Dua minggu setelah kejadian di rumah Aira dan Langit tak menjawab teleponnya, Keira benar-benar menghilang dari peredaran. Seluruh akun sosial medianya tak ada satu pun yang aktif. Tak ada yang tahu dimana keberadaan Keira, kecuali sang adik. Keira pergi dari rumah meninggalkan sepucuk surat yang ditujukan untuk Langit.
“Ada surat, dari Kak Ira,” ucap adik Keira saat menemui Langit untuk memberikan surat tersebut.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Tak ada bincang singkat untuk sekadar basa-basi pada pertemuan mereka siang itu. Setelah menyerahkan titipan sang kakak, ia segera meninggalkan kediaman Langit.
Di ruang kerjanya, Langit membuka kertas berwarna merah muda. Tulisan tangan Keira terukir rapi di sana, Langit membaca surat tersebut dengan seksama.
Dear, My Sky.
Hai Sky, apa kabar? Udah lama banget gak manggil kamu dengan sebutan it
Hari berlalu begitu cepat, durasi perjanjian Langit dan Green akan berakhir bulan depan. Belum ada tanda-tanda Green membuka hati untuk Langit. Terlebih, ada Alta yang saat ini tengah berusaha terus menerus mendekati Green. Hal itu membuat Langit kesal, kekesalan yang tertahan karena ia tak berani mengutarakan, begitulah kiranya yang dirasakan Langit.Seperti siang ini, Langit mendapati Green berbalas pesan dengan Alta, padahal wanita itu tengah bersama dirinya.“Ponselnya boleh tolong dinonaktifkan? Fokus, Green!” ucap Langit pelan, namun tegas.“Oke,” jawab Green menurut.Green membiarkan ponsel tersebut menyala, namun meletakkan benda itu di atas meja, matanya sesekali menatap benda pipih tersebut sembari mengedit naskah.“Dinonaktifkan gak bisa?” tanya Langit kesal.“Gak bisa, nanti susah nyala laginya.” Green memberikan penjelasan singkat.Langit manggut-manggut, tanda bahwa ia paha
“Please, kasih aku kesempatan ya?”Green mengalihkan pandangan, mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Hatinya tak lagi merasakan desiran apa pun saat Alta menciumnya tadi. “Green..,”“Hmmm?”“Kasih aku kesempatan, aku janji gak akan mengulang kesalahan yang sama.” Janji itu terdengar sangat meyakinkan, namun tak membuat hati Green bergetar. “Maaf Al, aku gak bisa,” tolak Green dengan tatapan tegasnya.“Karena Langit?” tanya Alta ingin tahu.“Aku pulang ya,” pamit Green tanpa menjawab pertanyaan Alta.“Aku anter.”“Gak usah,” tolak Green lagi.“Kenapa? Dulu kamu gak pernah nolak.” “Al, semuanya udah beda, gak s
Reina benar-benar membuktikan ucapannya, tiga hari setelah mengatakan soal kepindahannya pada Daren, wanita itu meninggalkan seluruh kehidupan lamanya di kota yang mengingatkan dirinya pada Alta.Di tempat ini lah Reina sekarang, rumah sederhana yang berada di pusat kota Jakarta. Suasana dan tempat baru, ia berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah masalah percintaan yang merenggut hampir seluruh kebahagiannya.Daren ikut bersama Reina, bukan ikut untuk tinggal bersama. Melainkan hanya mengantar dan membantu proses kepindahan wanita tersebut. Sebenarnya bisa saja Daren ikut pindah, mengingat Jakarta adalah kampung halamannya. Tapi, ia tak mau seperti Alta dan Reina yang memilih melanjutkan kuliah mereka di kota tersebut. Daren bertekad menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, sembari membuktikan keseriusannya pada Reina, ia ingin menunjukkan pada wanita tersebut bahwa tidak semua lelaki seperti Alta, sekalipun jarak memisahkan mereka.“Rei, ini diga
“Gak apa-apa kan ngegombalin calon suami?”Langit mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit tak percaya dengan yang Green katakan. Ia mencubit pipi Green untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi.“Aww. Sakit, Kak!” Green memegang pipinya yang dicubit Langit. Ia merengut kesal karena kelakuan lelaki itu.“Eh, yang mana yang sakit?” tanya Langit panik.Langit mengusap pipi Green dengan gerakan lembut, bibirnya tak henti tersenyum menyadari bahwa apa yang diucapkan Green beberapa saat lalu bukan mimpi.“Pipi lah, kan yang dicubit pipi,” ketus Green.“Hehe maaf, saya pikir mimpi tadi. Boleh diulang pertanyaannya?” “Gak!”“Ulangi dong, saya mau denger,” pinta Langit dengan nada memelas.“Gak, Kak Langit,” tekan
Satu tahun telah berlalu, Green sudah lulus kuliah dan berhasil menggapai cita-citanya, begitupun dengan Cherry dan yang lainnya. Saat ini, mereka tengah sibuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Ada yang masih berkutat dengan urusan percintaan yang tak kunjung selesai, ada pula yang cuek bebek dan memilih fokus pada diri sendiri.Cherry dan Zein masih berpacaran, begitupun dengan Zein dan Violet yang juga masih main belakang. Reina dan Daren? Sesuatu yang mengejutkan terjadi, Daren menikah dengan wanita lain, kabarnya lelaki itu dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Sementara Reina, wanita tersebut memilih menyibukkan diri memperdalam skill memasaknya. Ya, Reina mendaftar kelas memasak, ia bercita-cita membuka restoran suatu hari nanti.Green dan Langit? Setelah perjalanan panjang, melewati lembah dan gurun serta lautan, akhirnya mereka menikah. Dua bulan lalu, acara pernikahan itu digelar dengan sederhana, sesuai permintaan kedu
Tepat setelah mengatakan itu, Langit membopong tubuh Green dan membawanya kembali ke kamar. Jika sudah begitu, Green tak punya kesempatan untuk menghindar apalagi menolak. Karena semua penolakan dengan dalih apa pun, tak akan digubris oleh Langit. Lagipula, yang bersamanya saat ini adalah Langit, suami yang ia cintai sepenuh hati.Mata mereka saling bertemu, kemudian berbalas senyum. Setelahnya, terjadilah keintiman di antara keduanya. Langit memulai dengan menyentuh tubuh dan mencium bibir Green lembut. Green sangat terbuka merespons sentuhan itu. Tanpa diminta, ia mengalungkan tangannya di leher Langit. Mereka yang belum lama menikah benar-benar menikmati setiap detik momen hangat yang tercipta.Tanpa berpikir panjang, Langit segera melucuti seluruh kain yang menempel pada tubuh Green. Gairahnya sudah memuncak, dan menuntut untuk segera dituntaskan.Suara cecapan dan kedua bibir yang saling melumat memenuhi ruangan itu. Bagi mereka yang tengah dimabuk asmara,
“Sayang, kita kan udah pacaran lama. Kamu Gak ada niatan untuk ngenalin aku ke keluarga kamu gitu?” tanya Cherry saat mereka tengah berduaan di apartemen Zein.Zein diam sejenak, kemudian menjawab dengan senyum merekah. “Ada dong.”Bola mata Cherry berbinar mendengar jawaban Zein, ia menatap lelaki itu untuk meminta penjelasan. “Kapan?”“Nanti.”“Hmmm, oke deh.” Cherry tak mau bertanya lebih jauh, ia tak ingin mencari keributan dengan lelaki itu.“Maaf kalau aku terkesan cuek dan gak peduli. Tapi, kamu harus tahu kalau aku itu sayang sama kamu,” ungkap Zein yang sontak membuat hati Cherry berbunga.Memang benar yang dikatakan Cherry, mereka berpacaran sudah cukup lama. Namun, hingga kini tak ada tanda-tanda bahkan pembicaraan yang mengarah ke jenjang yang lebih serius. Sebagai wanita, tentu saja Cherry ingin mendengar keseriusan dari lelaki yang dicintainya. Apalagi saat
“Siapa sosok di balik lingerie merah itu?”Ekspresi kesal Zein kembali terlihat. Wajahnya tampak mengeras, menandakan laki-laki itu tak suka dengan pertanyaan Cherry. “Bisa kita bahas soal lingerie itu nanti aja?”“Gak bisa,” tegas Cherry. “Aku mau sekarang,” sambungnya.“Cher, nurut sama aku bisa, kan?” Zein memberikan tekanan di setiap katanya.“Zein…”“Sayang, lihat aku.” Zein memegang dagu Cherry hingga mata keduanya bertemu. “Aku gak mungkin main belakang. Cinta dan sayang aku sepenuhnya cuma buat kamu. Gak ada yang lain. Kamu percaya, kan?” potong Zein sebelum Cherry menyelesaikan ucapannya.Ingin sekali Cherry menggeleng keras. Mana bisa ia percaya begitu saja setelah menemukan baju dinas malam di kamar lelaki itu. Cherry sangat yakin, apa yang terjadi sebenarnya tidak sama dengan yang Zein katakan. Namun, di hadapan Zein ia memilih
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.