Jakarta, 16 April 2018 Bram memasang kembali penutup ponsel yang ada di tangannya. Wajah lelaki itu tampak muram. Penerangan remang-remang di ruang perpustakaan milik pamannya menambah redup suasana hatinya. Dengan gusar dia letakkan benda pipih di tangannya itu ke sudut meja. Diempaskannya punggung ke leher kursi kayu yang didudukinya. Tangan lelaki itu tampak gemetar. Riuh di dadanya seirama dengan kericuhan di kepalanya. “Rara, kenapa kamu lakukan ini?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Menumpu tubuh dengan kedua siku yang menempel di atas meja. Jemarinya menjambaki rambutnya sendiri. Marah, sesal, kecewa, membaur menjadi gelombang pekat yang mengempaskannya dengan begitu keras. Sakit. Satu kata yang hampir dia lupakan selama ini. Ternyata Bram masih bisa merasakannya. Saat ini, Bram hanya bisa berharap waktu bisa diputar ulang. Agar dia tidak perlu mengenal gadis yang selama ini telah merenggut seluruh hati dan pikirannya. Gadis yang ternyata tidak pantas dicintai se
Jakarta, 16 April 2018 “Selamat Pagi, Tante, Om,” sapa Andra begitu sampai di ruang makan. Suaranya yang lembut nyaris tertelan deras terjangan hujan yang jatuh di halaman depan dan samping rumah itu. Adhilangga dan Puspa kompak menoleh. Mereka terpana melihat sesosok gadis berprofil mungil berjalan menghampiri mereka. Gadis itu terlihat manis dengan wrap dress selutut warna kuning muda yang Puspa ambilkan dari kamar anaknya. Keduanya jadi teringat pada putri bungsu mereka itu. Usianya sebaya dengan Andra. Saat ini, anak mereka sedang menyelesaikan program magisternya di negara tetangga. Andra menjabat dan mencium tangan kedua orang tua itu. Adhilangga dan Puspa menyambut dengan hangat. “Selamat Pagi. Kamu rupanya yang Bram ceritakan kemarin. Siapa namamu?” tanya Puspa ramah. “Amara, Tante.” Andra menyebutkan nama kecilnya. “Cantik sekali calonmu, Bram,” puji Puspa sambil menoleh ke arah Bram yang tengah serius membaca koran pagi sambil menyesap kopi hitamnya. Perempuan itu kemud
Jakarta, 16 April 2018 “Ikut aku!” Bram menarik pergelangan tangan Amara. Gadis itu terpaksa bangkit dari duduknya dan mengikuti Bram. Jika tidak, dia bisa jatuh terjerembab.“Bram! Jangan kasar begitu!” pekik Puspa. Perempuan itu khawatir Bram akan menyakiti Amara. Puspa bermaksud mengikuti mereka. Akan tetapi, Adhilangga melarangnya. Barangkali, memang ada hal yang harus mereka selesaikan berdua saja. Bram tidak menghiraukan imbauan Puspa. Lelaki itu membawa Amara ke teras samping. Di sana, Bram mendudukkan Amara di sofa. “Apa saja yang kamu ketahui tentang pekerjaanku?!” gertak Bram. Napas lelaki itu memburu. Dadanya bergerak turun naik. Emosi yang sejak semalam dibendungnya seakan hendak meledak. Amara menggeleng sambil menantang netra lelaki itu. Bram berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. “Aku nggak mengatakan apa-apa. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya kamu kerjakan. Kamu pasti sudah melihat semua isi ponselku. Kenapa harus bertanya lagi?” Gadis itu juga panta
Jakarta, 16 April 2018 Bram meminta sopir Adhilangga melajukan mobil ke gedung Cakrawangsa Persada. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dia datang bukan untuk bekerja tetapi menemui seseorang. Bram sudah mencari tahu bahwa orang itu sedang berada di kantornya. “Tunggu saya sebentar, Pak. Saya tidak akan lama,” pesan Bram pada lelaki seusianya yang duduk di belakang kemudi. “Baik, Pak,” sahut lelaki itu. Dengan langkah pasti Bram bergegas memasuki gedung. Suasana lobi siang ini tampak lengang. Seorang security mengangguk padanya. Bram menanggapi alakadarnya. Security itu tertegun. Tidak biasanya Bram bersikap sedingin itu. Meskipun acuh tak acuh, biasanya Bram akan menampakkan sedikit senyum kepada siapa pun yang sedang berjaga. Kadang lelaki itu menyempatkan diri beramah tamah. Sekadar menanyakan kabar mereka. Hal yang membuat security itu dan kawan-kawannya menaruh hormat secara alami pada Bram. Akan tetapi, hari ini sikap Bram tampak kaku. Saat hendak memasuki lif
Jakarta, 16 April 2018 Pagi itu, setelah menumpahkan seluruh kemarahannya, Bram meninggalkan Amara di teras samping bersama Puspa. Lelaki itu menuju ruang perpustakaan bermaksud menenangkan diri. Luka di jemari kanannya masih terbuka. Bram duduk kembali di hadapan laptop yang diletakkannya di meja di depan jendela. Dari tempat itu Bram bisa melihat dedaunan hijau bergoyang-goyang dijatuhi titik-titik hujan. Pemandangan sederhana yang sedikit meredakan kegusarannya. Bram tahu apa yang telah dilakukannya berlebihan. Dia menyalin data-data dari ponsel Amara. Namun, Bram perlu memastikan Amara tidak membahayakan langkahnya. Lelaki itu memberi akses kepada Vanty supaya bisa memeriksa semua yang diperolehnya. Bram ingin mendengar kesimpulan perempuan itu. Bram sedang tidak dapat berpikir jernih. Tak lama kemudian, nada panggil di messenger-nya berbunyi. Vanty mencoba menghubungi untuk kelima kalinya. Empat panggilan sebelumnya Bram abaikan karena belum siap berbicara, Kali ini lelaki it
Jakarta, 8 September 2017 “Pak Bram…,” desah gadis itu sambil menciumi wajah lelaki di hadapannya. Matanya memejam. Bibirnya mencari-cari bibir lelaki itu. Kedua tangannya dikalungkan di leher lelaki itu. Dia terkikik akibat sensasi aneh yang berputar di perutnya. Tubuhnya seperti melayang. Pikirannya terbang entah ke mana. “Pak Bram tahu tidak? Saya sangat menyukai Bapak.” Lelaki di depannya berdecak lalu memegangi kedua sisi kepalanya. Menahan wajah gadis itu sampai berhadapan dengan wajahnya. Berharap gadis itu mengenalinya. “Berhentilah memanggil namanya, Cantik. Apa kamu tidak bisa melihat aku?” bisik lelaki itu di telinga si gadis. Namun, kata-kata yang diucapkan lelaki itu menjadi percuma. Mata gadis itu terpejam. Dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Dia bahkan tidak tahu semua kancing blouse yang dikenakannya sudah terlepas. Dia duduk di pangkuan lelaki itu sampai rok yang dikenakannya tersingkap. Tangan lelaki itu menyusup ke balik blouse-nya dan mengelusi punggung
Jakarta, 16 April 2018 Sopir pribadi Adhilangga membawa mobil menuju sebuah rumah sakit. Lokasinya tak jauh dari gedung Cakrawangsa Persada. Amara yang memintanya sebelum Bram kembali dari menemui Raymond. Gadis itu khawatir Bram mengalami cedera akibat perilaku impulsifnya pagi tadi. Bram menurut saja saat Amara mengajaknya turun di depan ruang IGD. Tidak ada tulang yang patah. Akan tetapi, bagian punggung jari tangannya mengalami memar otot sehingga harus dibebat. Kurang lebih satu jam kemudian, mereka kembali ke mobil. Bram naik ke kabin penumpang. Di sisi lain yang tidak tepat di belakang supir. Lelaki itu menepuk jok di sampingnya. Meminta Amara duduk mendekat. Meskipun jengah Amara bergeser. Bram meraih kepala gadis itu dan disandarkan ke bahunya. “Maafkan aku.” Hanya itu yang dapat Bram ucapkan. Tengorokannya seakan tersekat. Dikecupnya puncak kepala Amara dalam-dalam. Luapan sayang bercampur rasa bersalah. Kelembutan hati gadis itu membuat hati Bram yang sempat membeku k
Jakarta, 7 Februari 2018 Makanan di meja mereka sudah tandas. Perut Amara terasa penuh. Beberapa saat lalu, Bram memaksanya menghabiskan lauk-pauk yang dipesannya. Lelaki itu juga menuangkan lagi satu sendok nasi ke piringnya. Sekarang, Amara jadi banyak menguap. Rupanya, Bram memperhatikan. “Kita pulang setelah agak lengang, ya, Ra,” dalih lelaki itu sambil mengaduk-aduk minuman hangat di depannya. Sebenarnya, bukan masalah lalu lintas yang jadi pertimbangan Bram. Orang yang mengikuti mereka dengan minibus silver itu yang Bram khawatirkan. Orang itu membuntuti mereka. Bram tahu itu. “It’s okay, Pak. Nggak apa-apa,” sahut Amara. Padahal, dalam hati gadis itu menyesal. Semestinya, Amara bertahan untuk pulang dengan taksi saja. Pasti sekarang Amara sudah berada di kamarnya yang nyaman. Amara juga tidak perlu menghadapi rentetan pesan yang tiba-tiba tidak henti masuk ke ponselnya. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang lelaki gila yang rupanya mengutus orang untuk menguntit mere