan. Namun, di hadapan Zein ia memilih
“Aw! Lo kalau jalan bisa pake mata gak, sih?!” bentak seorang wanita yang tampak buru-buru, ia kesal pada sosok menjulang tinggi yang seperti sengaja menabrak dirinya.“Sori.”“Sori-sori, mata lo udah gak fungsi ha?” hardiknya sembari membereskan tumpukan kertas yang berceceran.“Jangan marah-marah, nanti cepet tua.”Suara itu, suara yang amat Sindi kenal. Ia mendongak, menatap siapa sosok yang telah menabraknya barusan. Tepat saat netra mereka bertemu, detik itulah matanya terbuka sempurna.“Altair! Ini beneran lo?” tanya Sindi dengan raut terkejut.“Yaiya lah, lo pikir?!” jawab Alta sembari membantu Sindi membereskan tumpukan kertas tersebut.“Ngapain lo di sini?” Sindi heran, mengapa tiba-tiba Alta berada di Bandung, terakhir bertemu lelaki itu masih di Jogja.“Jalan-jalan aja,” bohong Alta.Keduanya telah selesai memberesk