Beranda / Romansa / Asmara dalam Prahara / 66. Sang Penggoda

Share

66. Sang Penggoda

Penulis: Nina Milanova
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-10 11:10:00
Jakarta, 13 April 2018

Sudah lewat seminggu, Bram selalu mengajak Andra makan malam di luar. Namun, Jumat malam itu, mereka menikmati nasi goreng a la kaki lima di teras rumah Bu Rima. Kebetulan, tak jauh dari tempat kos Andra itu ada sebuah warung tenda yang baru dibuka.

Bu Rima sedang sakit kepala dan sudah tidur ketika Andra pulang. Para penghuni kos yang lain tidak tampak.

Setiap weekend, rumah kos ini memang lebih sepi dari biasanya. Sebagian memilih menghabiskan waktunya di luar. Sebagian pulang ke rumah keluarganya. Ada pula yang mengurung diri di kamar.

Selesai makan, Andra beranjak ke ruang makan khusus penghuni kos. Letaknya di teras samping. Saat kembali, gadis itu membawa sepotong kue dengan lapisan coklat dan potongan ceri. Di atasnya ada sebuah lilin yang tengah menyala.

Wajah Bram bersemu melihat Andra berjalan ke arahnya dengan kue ulang tahun di tangan. Dengan suaranya yang lembut, gadis itu menyanyikan lagu Happy Birthday to You.

Kehangatan menjalari hati Bram s
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nisya Kharem
slalu nungguin lanjutannya... berharap happy ending buat Bram dan Andra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Asmara dalam Prahara   67. Mendapatkan Jawaban

    Jakarta, 14 April 2018 Bram merebahkan punggungnya di atas tikar piknik sambil mengatur napas. Sementara itu, Andra terduduk di sampingnya. Masih mengambil udara banyak-banyak. Buliran keringat berjatuhan di keningnya. Gadis itu menarik tas ransel hitam yang teronggok di antara mereka. Kemudian mengeluarkan dua botol air mineral dan dua lembar handuk kecil. Disodorkannya sebotol air mineral dan selembar handuk kepada Bram. Sedangkan yang lain untuk dirinya sendiri. Bram menyambutnya dengan wajah semringah. “Thanks.” Rupanya Andra antusias sekali dengan acara mereka hari ini. Dia sampai menyiapkan segala sesuatunya. Bukan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Bram. Gadis itu hanya balas tersenyum sambil menyeka keringatnya dengan handuk. Lalu perlahan menuangkan isi botol air mineral ke mulutnya. Bram mengamati gerak-gerik gadis itu. Juga parasnya yang polos tanpa make up. Andra terlihat cantik sekali. Kulitnya yang kuning langsat berkilauan diterpa sinar matahari. Rautnya berse

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-13
  • Asmara dalam Prahara   68. Kamu Milikku

    Jakarta, 14 April 2018 Beberapa pemuda yang kebetulan melewati mereka mencuri pandang pada Andra. Salah seorang bahkan mencoba merebut perhatian gadis itu dengan bermanuver di atas papan skateboard. Bram tidak heran dengan tindakan mereka. Bram sudah terbiasa. Beberapa kali ketika mereka berjalan di tempat umum, ada saja laki-laki yang mencuri pandang ke arah Andra. Di kantor pun demikian. Bram tahu ada karyawan dari divisi lain yang sering mondar-mandir ke area procurement hanya untuk mencari perhatian Andra. Tetap saja lelaki itu tidak suka. Bram dan Andra sedang menikmati bekal yang dibawakan gadis itu. Lelaki itu berharap tidak ada yang mengusik kebersamaan mereka. Juga kekaguman Andra. Gadis itu tampak terpesona melihat skill pemuda itu. Bram tahu Andra bukan tertarik pada orangnya. Namun, lelaki itu tetap dihampiri rasa cemburu. Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke telinga Andra. “Masakanmu enak,” bisiknya. Kemudian kembali memundurkan kepalanya. Wajah Andra memerah. “Terima k

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-15
  • Asmara dalam Prahara   69. Setelah Delapan Tahun

    Semarang, 14 April 2018 Hari sudah gelap ketika Bram tiba di depan sebuah rumah bergaya Joglo. Letaknya sedikit jauh dari jalan besar. Rumah itu tampak asri dengan aneka tanaman hijau. Lampu di teras depan sudah menyala. Lelaki itu menutup pintu belakang taksi online yang ditumpanginya. Setelah itu, dia melangkah memasuki halaman. Sebuah mobil sedan keluaran tahun 90 an terparkir di carport. Menandakan bahwa orang yang ingin Bram temui sedang ada di tempat. Menjelang tengah hari, sepulang dari jogging bersama Andra, Bram bertolak ke Soekarno – Hatta. Setelah mendarat di Semarang, dia langsung menuju ke sebuah hotel di kawasan Kota Lama. Bram beristirahat sebentar untuk membersihkan diri dan makan malam. Kemudian, lelaki itu menyambangi sebuah alamat rumah yang berhasil didapatnya kurang dari sebulan lalu. “Selamat Malam. Bisa bertemu dengan Pak Sugeng, Dik?” sapa Bram pada seorang gadis remaja yang membukakan pintu untuknya. “Bapak siapa, ya?” selidik gadis itu. Dia memandangi Br

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Asmara dalam Prahara   70. 'Til I Hear You Sing

    Jakarta, 15 April 2018 “Memangnya, kita mau ke mana?” Pertanyaan Andra menghampiri indra pendengaran Bram. Menyeruak di antara bait Can’t Get You Off My Mind dari music player.Setengah jam sudah berlalu semenjak kebisuan menyelimuti mereka. Jeep Mercedez-Benz hitam yang Bram yang kendarai melaju ke sebuah kawasan di Jakarta Utara.Mobil itu dibeli Bram dua tahun lalu. Bram membawanya ketika menjemput Andra untuk jogging di Suropati. Akan tetapi, Bram tidak pernah membawanya ke kantor karena tidak ingin mengundang perhatian. Statusnya di Cakrawangsa Persada hanyalah karyawan biasa. Lalu lintas Jakarta cukup padat. Kendaraan-kendaraan yang baru kembali dari luar kota mulai memenuhi jalanan. Dua hari ini, Bram begitu sibuk. Setelah kemarin mengunjungi Sugeng di Semarang, sekarang Bram duduk bersebelahan dengan putri lelaki itu. Malam ini, penampilan Andra terlihat berbeda. Gadis itu mengenakan gaun baby doll biru tua dengan lengan brokat sebatas siku. Bagian bawahnya jatuh sedikit di

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Asmara dalam Prahara   71. Malam Ini Belum Usai

    Jakarta, 15 April 2018 Mereka sampai di sebuah restoran yang terletak di pinggir pantai. Embusan angin cukup kencang membuat bagian bawah gaun Andra sedikit berkibar. Bahannya yang ringan membuatnya mudah terbang. Andra berusaha menahan agar roknya tidak tersingkap. Meletakkan telapak tangan di bagian belakang dan clutch bag yang dibawanya di bagian depan. “Maaf. Aku salah perhitungan. Aku tidak menduga kalau kondisinya akan seperti ini,” sesal Bram sambil merentangkan satu tangan dan melingkarkan di pinggang ramping Andra. “Kita bersalaman sebentar lalu mencari kursi.” Bram yang memilihkan gaun yang dipakai Andra saat berbelanja beberapa hari lalu. Alasannya karena warnanya senada dengan kemeja batik lengan panjang dia kenakan. Jika kemeja itu diproduksi sepasang dengan gaun wanitanya, tentu saja Bram akan memilihnya. Sayang sekali kemeja itu dibuat tersendiri. Seperti seorang lajang yang belum menemukan pasangannya. “Aku suka gaunnya. Cantik. Hanya situasinya saja kurang tepat.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-25
  • Asmara dalam Prahara   72. Be My Woman

    Jakarta, 15 April 2018 Setelah berpamitan pada sepasang mempelai, Bram mengajak Andra menuju sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari tempat resepsi. Restoran itu berdiri di atas laut. Mereka berjalan-jalan di sepanjang jembatan menuju venue tempat makan itu. Malam ini pengunjung tidak terlalu banyak. Mereka bisa tenang karena tidak akan kehabisan meja. Tiupan angin pun terasa lebih halus dibanding sebelumnya. Andra sudah tidak perlu khawatir bagian bawah gaunnya akan terbang. “Kenapa Mas Bram memperkenalkan aku dengan nama Amara?” selidik Andra ketika mereka berhenti untuk menikmati hamparan laut lepas. Bram menopang sikunya pada pegangan jembatan. Sementara Andra menyandarkan punggungnya menatap ke arah sebaliknya. “Karena aku suka nama itu. Sesuai dengan pemiliknya.” Bram menoleh seraya tersenyum simpul. “Nama tengahmu Amaranggana. Artinya bidadari. Jika disingkat menjadi Amara, berarti kecantikan abadi. Dan aku memanggilmu Rara yang artinya gadis perawan. Apa ada yang sa

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-25
  • Asmara dalam Prahara   73. Kegelisahan Andra

    Jakarta, 15 April 2018 Perlahan Andra meloloskan pegangan tangan Bram. “A … aku belum bisa menjawab sekarang.” Gadis itu bangkit dari duduknya. Setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan butiran bening yang mulai menerobos sudut matanya. Andra tahu, semestinya dia senang. Gadis yang Bram maksud adalah dirinya. Namun, sebuah ingatan mendadak menghantuinya. Bram terperangah mendapati reaksi gadis itu. Usai membayar makan malam mereka, lelaki itu bergegas menyusul Andra. Dengan langkahnya yang panjang Bram dapat dengan mudah mencapai gadis itu. Dia mendapati Andra berdiri di sisi jembatan menghadap laut. Gadis itu terlihat sibuk mengusap air matanya. Entah apa yang sudah menyusahkan hatinya. “Aku membuatmu sedih?” tanya Bram hati-hati. Andra memiringkan tubuhnya membelakangi Bram sambil menggeleng. Dia memejam sambil meletakkan satu telapak tangan di dada. Menahan perih yang mendera relung-relung hatinya. Tentu saja Andra ingin menjawab “iya” p

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-27
  • Asmara dalam Prahara   74. Pesan Misterius

    Jakarta, 15 April 2018 “Belum puas kamu bermain-main, Ra?!” Bram menggeram sambil mencekal pergelangan tangan Andra dan menariknya. Tubuh mungil gadis itu sontak berbalik ke arahnya. Nyaris menabrak tubuhnya yang berdiri kokoh menjulang. “Belum cukup apa yang sudah aku lakukan selama ini? Belum cukup aku menemui ayahmu? Apa lagi yang kamu mau?!” Bram sudah penat. Kepalanya terasa penuh. Amarah perlahan mulai mengisi rongga dadanya. Jantungnya memompa lebih cepat hingga napasnya memburu. Rasanya Bram tidak sanggup lagi berpikir jernih. Kesabarannya sudah hampir menyentuh titik terendah. Angin malam yang membelai kulitnya seakan tak sanggup menyejukkan pikiran dan hatinya. Bram tidak tahu harus berbuat apa lagi. Seluruh upaya yang sudah dikerahkannya seolah-olah dimentahkan oleh Andra. Hanya karena rasa cemburu gadis itu yang menurutnya tidak beralasan. Selama ini lelaki itu semampunya menjaga jarak dengan Imel. Menghindari setiap urusan yang menjurus ke ranah pribadi dengan perempua

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-27

Bab terbaru

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

DMCA.com Protection Status