Jakarta, 15 April 2018 “Belum puas kamu bermain-main, Ra?!” Bram menggeram sambil mencekal pergelangan tangan Andra dan menariknya. Tubuh mungil gadis itu sontak berbalik ke arahnya. Nyaris menabrak tubuhnya yang berdiri kokoh menjulang. “Belum cukup apa yang sudah aku lakukan selama ini? Belum cukup aku menemui ayahmu? Apa lagi yang kamu mau?!” Bram sudah penat. Kepalanya terasa penuh. Amarah perlahan mulai mengisi rongga dadanya. Jantungnya memompa lebih cepat hingga napasnya memburu. Rasanya Bram tidak sanggup lagi berpikir jernih. Kesabarannya sudah hampir menyentuh titik terendah. Angin malam yang membelai kulitnya seakan tak sanggup menyejukkan pikiran dan hatinya. Bram tidak tahu harus berbuat apa lagi. Seluruh upaya yang sudah dikerahkannya seolah-olah dimentahkan oleh Andra. Hanya karena rasa cemburu gadis itu yang menurutnya tidak beralasan. Selama ini lelaki itu semampunya menjaga jarak dengan Imel. Menghindari setiap urusan yang menjurus ke ranah pribadi dengan perempua
Jakarta, 16 Februari 2017 Andra melangkah memasuki ruangan di lantai delapan itu ragu-ragu. Sekretaris lelaki yang tadi membukakan pintu untuknya sudah menghilang dari balik pintu. Sekarang, dia mengayun langkah menuju sebuah meja besar di depannya dengan jantung berdegup kencang. “Selamat Pagi.” Lelaki pemilik ruangan itu berdiri sambil mengulurkan tangan. Dia memang sudah menanti kehadiran Andra. “Se-lamat Pagi, Pak,” sahut Andra sedikit gugup seraya menyambut jabatan tangannya. Bagaimana tidak? Dia mendapatkan panggilan melalui nomor ekstensionnya. Meminta gadis itu untuk naik ke lantai delapan karena ada yang ingin berbicara dengannya. Siapa pun di gedung ini tahu lantai penghuni lantai delapan adalah orang-orang paling penting. “Silakan duduk,” pinta lelaki itu. Rupanya dia yang memberikan perintah melalui sekretaris yang tadi menyambut Andra. “Terima kasih.” Andra menjatuhkan bokongnya di kursi dengan lapisan kulit berwarna hitam yang kokoh tetapi terasa nyaman. Di hadapann
Jakarta, 15 April 2018 “Kenapa kita nggak berbelok di jalan yang tadi?” protes Andra karena Bram melewati jalan menuju rumah Bu Rima. “Matikan ponsel kamu, Ra,” pinta Bram. “Kenapa?” selidik Andra. Matanya melebar menatap Bram sementara tangannya memegang ponsel. Beberapa saat lalu benda itu kembali bergetar. “Aku tidak mau dia tahu di mana kamu berada,” jelas Bram. Lelaki itu menatap lurus ke jalan di depannya masih cukup padat. Menyadari sikap Bram, hati Andra jadi diliputi rasa bersalah, Tanpa bertanya-tanya lagi, gadis itu menuruti permintaan Bram. Jantungnya berderap cepat. Kepalanya terasa pening. Berbagai skenario berkelebatan di kepala gadis itu. Apa yang akan terjadi pada dirinya nanti setelah membuat orang di seberang sana murka. Apakah orang itu benar-benar akan melaksanakan ancamannya? Andra menelan ludah. Lehernya terasa tercekat. Suasana kabin saat ini diselimuti ketegangan. Kontras dengan keseruan saat mereka berangkat sore tadi. Bram memikirkan ke mana dia harus
Jakarta, 15 April 2018 Seorang perempuan berusia awal 50 an muncul dari balik pintu. Tubuhnya yang atletis dibalut kaos oblong putih dan celana training biru tua. Perempuan itu terkejut mendapati wajah Bram. Apalagi Bram datang menjelang tengah malam dengan seorang gadis yang tampaknya tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya sembab dan make up di sekitar matanya berantakan. Dia menebak bahwa mereka berdua habis bertengkar. “Eh, Mas Bram,” sapa perempuan itu seraya mundur selangkah. Memberi jalan untuk Bram dan Andra. “Bapak dan Ibu sedang ke luar kota.” Bram menggandeng Andra memasuki rumah. “Tidak apa-apa, Bu Kris. Saya hanya menumpang istirahat. Nanti saya beritahu Om Adhil kalau saya kemari. Yang lain sudah tidur?” Andra hanya diam menyimak pembicaraan mereka sambil menerka-nerka. Sebenarnya rumah siapa yang mereka datangi ini? “Iya. Seperti biasa. Kalau Bapak dan Ibu nggak di rumah, aktivitas sudah selesai sebelum jam sepuluh malam.” “Kalau begitu saya minta tolong buatkan teh
Jakarta, 15 April 2018 Andra meminta izin menumpang ke kamar kecil. Gadis itu membasuh dan membersihkan wajahnya di wastafel. Dari pantulan di cermin Andra bisa melihat betapa kacau penampilannya. Gadis itu menertawai bayangannya sendiri. Pantas saja Bram bilang Andra seperti panda. Setelah beberapa saat mematut diri, gadis itu juga memutuskan untuk mengurai rambutnya.Ketika Andra kembali, Bram menatapnya sambil tersenyum. Andra terlihat lebih segar sekarang. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” resah Bram ketika Andra sudah kembali duduk di sisinya. “Apa karena menurutmu ada yang kurang?” Bukan tanpa alasan Bram menanyakan hal itu. Sebenarnya, lelaki itu sudah menyiapkan semua. Namun, dia malah melupakan apa yang seharusnya dibawa saat mengajak Andra makan malam. Ketika Andra berpamitan ke kamar kecil tadi, Bram bergegas kembali ke mobil dan mengambil sesuatu yang disembunyikannya.Andra menggeleng. “Tidak ada yang kurang. Memang apa?” Pikiran gadis itu jadi menerawang. Dia terin
Jakarta, 16 April 2018 Sesaat, tubuh Kristin membeku. Perempuan itu menghentikan langkah dan tersenyum kikuk. Rupanya, dia sudah menginterupsi sesuatu yang sangat pribadi. “Oh, maaf!” sesalnya. Menyadari kehadiran Kristin, Andra menjadi salah tingkah. Kedua pipinya memanas. Gadis itu memalingkan wajah seraya menyelipkan sejumput rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Sedangkan Bram berdeham kemudian bangkit dari duduknya. Lelaki itu menyambar ponsel yang masih berada di tangan Kristin. “Bu Kris, tolong antar Rara ke kamar. Dia harus istirahat,” titah Bram kemudian beranjak menuju teras samping. Sekilas lelaki itu menilik ke arah Andra yang juga sedang menatapnya. Mereka saling melempar senyum penuh arti. Kristin mencoba memahami situasi itu. Sebagai sosok yang lebih tua dan berpengalaman, peremuan itu tahu bahwa keduanya sedang dimabuk asmara. “Baik, Mas,” sahut Kristin datar lalu merentangkan tangan kanannya ke arah Andra. “Ayo, Mbak. Kita ke atas.” “Iya, Bu.” Andra mengik
Jakarta, 16 April 2018 Bram memasang kembali penutup ponsel yang ada di tangannya. Wajah lelaki itu tampak muram. Penerangan remang-remang di ruang perpustakaan milik pamannya menambah redup suasana hatinya. Dengan gusar dia letakkan benda pipih di tangannya itu ke sudut meja. Diempaskannya punggung ke leher kursi kayu yang didudukinya. Tangan lelaki itu tampak gemetar. Riuh di dadanya seirama dengan kericuhan di kepalanya. “Rara, kenapa kamu lakukan ini?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Menumpu tubuh dengan kedua siku yang menempel di atas meja. Jemarinya menjambaki rambutnya sendiri. Marah, sesal, kecewa, membaur menjadi gelombang pekat yang mengempaskannya dengan begitu keras. Sakit. Satu kata yang hampir dia lupakan selama ini. Ternyata Bram masih bisa merasakannya. Saat ini, Bram hanya bisa berharap waktu bisa diputar ulang. Agar dia tidak perlu mengenal gadis yang selama ini telah merenggut seluruh hati dan pikirannya. Gadis yang ternyata tidak pantas dicintai se
Jakarta, 16 April 2018 “Selamat Pagi, Tante, Om,” sapa Andra begitu sampai di ruang makan. Suaranya yang lembut nyaris tertelan deras terjangan hujan yang jatuh di halaman depan dan samping rumah itu. Adhilangga dan Puspa kompak menoleh. Mereka terpana melihat sesosok gadis berprofil mungil berjalan menghampiri mereka. Gadis itu terlihat manis dengan wrap dress selutut warna kuning muda yang Puspa ambilkan dari kamar anaknya. Keduanya jadi teringat pada putri bungsu mereka itu. Usianya sebaya dengan Andra. Saat ini, anak mereka sedang menyelesaikan program magisternya di negara tetangga. Andra menjabat dan mencium tangan kedua orang tua itu. Adhilangga dan Puspa menyambut dengan hangat. “Selamat Pagi. Kamu rupanya yang Bram ceritakan kemarin. Siapa namamu?” tanya Puspa ramah. “Amara, Tante.” Andra menyebutkan nama kecilnya. “Cantik sekali calonmu, Bram,” puji Puspa sambil menoleh ke arah Bram yang tengah serius membaca koran pagi sambil menyesap kopi hitamnya. Perempuan itu kemud