Regita masih berada di dalam kamar, fokusnya pun masih tertuju pada layar monitor dan novel di tangannya. Tadi, setelah mendapat pesan balasan dari Langit ia semakin bersemangat mengerjakan tugas dari dosen tampan itu. ia bertekad akan menyelesaikan tugas tersebut hari ini juga. Beruntungnya ia telah selesai membaca novel yang akan diresensi, sehingga tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menyelesaikan tugas itu.
Regita memang tak begitu pandai dalam hal komunikasi, tapi kemampuannya dalam dunia literasi tak usah diragukan lagi. Selain menjadi mahasiswa, ia juga aktif mengikuti seminar tentang kepenulisan, beberapa karyanya telah terbit di berbagai platform online. Regita yang memang tak terlalu suka berinteraksi dengan lingkungan sekitar, memilih menuangkan gagasan, ekspresi dan perasaannya melalui tulisan. Tak banyak yang tahu akan hal itu mengingat ia pun tak punya banyak teman. Gadis berkacamata tebal itu dikenal sebagai kutu buku di kampusnya. Disaat sedikit sekali da
“Ayah, bunda tiba-tiba kepikiran Green. Bunda telepon Green dulu deh.” Kalila mengambil ponselnya hendak menelepon Green. “Bun, udah malem, besok pagi aja telepon Greennya.” Jerry melarang istrinya yang hendak menghubungi Green karena khawatir akan mengganggu wanita itu.“Yah.., gak bisa, perasaan bunda gak enak banget.” Kalila bersikeras untuk menelepon Green karena merasa ada sesuatu yang tengah terjadi pada calon menantunya.“Kalau bunda telepon sekarang yang ada malah ganggu Green, besok aja ya.” Jerry masih berusaha membujuk istrinya agar menghubungi Green esok hari saja. Kalila melihat jam di ponselnya, benar juga kata Jerry, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, kemungkinan besar Green sudah lelap dalam tidurnya. Tapi, ia merasa sangat khawatir.“Yaudah deh, bunda telepon Langit aja.”Jerry menghela napas panjang, sifat keras kepala Kalila terkadang membuat wanita itu sulit diberi
Alta masih berkutat dengan pikirannya tentang Green, sejak Green memutuskan untuk berpisah, Alta merasa tak bisa memikirkan hal lain. Kepala dan hatinya hanya tertuju pada Green, pada janjinya terhadap Melan dan Sera, dan pada penyeselan yang tak berkesudahan. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pada akhirnya, sepintar apa pun menyimpan kebohongan akan ketahuan juga. Itulah yang terjadi saat ini, Alta tak diberi waktu untuk mempersiapkan semuanya. Bagi Alta, semua yang terjadi terlalu tiba-tiba, Alta belum siap kehilangan Green, dan tidak akan pernah siap meskipun ada Reina di sisinya.Sambil memandang laut dan deburan ombak, Alta menekuk lututnya, pandangannya lurus ke depan. Saat tengah berkutat dengan pikirannya, tiba-tiba seorang wanita duduk di samping Alta. “Lo Alta, kan?” tanya Sindi yang melihat Alta tengah duduk sendiri sambil menatap laut.Sindi yang sedang berjalan-jalan bersama adiknya melihat Alta, ia memutuskan untuk menghampiri Alta yang
Green sudah kembali berada di kamarnya, kepala Green berdenyut, bukan karena migrain atau sakit lainnya, melainkan masalah hidup yang seolah terus bermunculan yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Kondisi hatinya saja belum pulih, lukanya saja belum kering, kini masalah baru kembali muncul. Ucapan Kalila yang memintanya bertunangan dengan Langit terngiang-ngiang di kepala.“Mau ya sayang tunangan sama Langit?”Pertanyaan itu terus berputar di kepala Green. Ingin sekali Green menjawab kalau dia tak mau, dia juga tidak mencintai Langit, tapi lagi-lagi sorot memohon yang terpancar dari mata Kalila membuat Green tak tega mengecewakan ibu dari seorang laki-laki yang sama sekali tak dicintainya. Alhasil, Green hanya menjawab kalau dia butuh waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu, Kalila setuju dan mau menunggu. Lalu bagaimana dengan Langit? Langit tak jadi mengatakan yang sebenarnya, sandiwara mereka sudah terlalu dalam masuk dalam hati Kalila. Buk
Daren yang hendak pulang selepas meminjam buku di perpustakaan kampus mendapati Reina tengah duduk sendirian di taman. Mulanya Daren tak peduli, ia terus melenggang menuju motornya. Tapi matanya tak bisa diajak berkompromi, tanpa sengaja Daren mengamati Reina, wajah wanita itu sembab seperti habis menangis. Daren menghampiri Reina, niatnya untuk meledek wanita selingkuhan sahabatnya itu. “Ngapa lo duduk di sini sendiran?” tanya Daren dengan nada songong. “Bukan urusan lo!” bentak Reina galak. Daren tergelak, kemudian duduk di samping Reina tanpa meminta persetujuan wanita itu lebih dulu. “Dicampakkin, kan, lo sama Alta? Bego sih, mau aja jadi selingkuhan!” Tangan Reina terkepal, rasanya ingin sekali ia menonjok dan menyumpal mulut Daren agar tak banyak bicara, kepalanya sudah cukup berdenyut karena kelakuan Alta, sekarang ditambah lagi ucapan Daren yang sangat kurang ajar menurutnya. Melihat Reina mengepalkan tangannya, Daren membuka suara lag
“Bi Ruri.., Pak Ardi, Mang Ujang..,” teriak Cherry memanggil seluruh pekerja di rumah Langit.“Ya, Non,” jawab Bi Ruri lebih dulu. Mang Ujang dan Pak Ardi menyusul di belakangnya, mereka berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh. “Ada apa, Non? Ada tikus, kah? Ada kecoa, kah?” Pak Ardi heboh sendiri, sementara Mang Ujang menatap Cherry dengan tatapan meminta penjelasan.“Kalian semua, tolong denger ini baik-baik.” Cherry memberikan instruksi pada seluruh manusia yang berada di hadapannya. “Saya mau keluar. Kalau Kak Langit nanya, bilang aja saya lagi kerja kelompok, mungkin pulangnya agak maleman.”Pak Ardi dan Bi Ruri mengangguk-anggukan kepala, tanda bahwa mereka paham. Sementara Mang Ujang masih diam, ia melihat penampilan Cherry yang sedikit terbuka dan terbilang seksi itu dengan tatapan penuh curiga. “Non, maaf kalau Mang Ujang lancang, emang sebenernya Non Che
“Oke, saya setuju.”Langit tersenyum lebar. “Pilihan yang bagus, Green,” tutur Langit sambil memberikan bolpoint pada Green.Tanpa berlama-lama, Green membubuhkan tanda tangan di atas materai yang tertera namanya kemudian mengembalikan bolpoint itu pada Langit. “Ya mau gimana, saya emang butuh kerjaan. Lagipula saya sangat yakin, saya yang akan jadi pemenangnya,” ujar Green dengan rasa percaya diri yang tinggi.“Baiklah, kita lihat nanti ya.” Langit merasa tertantang dengan pernyataan Green barusan, semangatnya untuk menaklukan seorang Green semakin menggebu-gebu.Green mengangguk pelan. “Jadi, kapan saya bisa mulai kerja?’“Senin, nanti malam saya akan kasih detail pekerjaan yang harus kamu kerjakan.”Jika waktu itu Langit hanya menjelaskan garis besarnya, maka nanti malam ia akan berikan detailnya. Green kembali mengangguk, setidaknya satu masalah Green telah teratasi.
Tepat pukul 19.00 wib, Langit dan Green tiba di gang sempit menuju rumah Green. Sedari tadi Green tak henti tersenyum, ia sangat bahagia bisa bertemu dan bermain dengan Rubi dan kawan-kawan. Mereka membuat Green sedikit lupa pada kesedihan dan patah hatinya. Hal itu disadari Langit, Langit yakin saat ini suasana hati Green sudah lebih baik bahkan sangat baik.“Ekhem, seneng banget kayaknya.” Suara deheman itu menyadarkan Green bahwa saat ini ia masih berada di mobil Langit.“Eh, udah sampe, ya?” Green hendak melepas safety beltnya, namun Langit lebih dulu melakukan itu.“Gak usah berlebihan, saya bisa sendiri!” Bukannya mengucapkan terima kasih, Green malah berbicara dengan nada ketus pada Langit.“Iya, iya, yang apa-apa bisa sendiri, giliran galau tetep aja butuh saya,” sindir Langit.Green yang tahu Langit menyindirnya menatap tajam Langit. “
Perdebatan malam itu membuat Langit dan Cherry terlibat perang dingin. Terlihat Dari meja makan yang sepi, baik Cherry maupun Langit tak ada yang duduk di sana. Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Bi Ruri menyiapkan sarapan dan memberitahukan kepada dua majikannya, bahwa sarapan sudah siap. Namun, keduanya seolah tak mendengar. Langit memilih berolahraga, lari di sekitar komplek kemudian lanjut bersepeda. Sementara Cherry, wanita itu belum keluar kamar sejak semalam.Ditempat yang berbeda, Green tengah memfokuskan pandangan pada layar monitornya. Ia sedang membaca email dari Langit berkaitan dengan detail pekerjaan selama menjadi asisten pribadi laki-laki itu. Tertulis beberapa poin di sana, salah satunya Green harus ikut setiap roadshow yang dilakukan Langit. Yang lainnya, jangan ditanya. Masih sangat banyak, belum lagi Langit juga meminta Green mengurusi media sosial yang digunakan laki-laki itu untuk menunjang pekerjaan. Green baru tahu bahwa Langit juga sering me
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.