"Maaf Pak Komisaris, aku Brigadir Darius" "Brigadir Darius? kalau tidak salah kamu bertugas di kantor pusat kan?" "Betul Pak" "Ada apa memangnya?" "Aku di perintahkan untuk melaporkan mawar besi yang tertancap di kepala Jenderal Vares" "Di perintahkan? bukankah itu berada di wilayah kantor pusat?" "Betul Pak, tapi Pak Edmund mempercayakan kasus ini kepada Pak Rizel" "Kalau begitu aku terima, besok akan aku selidiki lebih lanjut" "Siap Pak, terima kasih" Panggilan pun berakhir. "Siapa itu sayang?" Tanya Delista. "Brigadir Darius, anggota kepolisian di kantor pusat" "Darius? memangnya ada apa Pak?" Timpal Steiner. "Pak Kadiv memerintahkan ku untuk melanjutkan memecahkan kasus ini, sekaligus memintaku untuk menyelidiki mawar besi yang tertancap di Jenderal Vares" "Ayah, kenapa tidak cuti saja? istirahatlah, dari sepulang liburan, Ayah belum juga rehat di rumah" Pinta Genia. "Ayah kan sudah cuti sayang, tapi mungkin itu bisa saja, namun tidak sekarang yah" Rizel membalasny
Media sosial menjadi khalayak ramai oleh penggemar fanatik Asmodeus. Sekumpulan remaja tanggung membentuk sebuah komunitas bernama "Asmonism". Berawal dari puluhan pengikut, hingga menembus puluhan ribu orang. Asmodeus adalah dewa, keadilan yang di tunggu oleh masyarakat yang telah muak dengan sistem negara yang telah ada. Tetapi, manusia tidak selamanya sama dalam sudut pandang. Ada siang, pastilah akan ada malam. Tidak sedikit masyarakat yang meminta Asmodeus untuk di tangkap. Aksi hukum rimba dan keji tidak lagi berlaku di jaman era modern. Aksi unjuk rasa terbagi menjadi dua kubu. Asmonism dan Anti-Asmodeus, saling bentrok satu sama lain. Kericuhan yang semakin terjadi, membuat Rizel bekerja siang dan malam. Duduk di depan komputer, melacak keberadaan Asmodeus. Meja kantornya terpenuhi oleh gelas plastik, sisa kopi yang telah di seduhnya. Menjelang pagi, Rizel mengumpulkan semua barang bukti yang ada, memeriksanya satu persatu. Hingga membaca kembali satu pesan dari mawar besi ya
Seorang diri Rizel berpatroli. Mengenakan pakaian biasa, berjalan kaki. Sesekali menggunakan walkie talkie untuk memastikan keadaan, kepada semua anggota yang di perintahkan. Matahari telah terbenam. Rizel beristirahat di sebuah lapangan, tempat bermain anak-anak. Duduk di atas kursi ayunan. Memakan kentang goreng, melihat ke arah jalan yang mulai sepi dari hiruk-pikuk kehidupan manusia. Seorang wanita, turun dari bus bersama kedua anaknya. Berusia sekitar 7 tahun dan 12 tahun. Terdengar selintas, Sang anak yang paling kecil meminta untuk di gendong kepada Ibunya. "Ibu lelah Nak, jalan kaki saja yah" Sebagai seorang kakak, anak yang berusia remaja berjongkok di hadapan nya "Yuk sama kakak gendong" "Hore, aku di gendong sama Kakak" Jawab riang anak kecil itu kepada kakaknya. Hujan turun malam itu. Rizel mencari tempat berteduh, mobilnya terparkir cukup jauh. Coffe shop, tempatnya berteduh, Rizel berdiri di depan Cafe itu. Dari jarak yang cukup jauh, terdengar suara ban mobil ber
Tidak lama Bruno berkunjung, dari rumah Thomas. Dia pergi ke suatu tempat "Yayasan Harapan Senja" . Seorang wanita dewasa, menyambut kedatangannya dan mengajak Bruno ke ruang tamu. "Bagaimana pengajuan untuk penitipan anakku apakah bisa di proses, Bu Rose?" "Bisa, tapi apa Pak Bruno yakin untuk menitipkannya kepada kami?" "Yakin, jika keadaan sudah aman dan membaik, aku akan mengambilnya kembali" "Kenapa Pak Bruno tidak menitipkan ke sanak saudara saja?" "Demi keamanan Bu, aku harus melakukan hal ini" "Baiklah, tunggu sebentar aku akan membawa kertas formulir untuk Pak Bruno tanda tangani" Bruno dan Elrose telah sepakat. Form formulir telah terisi dan di tanda tangani Bruno. Ada satu hal penting yang di lupakan olehnya. Hingga sampai pulang dari rumah. Bruno mencoba mengingat hal tersebut. Hari terenggutnya nyawa Bruno dan Lucia telah tiba. Razel telah di bawa ke yayasan harapan senja, di jemput oleh Rose Lamia di rumah sakit. Pagi itu, Rizel pergi ke taman kanak-kanak, di ant
Setelah mengantarkan teman-teman Genia. Razel mengajak keponakannya ke sebuah mall terbesar di kota clayton. Genia yang saat itu asyik melihat jalan, tersadar bahwa arah jalan menuju rumahnya sudah cukup jauh terlewati. "Om, kita mau kemana?" "Kita kesini, Om akan belikan baju untuk kamu, kamu boleh pilih sepuasnya" "Wah beneran Om?" Wajah Genia terlihat senang. Setelah memarkirkan mobil, mereka berdua masuk ke dalam mall yang ramai akan pengunjung. Di lantai dua, Razel mengajak keponakannya itu ke sebuah toko pakaian. "Om jangan kesini deh, disini harganya mahal semua" "Jangan pikirkan soal harga, anggap ini adalah hadiah pertemuan dari Om" Razel menatapnya dalam senyuman. "Aku jadi gak enak" "Tidak usah di pikirkan, masuk saja terus pilih semua yang kamu mau, Om Razel akan tunggu disini" Razel menggiring tangan Genia masuk ke dalam toko. Pelayan toko menghampiri dan melayani Genia dengan sangat ramah. Razel tak terlihat seperti sosok Asmodeus yang kejam dan haus darah. D
Lampu gedung kembali menyala. Sunyi, seperti tak berpenghuni. Menaiki tangga, Rizel naik ke lantai 5. Langkahnya penuh kehati-hatian, setiap akan melewati persimpangan koridor, Rizel mengintip di balik tembok untuk memastikan keadaan. Menggunakan walkie talkie, Rizel mencoba menghubungi rekan-rekannya. "Claudia... Cloud... Gora... Steiner!" Tidak ada satupun yang menjawab. Merasakan ada sesuatu hal yang telah terjadi, Rizel mempercepat langkah pencariannya. Saat melihat ruangan dengan pintu yang terbuka. Rizel melihat Asmodeus tengah menyendera seorang pria, menodongkan pistol ke kepalanya. "Asmodeus! letakkan pistol itu segera!" Pinta Rizel. "Tolong Pak Polisi, dia akan membunuhku" Seseorang yang menjadi sandera adalah Joker. "Letakkan senjata Anda Pak Rizel, atau hewan ini akan saya ledakan kepalanya" Asmodeus balik mengancam. "Jangan... jangan lakukan itu!" Jawab Rizel. Perlahan, Rizel meletakkan senjatanya ke atas lantai. "Geser pistol itu jauh-jauh" Pinta Asmodeus. Mendenga
Paginya, selesai sarapan dan Genia pergi ke sekolah. Delista mencuci piring, Rizel duduk di ruang tamu, menikmati segelas kopi panas. Selesai mencuci piring, Delista menghampiri suaminya, menceritakan tentang kedatangan Razel. "Kemarin, Genia diantar pulang oleh Razel" "Benarkah? tapi tidak terjadi sesuatu kan?" Rizel terkejut, menatap Delista "Tidak terjadi apapun, bahkan Razel membelikan beberapa pakaian untuk Genia" "Apa kalian berbincang?" "Iya sayang, aku ragu dia seorang pembunuh" "Aku pun berpikir sama, di sisi lain dia memang seorang pembunuh, di sisi lain saat aku berbicara dengannya, perasaanku merasakan hal yang berbeda" "Lalu bagaimana dengan kasus ini selanjutnya?" "Asmodeus tidak bergerak sendiri, dia memiliki sebuah organisasi yang bernama death savior" "Death savior? organisasi apa mereka itu?" "Entahlah, aku tidak tau, kasus ini semakin meruncing" "Apa langkahmu selanjutnya?" "Bagaimana pun juga aku harus menemukan tempat persembunyian Razel dan mencari in
"Ah, kita kedatangan tamu, perkenalkan namaku Astaroth" Pria bertopeng itu melihat ke arah Razel. Tanpa sadar, Razel berlari, menaiki meja dan melompat, melemparkan pukulan telak kepada Astaroth "Aaaaahhhhhh!!!! lepaskan dia!" Teriak Razel. Pukulannya tepat mengenai wajah Astaroth "Hahahaha.... menarik! sangat menarik!" Astaroth tertawa terbahak-bahak. "Lari Razel! cepat pergi dari sini!" Ucap Angelo. Astaroth mencengkram pundak Angelo semakin erat, membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri. "Sekarang apa yang akan kamu lakukan?" Tantang Astaroth. "Membunuhmu pastinya!" Razel mengambil pisau Jagdkommando milik Angelo dan menerjang Astaroth, menyerang lehernya. Astaroth menghindar, lehernya mengelak ke arah berlawanan, tetapi Razel menyadari lebih awal, jika serangannya akan di hindari. Dalam perhitungan sepersekian detik, tangan Razel menggeser, dari tusukan menjadi tebasan, mengarah leher Astaroth dan berhasil melukainya. "Aku menyukaimu!" Ucap Astaroth serta memegang lehernya