Jakarta, 20 Februari 2012 Perempuan itu menyusuri jalan sempit yang hanya cukup dilewati satu buah mobil. Beberapa pasang mata menatap penuh kekaguman. Beberapa mulut jail bersiul dan menggoda. Padahal, penampilannya siang itu cukup tertutup dengan dress selutut warna biru tua. Lagipula, dia sedang hamil empat bulan. Di sebelahnya, juga ada seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian model safari serba hitam. Mereka berhenti di sebuah rumah yang tampak seragam dengan empat buah rumah di kanan dan kirinya. Hanya saja, di teras rumah itu terdapat aneka macam tanaman hias dalam pot. Tanaman-tanaman itu tampak terawat. Menjadikan rumah bercat biru muda itu terlihat asri dan berbeda. “Permisi. Selamat siang,” sapa perempuan itu sambil melongok ke dalam. Aroma roti yang sedang dipanggang mengusik hidungnya. Di depan matanya terpampang ruang tamu yang lebih kecil daripada garasi mobil di rumahnya. Kursi anyaman rotan dengan bantalan busa tertata rapi di sana. Di tengah ruangan terdapat seb
Jakarta, 6 Agustus 1987 “Benar-benar kurang ajar! Mereka memanfaatkan situasi untuk membuat kita terjebak. Saya tegaskan! Ini terakhir kali Bhumi Prawiradirga bekerja sama dengan mereka. Setelah proyek hotel di Denpasar selesai, jangan pernah lagi menyebut nama Cakrawangsa Persada!” Baswara Prawiradirga mengeluarkan titahnya di depan para petinggi perusahaan. Lelaki berusia 38 tahun itu menekan-nekan telunjuknya ke atas meja. Malam itu sebuah meeting mendadak diadakan di kantor pusat mereka di kawasan Pasar Minggu. Kantor mereka berada di sebuah komplek ruko dengan bangunan berlantai empat. Ruang meeting tempat mereka berada bernuansa putih. Sama seperti ruangan lainnya. Di dinding terdapat aneka foto proyek-proyek yang berhasil mereka laksanakan. Juga lukisan dari bangunan-bangunan yang menjadi inspirasi mereka. “Apakah tidak sebaiknya kita melapor ke pihak berwenang, Pak?” tanya seorang pimpinan bagian legal. Lelaki itu berusia sepuluh tahun lebih tua dari Baswara. “Mereka menga
Jakarta, 10 April 2018 “Ndra, kapan kita makan-makan?” tanya Kevin sambil berjongkok di sisi meja Andra. Dagunya dia topangkan di kepalan tangan yang menempel di sisi meja. Suara lelaki itu terdengar rendah dan lirih. Sementara, kedua matanya berbinar-binar penuh harap. Andra terdiam sejenak sambil mengernyit. “Makan-makan dalam rangka apa, Kev?” balas gadis itu sambil meneruskan kesibukannya. Dia sedang mengeluarkan dompet dan tissue dari dalam tas. Sekalian menunggu laptopnya benar-benar mati. Jam istirahat sudah lewat lima menit. Hampir semua penghuni procurement sudah meninggalkan ruangan. Hanya ada Andra, Kevin, dan Bram yang tertinggal. “Buat merayakan hari jadian dong, Ndra. Jangan suka pura-pura, deh,” goda Kevin. “Hari jadian? Memang siapa yang jadian?” elak Andra. Gadis itu tidak habis pikir, mengapa teman-temannya cepat sekali menyimpulkan segala sesuatu. Padahal, dia tidak pernah menyampaikan apa-apa. Sudah lebih dari seminggu ini para personel procurement membahas s
Jakarta, 10 April 2018 Sesampainya di lobi, Bram dan Andra berpisah dengan rombongan para direktur tadi. Namun, tanpa diduga mereka pergi ke tujuan yang sama. Sebuah mall yang terletak tak jauh dari kantor. Mereka bertemu lagi ketika melintasi pintu masuk. Rupanya, para petinggi Cakrawangsa Persada itu hendak mengadakan meeting sekaligus makan siang. Bram mengajak Andra berjalan-jalan sebentar. Lelaki itu hanya ingin menghindari Olivia. Perempuan mirip Priyanka Chopra yang sudah menjadi asisten pribadi Imel selama lima tahun. Pastilah saat ini Imel juga sedang berada di tempat itu. Jangan sampai mereka mengetahui di mana Bram dan Andra melewati makan siang. Bisa rusak semuanya. Bram cukup sering bertemu dan berbincang dengan Olivia beberapa kali. Saat meeting, acara launching product, dan seminar kepemimpinan yang diselenggarakan perusahaan. Seperti beberapa perempuan lain, Olivia mencoba menggoda lelaki itu. Bram tidak mau perlakuan perempuan itu padanya menjadi beban pikiran
Jakarta, 10 April 2018 “Pak, saya hampir lupa. Masalah administrasi rumah sakit waktu saya dirawat bagaimana? Apa ada biaya tambahan?” Andra bertanya ketika semua hidangan di meja sudah tandas. Bram diam sejenak. Terus terang, dia memang sengaja menunda untuk membicarakan masalah itu. Lelaki itu belum siap juga membahas sosok misterius yang sudah membereskan biaya rumah sakit Andra. “Oh, soal itu. Kamu tenang saja. Tidak usah dipikirkan, Ra,” jawab Bram. Lelaki itu merogoh dompet dari saku belakang celananya. Dia mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya pada Andra. “Ini kartu asuransimu. Ternyata tidak terpakai.” Andra mengambil kartu berwarna silver yang diulurkan Bram. Semua karyawan Cakrawangsa Persada memang mendapatkan benefit berupa asuransi kesehatan dari sebuah perusahaan asuransi swasta. Asuransi kesehatan yang diwajibkan pemerintah hanya didaftarkan sebagai formalitas saja. Gadis itu terperangah. “Maksudnya, rumah sakit menggratiskan biaya pengobatan saya?” “Bu
Jakarta, 27 Maret 2018 Lelaki itu menggeser layar ponsel di tangannya berkali-kali. Mengamati foto-foto candid seorang gadis yang diambil di beberapa tempat. Lebih banyak dengan latar suasana kantor. Saat dia sedang serius di depan laptopnya, saat dia melakukan presentasi di ruang meeting, juga saat sedang bercengkerama dengan kawan-kawannya. Seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan poni yang jatuh menutupi kening. Sepintas wajahnya mirip model iklan sabun mandi yang kerap menghiasi layar kaca awal tahun 2000 an. Model itu sekarang berkarier di New York. Hanya saja, gadis dalam foto itu tidak tinggi menjulang. Dia mungil sekaligus lebih berisi. Padat di tempat-tempat yang tepat. Apa karena itu sang adik tergila-gila padanya? Lelaki itu menautkan sebelah alisnya. “Pantas saja kamu rela menunggu dia sampai selama itu,” komentar lelaki itu sambil terbahak. “Menurutmu dia nggak akan marah fotonya diambil diam-diam?” “Sebaiknya Mas Satria mengagumi dia dalam hati saja,”protes Bram.
Jakarta, 27 Maret 2018 “Sebenarnya, aku ingin bertemu karena sebuah keperluan,” tutur Bram terdengar formal. “Aku sudah mendiskusikan ini dengan Om Adhil sebelumnya. Sudah sejak lama,” “Baiklah. Mari kita to-the-point saja,” balas Arya tampak bersemangat. Lelaki itu memajukan tubuhnya ke arah Bram. Kedua sikunya bertumpu di lutut dengan telapak tangan saling menggenggam. Bram mengambil sebuah map dari kulit berwarna hitam yang sedari tadi dia letakkan di atas meja. Disodorkannya map berisi sebuah proposal itu kepada Arya. Dia memberi waktu pada lelaki berkacamata itu mempelajari dokumen di tangannya. Kening Arya tampak mengernyit. Lelaki itu meletakkan jari telunjuk kanannya di sisi kening. Dia tidak pernah menyangka sang adik mampu menyusun tindakan senekat ini. “Bisakah Mas Arya membantuku menyampaikan itu pada Bapak?” Suara Bram mengejutkan Arya yang masih terpana. “Adikku yang satu ini memang sudah gila!” umpat Arya. Meskipun merasa ngeri, raut lelaki itu masih tampak berwiba
Jakarta, 13 April 2018 Sudah lewat seminggu, Bram selalu mengajak Andra makan malam di luar. Namun, Jumat malam itu, mereka menikmati nasi goreng a la kaki lima di teras rumah Bu Rima. Kebetulan, tak jauh dari tempat kos Andra itu ada sebuah warung tenda yang baru dibuka. Bu Rima sedang sakit kepala dan sudah tidur ketika Andra pulang. Para penghuni kos yang lain tidak tampak. Setiap weekend, rumah kos ini memang lebih sepi dari biasanya. Sebagian memilih menghabiskan waktunya di luar. Sebagian pulang ke rumah keluarganya. Ada pula yang mengurung diri di kamar. Selesai makan, Andra beranjak ke ruang makan khusus penghuni kos. Letaknya di teras samping. Saat kembali, gadis itu membawa sepotong kue dengan lapisan coklat dan potongan ceri. Di atasnya ada sebuah lilin yang tengah menyala. Wajah Bram bersemu melihat Andra berjalan ke arahnya dengan kue ulang tahun di tangan. Dengan suaranya yang lembut, gadis itu menyanyikan lagu Happy Birthday to You. Kehangatan menjalari hati Bram s
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha