“Apa kata Cherry, Bun?” tanya Jerry yang tadi tak mendengar jelas percakapan Cherry dengan Kalila. Mereka tidak bener-benar melanjutkan aktivitas yang sebelumnya tertunda. Bagi Kalila maupun Jerry, urusan anak lebih penting dari apa pun.
Kalila meletakkan ponselnya lebih dulu, kemudian menatap Jerry yang sudah berusia hampir setengah abad namun masih terlihat menawan di matanya.
“Cherry minta ngekos, Yah,” jawab Kalila.
“Gak!” tutur Jerry tegas. “Ayah gak setuju, udah paling bener dia tinggal sama Langit. Kenapa mau ngekos segala? Berantem sama Langit?”
“Katanya, biar dia lebih semangat ngerjain tugas akhirnya. Kalau di rumah Langit kan sendiri, kalau ngekos ada Violet, jadi bisa ngerjain skripsi bareng,” terang Kalila.
Alasan yang disampaikan Kalila tak bisa diterima oleh Jerry. Baginya, alasan tersebut terlalu klasik, Jerry yakin Cherry hanya menjadikan tugas sebagai alibi saja.
&
Alta memasuki rumah bercat putih bersih seraya menggeret koper miliknya. Di belakangnya, Green dan Langit mengikuti. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengembang.“Assalamualaikum, Bu.” Alta mencium punggung tangan Reni—ibunya.“Waalaikumsalam,” jawab Reni. Ia tersenyum lebar saat melihat Green berada di belakang putranya. “Sayang.., udah lama banget gak main ke sini, Ibu kangen. Kamu sehat, Nak?” sambungnya sembari mendekati Green.Green tersenyum lembut seraya mencium punggung tangan ibu dari mantan kekasihnya itu, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan canggung. “Hehe iya, Bu, Green minta maaf karena baru bisa mampir sekarang. Alhamdulillah Green sehat, Ibu sehat?”“Gak apa-apa, Nak, Alhamdulillah Ibu sehat sekaligus bahagia karena kedatangan kamu dan Alta,” jawab Reni sambil memeluk Green hangat.Tangan Green terangkat untuk membalas peluka
“Aira, please jangan begini. Kita sahabatan udah lama, semua masih bisa dibicarain, Ra.”Aira menghentikan langkahnya. “Sahabat itu gak saling menyakiti, Kei. Gue, bukan sahabat lo!” ucap Aira dengan penekanan di setiap katanya.Mendengar kalimat itu keluar dari bibir Aira, Keira menggelang keras. Ia sudah kehilangan Langit, dan ia tak mau kehilangan Aira. “Gak, Ra!” tegas Keira.“Pergi, Kei. Gua gak mau lihat muka lo!” ucap Aira tajam seraya memalingkan wajahnya.“Ra, gue minta maaf, gue beneran gak tahu lo suka sama Langit. Andai gue tahu, gue bakal─”“Tetep pacaran sama Langit. Lo bakal tetep pacaran sama Langit, lo mau bilang itu, kan?” potong Aira dingin.“Gak, Aira. Gue bakal milih gak sama Langit sejak awal. Gue gak bermaksud nyakitin lo, Ai. Gue minta maaf,” mohon Keira dengan air mata yang tak
Keesokan harinya, Cherry langsung menghubungi Kalila dengan ponselnya. Tadi malam ia tak bisa tidur, karena tak sabar menunggu keputusan Kalila dan Jerry pagi ini.“Selamat pagi, Bunda.” Setelah panggilan terhubung, Cherry menyapa bundanya dengan suara riang.“Pagi, anak gadis bunda yang cantik jelita.”Cherry tersenyum mendengar panggilan Kalila yang disematkan padanya. Buru-buru ia menanyakan sesuatu yang sudah sejak malam membuatnya tak bisa tidur nyenyak.“Bun, gimana?” tanya Cherry tak sabar.“Gimana apanya, sayang?”“Ihhh Bunda, yang tadi malem Cherry bilang gimana? Ayah sama Bunda kasih izin, kan?”Helaan napas panjang terdengar dari bibir Kalila. “Langit ada? Bunda mau bicara.”“Kok Kak Langit, sih?” Cherry tak terima, buknnya memberikan jawaban, bundanya malah mencari Langit.“Tolong Hpnya dikasih ke Langit dulu sayang, Bun
“Green..,” panggil Cherry saat melihat Green berjalan di koridor kampus.Green menoleh dan tersenyum lebar. “Hai, Cher. Sama siapa?” tanya Green seraya melihat ke segala arah, seperti tengah mencari seseorang.“Nyariin Kak Langit kan lo? Ngaku deh,” goda Cherry sembari mencolek dagu Green.Green menepis tangan Cherry yang mencolek dagunya, ia menatap ke arah lain untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. “Apaan sih lo. Ya gue pikir sama Zein, gitu,” elak Green.“Justru itu, lo lihat dia gak? Chat gue gak dibales, telepon gue juga gak diangkat dari semalem,” kelakar Cherry.“Ekhem.” Langit yang tiba-tiba berada di belakang Cherry berdehem cukup keras, wajah dan auranya tegas. Reflek, Green menarik Cherry agar tak menghalangi jalan Langit. Tatapan mereka bertemu, hanya sebentar karena setelahnya Langit memutus kontak mata i
Cherry benar-benar menemui Violet di rumah sakit. Di sana, ia disuguhkan dengan pemandangan yang membuat dirinya cukup terkejut. Cherry melihat Zein tengah merangkul Violet. Dalam situasi seperti ini, sulit baginya untuk berpikir positif. Tapi, ia mencoba untuk memahami kondisi yang tengah dialami Violet.Cherry melangkahkan kaki memasuki ruangan itu dengan ekspresi senormal mungkin. Ia tak mau cemburu buta lagi pada Violet. Ya, meskipun jauh di dalam hatinya ia cemburu, sangat cemburu.“Violet,” panggil Cherry lirih.Suara Cherry membuat tangan Zein yang tadi merangkul pundak Violet terlepas seketika. Keduanya menatap Cherry dengan wajah terkejut. Zein berdiri, ia sudah bersiap untuk menjelaskan segala alasan yang sudah dirancang sedemikian rupa.“Cher, aku bisa jelasin, ini semua gak seperti yang kamu lihat,” ujar Zein panik, ia takut Cherry marah dan berpikir yang tidak-tidak.“Iya Cher, gue sama Zein gak sengaja ke
Langit dan Green bertolak dari kampus menuju panti asuhan. Langit mengajak Green untuk mengunjungi Rubi, tentu saja ajakan itu disambut baik oleh Green. Green sangat senang dan antusias, kebetulan sekali karena ia sudah lama merindukan Rubi dan kawan-kawan “Gimana pertemuan dengan orang tua Alta?” tanya Langit memecah keheningan. “Biasa aja,” jawab Green cuek. “Mereka bilang apa?” “Sama kayak bunda.” “Maksudnya.” “Tante Reni minta saya nikah sama Alta, sama seperti bunda yang minta
“I love you, Rei.”Reina yakin ia tak salah dengar, beberapa detik lalu dirinya mendengar ungkapan cinta yang ditujukan Daren untuknya. Reina mengalihkan pandangan, semua terlalu cepat dan sangat tiba-tiba.“Maaf…”“Sssstt, lo gak perlu bilang apa-apa, apalagi minta maaf.” Daren meletakkan telunjuknya di bibir Reina sembari tersenyum lembut. “Gue gak minta jawaban apa pun,” sambungnya masih dengan senyum lebar.“Tapi…”“Yuk makan, gue masakin,” ajak Daren. Ia memegang pergelangan tangan Reina, kemudian meminta wanita itu untuk membuka pintu dan menunjukkan letak dapurnya.“Emang lo bisa masak?” tanya Reina dengan nada tak percaya.“Bisa. Lo duduk dan tunggu aja, okei,” ucap Daren meyakinkan.Reina menurut, ia duduk dan melihat Daren memasak dari jarak dekat. Lelaki itu tampak lihai memotong beberapa bahan makan
“Vi, gak lama lagi kita bakal tinggal bareng. Lo seneng, kan?”Violet diam sejenak, ia dan Zein saling tatap dalam waktu yang cukup lama. Hingga suara Cherry menghentikan aksi saling tatap itu.“Lo gak suka ya?” tanya Cherry dengan suara rendah. Ia bisa melihat reaksi Violet dan Zein yang tampak tidak seantusias dirinya.“Gak kok. Gue seneng banget, Cher,” jawab Violet cepat. Ia tak mau Cherry curiga padanya dan Zein.“Aku juga seneng banget, sayang. Kalau kamu pindah, kita jadi punya waktu lebih banyak buat sama-sama,” timpal Zein dengan nada yang dibuat sebahagia mungkin. Cherry yang suasana hatinya sudah terlanjur rusak, tersenyum samar. Buru-buru ia menyelesaikan makannya dan berpamitan pada Violet.“Gue udah selesai, gue pulang dulu ya, semoga bokap lo cepet sembuh,” ujar Cherry.“Cher, lo marah?”“Gak sama sekali, gue emang mau pulang. Biasalah.”
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.