Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cherry sudah tiba di rumah dalam kondisi lebih baik dan segar. Ada Violet yang menemaninya, untuk membantu barangkali tak semua pertanyaan Langit bisa ia jawab.
“Selamat pagi Kak Langit,” sapa Cherry saat melihat Langit baru saja selesai mandi dengan senyum mengembang.
“Sama siapa?” tanya Langit mengabaikan sapaan selamat pagi dari adiknya.
“Violet.”
“Hai Kak.” Violet masuk dengan langkah sungkan dan senyum canggung, pasalnya terakhir kali ia datang hubungannya dengan Cherry sedang kurang baik.
Langit menatap Violet sebentar kemudian mengangguk dan tersenyum tipis. “Kalian darimana semalam?”
Violet dan Cherry melempar pandangan, tak lama kemudian Cherry menjawab pertanyaan Langit. “Habis cari-cari data buat tugas akhir, Kak.”
“Kata Green kamu nonton sama si Zein itu?” Langit memandang curiga ke arah Cherry, seolah ten
Selepas mengajar, Langit segera menuju rumah Green. Tadi wanita itu menghubunginya, mengatakan bahwa ada pekerjaan yang harus dibicarakan. Langit mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, menikmati udara sore yang sejuk. Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Langit, sudah hampir satu bulan Green bekerja dengannya, itu artinya ia hanya punya waktu kurang lebih lima bulan untuk membuat Green jatuh cinta. Langit yakin pasti bisa, tapi masalahnya sekarang ia yang kurang yakin dengan perasaannya.“Kei, andai dulu aku percaya sama kamu, pasti sekarang kita udah hidup bahagia,” batin Langit penuh penyesalan.Beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Langit tiba di gang sempit rumah Green bertepatan dengan rintik air yang jatuh dari langit. Langit berlari-lari kecil dan menggunakan tangan untuk melindungi kepala. Tepat saat Langit sampai, hujan deras mengguyur bumi.Langit segera mengetuk pintu sembari memanggil-manggil nama Green. “Green.., buka
“Kamu kenapa, sih, takut banget sama kakak kamu?” tanya Zein saat Cherry sudah bersiap untuk pulang padahal ia telah berusaha menahan.“Aku kan udah pernah jelasin sayang,” jawab Cherry lembut.Zein mengambil kedua tangan Cherry, menatap bola matanya dengan lekat, kemudian mencium punggung tangan itu. “Kamu udah besar sayang, seharusnya kakak kamu paham, bukannya malah terus menerus membatasi ruang gerak kamu dengan ngasih peraturan-peraturan.”Tatapan hangat Zein membuat Cherry luluh, ia meletakkan tasnya kembali kemudian memeluk Zein. “Sayang, Kak Langit udah ngasih kepercayaan ke aku, kewajiban aku menjaga kepercayaan yang dikasih Kak Langit,” ujar Cherry pelan, ia berusaha membuat Zein mengerti tentang aturan Langit yang memintanya sudah berada di rumah sebelum pukul 21.00 wib.Zein membuang muka, tak mau menatap Cherry. Cherry sadar Zein kesal, tapi ia tak punya pilihan. Patuh pada Langit adalah satu-sa
“Ngapain lo?” tanya Alta saat memergoki Daren mengarahkan kameranya pada seorang wanita yang tengah duduk di bawah pohon sembari membaca buku.“Gak, iseng doang,” jawab Daren salah tingkah.“Yakin iseng?” goda Alta sambil menaik-turunkan alisnya.“Ah lo kaya gak tahu aja.” Daren pergi begitu saja, Alta pun berlari mengejarnya. “Btw, cantik. Tapi, gue kaya pernah ketemu.” Alta mengingat-ingat, ia merasa pernah bertemu wanita tersebut.“Gak penting, udah ah gue mau cabut.” Daren menghindar, khawatirt Alta semakin gencar menggodanya.Beberapa bulan setelah kejadian itu, di suatu event Alta meminjam kamera Daren, ia terkejut karena menemukan banyak foto candid Reina yang tengah dekat dengannya. Alta yang sedang gencar-gencarnya melakukan aksi PDKT, bersikap pura-pura tak tahu, karena menurutnya itulah cara yang paling aman agar persa
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa bulan telah berganti. Sore menjelang malam Alta menginjakkan kakinya di ibukota, ia benar-benar pindah ke kota tersebut. Meninggalkan kehidupan lamanya, dan memulai hidup baru dengan harapan dan tujuan baru.Alta turun dari mobil dan melihat seorang wanita tengah menunggunya, wanita itu adalah Green. Green akhirnya setuju untuk bertemu untuk sekadar menyapa ibunya. Tentu saja Alta senang, meskipun Green tak melakukan hal tersebut untuk dirinya, tapi paling tidak Green masih peduli pada kesehatan kedua orang tuanya.“Green, makasih ya,” ujar Alta saat berada di hadapan Green.“Sama-sama,” jawab Green tanpa melihat Alta.Green heran melihat barang bawaan Alta yang seperti orang pindahan. Meskipun penasaran, Green memilih diam saja, ia masih terlalu enggan untuk bertanya banyak hal pada lelaki yang telah menorehkan luka pada hatinya.“Aku udah putusin untuk lanjutin hidup di sini,&rdq
“Pulang-pulang kok cemberut, kenapa?” tanya Langit heran saat melihat wajah Cherry yang ditekuk.“Gak apa-apa,” jawab Cherry seraya mendekati Langit. “Gak telat, kan?”Langit melihat jam yang menggantung di dinding ruang tamu. “Hampir sih.”Cherry duduk di dekat Langit, menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kakak. Jika sudah begitu, Langit sangat yakin ada sesuatu yang tengah terjadi pada adiknya. Atau bisa jadi, ada hal yang dibutuhkan Cherry darinya.“Kak..,” panggil Cherry pada Langit yang tampak asyik membaca berita online.“Hmmm?”“Lo lagi ngapain?”“Baca,” jawab Langit singkat.“Baca apa?”“Berita.”Cherry menegakkan badannya, mengintip ponsel Langit yang menampilkan situs berita online. Hanya sebentar, karena sete
“Apa kata Cherry, Bun?” tanya Jerry yang tadi tak mendengar jelas percakapan Cherry dengan Kalila. Mereka tidak bener-benar melanjutkan aktivitas yang sebelumnya tertunda. Bagi Kalila maupun Jerry, urusan anak lebih penting dari apa pun.Kalila meletakkan ponselnya lebih dulu, kemudian menatap Jerry yang sudah berusia hampir setengah abad namun masih terlihat menawan di matanya.“Cherry minta ngekos, Yah,” jawab Kalila.“Gak!” tutur Jerry tegas. “Ayah gak setuju, udah paling bener dia tinggal sama Langit. Kenapa mau ngekos segala? Berantem sama Langit?”“Katanya, biar dia lebih semangat ngerjain tugas akhirnya. Kalau di rumah Langit kan sendiri, kalau ngekos ada Violet, jadi bisa ngerjain skripsi bareng,” terang Kalila.Alasan yang disampaikan Kalila tak bisa diterima oleh Jerry. Baginya, alasan tersebut terlalu klasik, Jerry yakin Cherry hanya menjadikan tugas sebagai alibi saja.&
Alta memasuki rumah bercat putih bersih seraya menggeret koper miliknya. Di belakangnya, Green dan Langit mengikuti. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengembang.“Assalamualaikum, Bu.” Alta mencium punggung tangan Reni—ibunya.“Waalaikumsalam,” jawab Reni. Ia tersenyum lebar saat melihat Green berada di belakang putranya. “Sayang.., udah lama banget gak main ke sini, Ibu kangen. Kamu sehat, Nak?” sambungnya sembari mendekati Green.Green tersenyum lembut seraya mencium punggung tangan ibu dari mantan kekasihnya itu, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan canggung. “Hehe iya, Bu, Green minta maaf karena baru bisa mampir sekarang. Alhamdulillah Green sehat, Ibu sehat?”“Gak apa-apa, Nak, Alhamdulillah Ibu sehat sekaligus bahagia karena kedatangan kamu dan Alta,” jawab Reni sambil memeluk Green hangat.Tangan Green terangkat untuk membalas peluka
“Aira, please jangan begini. Kita sahabatan udah lama, semua masih bisa dibicarain, Ra.”Aira menghentikan langkahnya. “Sahabat itu gak saling menyakiti, Kei. Gue, bukan sahabat lo!” ucap Aira dengan penekanan di setiap katanya.Mendengar kalimat itu keluar dari bibir Aira, Keira menggelang keras. Ia sudah kehilangan Langit, dan ia tak mau kehilangan Aira. “Gak, Ra!” tegas Keira.“Pergi, Kei. Gua gak mau lihat muka lo!” ucap Aira tajam seraya memalingkan wajahnya.“Ra, gue minta maaf, gue beneran gak tahu lo suka sama Langit. Andai gue tahu, gue bakal─”“Tetep pacaran sama Langit. Lo bakal tetep pacaran sama Langit, lo mau bilang itu, kan?” potong Aira dingin.“Gak, Aira. Gue bakal milih gak sama Langit sejak awal. Gue gak bermaksud nyakitin lo, Ai. Gue minta maaf,” mohon Keira dengan air mata yang tak
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.