Jakarta, 7 Februari 2018 Makanan di meja mereka sudah tandas. Perut Amara terasa penuh. Beberapa saat lalu, Bram memaksanya menghabiskan lauk-pauk yang dipesannya. Lelaki itu juga menuangkan lagi satu sendok nasi ke piringnya. Sekarang, Amara jadi banyak menguap. Rupanya, Bram memperhatikan. “Kita pulang setelah agak lengang, ya, Ra,” dalih lelaki itu sambil mengaduk-aduk minuman hangat di depannya. Sebenarnya, bukan masalah lalu lintas yang jadi pertimbangan Bram. Orang yang mengikuti mereka dengan minibus silver itu yang Bram khawatirkan. Orang itu membuntuti mereka. Bram tahu itu. “It’s okay, Pak. Nggak apa-apa,” sahut Amara. Padahal, dalam hati gadis itu menyesal. Semestinya, Amara bertahan untuk pulang dengan taksi saja. Pasti sekarang Amara sudah berada di kamarnya yang nyaman. Amara juga tidak perlu menghadapi rentetan pesan yang tiba-tiba tidak henti masuk ke ponselnya. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang lelaki gila yang rupanya mengutus orang untuk menguntit mere
Yogyakarta, 16 April 2018 Seperti hari-hari biasa, sebuah pusat oleh-oleh di kawasan Malioboro itu disinggahi pengunjung yang datang dan pergi. Tempat itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah diisi dengan etalase aneka panganan khas Yogyakarta. Bersanding dengan sebuah café yang menyediakan menu tradisional. Café itu menyediakan sepuluh meja yang masing-masingnya terdiri dari empat buah kursi. Semua furniturnya terbuat dari kayu jati dan dipesan dari Jepara. Di lantai atas, para pengunjung bisa membeli atau sekadar melihat-lihat bermacam produk kerajinan tangan. Termasuk pakaian jadi yang dibuat dari batik tulis. Siang itu langit berawan. Seorang lelaki yang sudah terbilang sepuh memasuki tempat itu. Meskipun tak lagi muda, dia masih tampak gagah. Seorang perempuan berusia akhir lima puluhan menggamit lengan kirinya. Perempuan itu juga masih terlihat ayu walaupun sejumput helaian putih menghiasi rambutnya yang disanggul sederhana. Sepasang orang tua itu langsung menuju ke area café
Jakarta, 16 April 2018 Sesampai di rumah Bu Rima, Amara mengambil beberapa pakaian dan barang-barang. Bram bilang tidak perlu memindahkan semua isi kamarnya hari ini juga. Mereka juga belum bicara dengan sang pemilik rumah kalau Amara akan keluar dari sana. Kebetulan, hari ini Bu Rima sedang tidak ada. Setelah selesai berkemas-kemas, Amara ikut dengan Bram. Pengawal Adhilangga berpamitan pulang. Tempat tinggalnya ternyata tak jauh dari rumah Bu Rima. Anak buah Adhilangga yang lain sudah dibebaskan dari tugas sejak kemarin. Saat itu, Amara baru tahu kalau selama ini ada orang-orang yang menjaganya. "Aku hanya ingin melindungimu," terang Bram ketika mendapati Amara merengut sebagai protes. Gadis itu merasa Bram sudah mengerjainya selama ini. "Apa menjadi kekasihmu seberbahaya ini? Sampai dua orang bersenjata api harus berkeliaran di sekitarku?" timpal Amara. Dia hanya ingin mendapat jawaban dari rasa ingin tahunya. Tidak bermaksud lain. Amara pikir hanya gangguan dari Raymond yang h
Yogyakarta, 16 April 2018 Utari berjalan mondar-mandir di kamarnya. Perasaannya tidak menentu. Malam hampir larut. Panggilan yang dia tujukan pada nomor putrinya tidak juga terhubung. “Rara, kamu lagi di mana? Tega sekali kamu sama Mama,” keluh perempuan itu seraya mengempaskan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Siang tadi, Baswara datang mengunjungi Utari. Lelaki itu menceritakan banyak hal yang membuat perempuan itu mengelus dada. Utari baru saja mengunjugi Amara bulan lalu di Jakarta. Anak itu tampaknya setuju untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Rupanya, Amara hanya bermaksud menenangkan hati Utari. Bukannya menjauhi Bram, dia malah pergi ke sana kemari dengan lelaki itu. Bahkan anak itu berani sekali menerima lamaran Bram. Meskipun belum merupakan lamaran resmi. Jangan-jangan, apa yang dikatakan oleh Baswara benar adanya. Anak semata wayangnya, yang begitu dia jaga selama ini, sekarang sedang bersama anak lelaki itu. Utari menggeleng sambil memegangi kedua sisi kepalanya.
Jakarta, 13 April 2018 Kejutan ulang tahun yang Bram terima hari ini belum selesai. Setelah berpamitan pada Amara, lelaki itu langsung meluncur ke rumah ayahnya. Arya sudah mengatur jadwal pertemuan mereka. Memang agak sedikit larut karena semua anggota keluarga baru kembali dari aktivitas masing-masing. Rupanya, kakak-kakak ipar dan ibu tirinya sudah menyiapkan acara syukuran kecil-kecilan. Kekosongan yang merasuk karena ketiadaan Hapsari dan Talitha sedikit terobati. Jika mereka tidak ada, mungkin perayaan ulang tahun untuknya tidak pernah ada. Seketika, Bram menyadari sesuatu. Sebuah keputusan yang sedang diambilnya sudah tepat. Bram memang membutuhkan kehadiran seorang perempuan dalam hidupnya. Makhluk sensitif dan lembut yang menyadari hal-hal kecil yang luput dari perhatiannya. Yang memberi sedikit warna bagi hidupnya yang abu-abu. Bram sudah menemukan perempuan itu. Seusai acara, Bram meminta izin untuk bicara dengan sang ayah. Dia juga mengajak kedua kakak dan pamannya. Par
Jakarta, 17 April 2018 “Jadi, aku nggak perlu datang lagi ke kantor lagi?” Kedua netra Amara membulat. Dia masih ragu dengan keputusan Bram. Gadis itu urung menyesap kopi dengan krim dari cangkir di tangannya. Bram menggeleng. “Tidak perlu. Nanti Mas sampaikan surat pengunduran dirimu ke bagian HRD. Mas datang hanya untuk mengajukan cuti. Juga mengembalikan mobil kantor. Berhubung kamu sudah tidak di sana lagi, Mas bisa pulang pergi dengan motor saja."Yang Bram maksud dengan mobil kantor adalah Pajero Sport yang selama ini dikendarainya. Lelaki itu memutuskan untuk tidak menggunakannya lagi.Pagi itu mereka sedang menyantap nasi dan omelet yang dicampur irisan sayuran. Menu sarapan yang biasa Amara buat untuk dirinya sendiri. Mereka duduk berhadapan di meja yang hanya cukup untuk mereka berdua. Siaran berita pagi memenuhi pendengaran mereka. “Tapi … “ “Tidak pakai tapi. Tidak ada yang kamu butuhkan lagi dari Cakrawangsa Persada.” Amara mengedikkan bahu. “Aku nggak begitu yakin.”
Jakarta, 17 April 2018 Seperti biasa, Bram tiba di gedung Cakrawangsa Persada sebelum pukul delapan. Tumpukan dokumen yang harus di-ACC menyambutnya di ruangan. Ada rasa sepi ketika menilik ke kubikel di samping ruangannya. Bram harus menunggu beberapa jam ke depan agar bisa bertemu lagi dengan penghuninya. Anak buahnya yang lain silih berganti mengetuk pintu. Satu persatu menghadap dan mendiskusikan ini dan itu. Juga menyerahkan lebih banyak pekerjaan lain. Menjelang makan siang, Bram beranjak meninggalkan ruangan. Alena mengikuti gerak lelaki itu dengan matanya. Tanpa berlama-lama, perempuan itu memberi isyarat pada Niken yang duduk di seberangnya. “Pak, nanti jadi meeting koordinasi?” Niken bangkit dari duduknya. Gadis itu berlari kecil menghampiri sebelum Bram mencapai pintu ruang procurement. Bram menghentikan langkah dan menoleh, “Jadi, Ken. Diundur jam tiga, ya. Bilang sama yang lain.” “Baik, Pak,” sahut Niken. Pandangan gadis itu tertuju pada telapak tangan Bram yang ter
Jakarta, 17 April 2018 Bram tiba di restoran yang terletak di sebuah area golf club. Dia sudah membuat janji menemui seseorang siang ini. Di salah satu meja yang berada di dekat pagar pembatas, Gunawan sudah menunggunya. Pagi tadi, lelaki itu bermain golf bersama seorang pemilik perusahaan klien. "Maaf saya terlambat," tutur Bram sambil menarik sebuah sofa tunggal lalu mendudukinya. "Akhirnya kamu sampai juga, Bram," sahut Gunawan. Lelaki itu melipat dan meletakkan koran di tangannya ke atas meja. "Bagaimana kabarmu?" "Baik, Om. Om sendiri selalu bugar tampaknya," komentar Bram sekadar berbasa-basi. "Ya, beginilah, Bram. Usia saya sudah tidak muda lagi. Penyakit sudah berdatangan. Kalau tidak pandai mengelola kesehatan, saya bisa ambruk." Gunawan terkekeh. Percakapan mereka terhenti saat seorang pelayan datang membawa daftar menu. Mereka meneruskannya usai lelaki muda itu undur diri. Dari jangkauan mata mereka, terhampar rumput hijau membentang. Pemandangan menyegarkan yang dit
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha