Yogyakarta, 16 April 2018 Seperti hari-hari biasa, sebuah pusat oleh-oleh di kawasan Malioboro itu disinggahi pengunjung yang datang dan pergi. Tempat itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah diisi dengan etalase aneka panganan khas Yogyakarta. Bersanding dengan sebuah café yang menyediakan menu tradisional. Café itu menyediakan sepuluh meja yang masing-masingnya terdiri dari empat buah kursi. Semua furniturnya terbuat dari kayu jati dan dipesan dari Jepara. Di lantai atas, para pengunjung bisa membeli atau sekadar melihat-lihat bermacam produk kerajinan tangan. Termasuk pakaian jadi yang dibuat dari batik tulis. Siang itu langit berawan. Seorang lelaki yang sudah terbilang sepuh memasuki tempat itu. Meskipun tak lagi muda, dia masih tampak gagah. Seorang perempuan berusia akhir lima puluhan menggamit lengan kirinya. Perempuan itu juga masih terlihat ayu walaupun sejumput helaian putih menghiasi rambutnya yang disanggul sederhana. Sepasang orang tua itu langsung menuju ke area café
Jakarta, 16 April 2018 Sesampai di rumah Bu Rima, Amara mengambil beberapa pakaian dan barang-barang. Bram bilang tidak perlu memindahkan semua isi kamarnya hari ini juga. Mereka juga belum bicara dengan sang pemilik rumah kalau Amara akan keluar dari sana. Kebetulan, hari ini Bu Rima sedang tidak ada. Setelah selesai berkemas-kemas, Amara ikut dengan Bram. Pengawal Adhilangga berpamitan pulang. Tempat tinggalnya ternyata tak jauh dari rumah Bu Rima. Anak buah Adhilangga yang lain sudah dibebaskan dari tugas sejak kemarin. Saat itu, Amara baru tahu kalau selama ini ada orang-orang yang menjaganya. "Aku hanya ingin melindungimu," terang Bram ketika mendapati Amara merengut sebagai protes. Gadis itu merasa Bram sudah mengerjainya selama ini. "Apa menjadi kekasihmu seberbahaya ini? Sampai dua orang bersenjata api harus berkeliaran di sekitarku?" timpal Amara. Dia hanya ingin mendapat jawaban dari rasa ingin tahunya. Tidak bermaksud lain. Amara pikir hanya gangguan dari Raymond yang h
Yogyakarta, 16 April 2018 Utari berjalan mondar-mandir di kamarnya. Perasaannya tidak menentu. Malam hampir larut. Panggilan yang dia tujukan pada nomor putrinya tidak juga terhubung. “Rara, kamu lagi di mana? Tega sekali kamu sama Mama,” keluh perempuan itu seraya mengempaskan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Siang tadi, Baswara datang mengunjungi Utari. Lelaki itu menceritakan banyak hal yang membuat perempuan itu mengelus dada. Utari baru saja mengunjugi Amara bulan lalu di Jakarta. Anak itu tampaknya setuju untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Rupanya, Amara hanya bermaksud menenangkan hati Utari. Bukannya menjauhi Bram, dia malah pergi ke sana kemari dengan lelaki itu. Bahkan anak itu berani sekali menerima lamaran Bram. Meskipun belum merupakan lamaran resmi. Jangan-jangan, apa yang dikatakan oleh Baswara benar adanya. Anak semata wayangnya, yang begitu dia jaga selama ini, sekarang sedang bersama anak lelaki itu. Utari menggeleng sambil memegangi kedua sisi kepalanya.
Jakarta, 13 April 2018 Kejutan ulang tahun yang Bram terima hari ini belum selesai. Setelah berpamitan pada Amara, lelaki itu langsung meluncur ke rumah ayahnya. Arya sudah mengatur jadwal pertemuan mereka. Memang agak sedikit larut karena semua anggota keluarga baru kembali dari aktivitas masing-masing. Rupanya, kakak-kakak ipar dan ibu tirinya sudah menyiapkan acara syukuran kecil-kecilan. Kekosongan yang merasuk karena ketiadaan Hapsari dan Talitha sedikit terobati. Jika mereka tidak ada, mungkin perayaan ulang tahun untuknya tidak pernah ada. Seketika, Bram menyadari sesuatu. Sebuah keputusan yang sedang diambilnya sudah tepat. Bram memang membutuhkan kehadiran seorang perempuan dalam hidupnya. Makhluk sensitif dan lembut yang menyadari hal-hal kecil yang luput dari perhatiannya. Yang memberi sedikit warna bagi hidupnya yang abu-abu. Bram sudah menemukan perempuan itu. Seusai acara, Bram meminta izin untuk bicara dengan sang ayah. Dia juga mengajak kedua kakak dan pamannya. Par
Jakarta, 17 April 2018 “Jadi, aku nggak perlu datang lagi ke kantor lagi?” Kedua netra Amara membulat. Dia masih ragu dengan keputusan Bram. Gadis itu urung menyesap kopi dengan krim dari cangkir di tangannya. Bram menggeleng. “Tidak perlu. Nanti Mas sampaikan surat pengunduran dirimu ke bagian HRD. Mas datang hanya untuk mengajukan cuti. Juga mengembalikan mobil kantor. Berhubung kamu sudah tidak di sana lagi, Mas bisa pulang pergi dengan motor saja."Yang Bram maksud dengan mobil kantor adalah Pajero Sport yang selama ini dikendarainya. Lelaki itu memutuskan untuk tidak menggunakannya lagi.Pagi itu mereka sedang menyantap nasi dan omelet yang dicampur irisan sayuran. Menu sarapan yang biasa Amara buat untuk dirinya sendiri. Mereka duduk berhadapan di meja yang hanya cukup untuk mereka berdua. Siaran berita pagi memenuhi pendengaran mereka. “Tapi … “ “Tidak pakai tapi. Tidak ada yang kamu butuhkan lagi dari Cakrawangsa Persada.” Amara mengedikkan bahu. “Aku nggak begitu yakin.”
Jakarta, 17 April 2018 Seperti biasa, Bram tiba di gedung Cakrawangsa Persada sebelum pukul delapan. Tumpukan dokumen yang harus di-ACC menyambutnya di ruangan. Ada rasa sepi ketika menilik ke kubikel di samping ruangannya. Bram harus menunggu beberapa jam ke depan agar bisa bertemu lagi dengan penghuninya. Anak buahnya yang lain silih berganti mengetuk pintu. Satu persatu menghadap dan mendiskusikan ini dan itu. Juga menyerahkan lebih banyak pekerjaan lain. Menjelang makan siang, Bram beranjak meninggalkan ruangan. Alena mengikuti gerak lelaki itu dengan matanya. Tanpa berlama-lama, perempuan itu memberi isyarat pada Niken yang duduk di seberangnya. “Pak, nanti jadi meeting koordinasi?” Niken bangkit dari duduknya. Gadis itu berlari kecil menghampiri sebelum Bram mencapai pintu ruang procurement. Bram menghentikan langkah dan menoleh, “Jadi, Ken. Diundur jam tiga, ya. Bilang sama yang lain.” “Baik, Pak,” sahut Niken. Pandangan gadis itu tertuju pada telapak tangan Bram yang ter
Jakarta, 17 April 2018 Bram tiba di restoran yang terletak di sebuah area golf club. Dia sudah membuat janji menemui seseorang siang ini. Di salah satu meja yang berada di dekat pagar pembatas, Gunawan sudah menunggunya. Pagi tadi, lelaki itu bermain golf bersama seorang pemilik perusahaan klien. "Maaf saya terlambat," tutur Bram sambil menarik sebuah sofa tunggal lalu mendudukinya. "Akhirnya kamu sampai juga, Bram," sahut Gunawan. Lelaki itu melipat dan meletakkan koran di tangannya ke atas meja. "Bagaimana kabarmu?" "Baik, Om. Om sendiri selalu bugar tampaknya," komentar Bram sekadar berbasa-basi. "Ya, beginilah, Bram. Usia saya sudah tidak muda lagi. Penyakit sudah berdatangan. Kalau tidak pandai mengelola kesehatan, saya bisa ambruk." Gunawan terkekeh. Percakapan mereka terhenti saat seorang pelayan datang membawa daftar menu. Mereka meneruskannya usai lelaki muda itu undur diri. Dari jangkauan mata mereka, terhampar rumput hijau membentang. Pemandangan menyegarkan yang dit
Jakarta, 17 April 2018 Usai meeting dengan semua anggota timnya, Bram bersiap pulang. Beberapa pekerjaan sudah dia delegasikan pada Gilang, Ranggi, dan Alena. Rasanya ingin segera sampai di apartemen. "Jadi, Mbak Andra beneran resign, ya, Pak?" Tiba-tiba Niken muncul di depan pintu ruangannya. Gadis itu bersandar di dinding kaca memasang ekspresi sedih. Bram yang sedang memasukkan laptopnya ke dalam tas menyahut singkat. "Iya, Ken." "Pak Bram besok jadi cuti?" tanya Niken lagi. "Saya sudah memberitahukan di ruang meeting tadi." Bram menjawab enggan. Buat apa sebuah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya diajukan berkali-kali? "Memang ada masalah apa, Pak?" "Tidak ada masalah apa-apa." Gadis itu menunggu Bram selesai melakukan apa yang dilakukannya. Kemudian, dengan ragu-ragu gadis itu bertanya lagi, "Apa Pak Bram dan Mbak Andra mau menikah?" "Doakan saja, ya." Senyum Bram merekah kali ini. "Dalam waktu dekat ini?" Niken terbelalak. "Saya maunya begitu." Jawaban dari Bram me