Jakarta, 15 April 2018 Andra meminta izin menumpang ke kamar kecil. Gadis itu membasuh dan membersihkan wajahnya di wastafel. Dari pantulan di cermin Andra bisa melihat betapa kacau penampilannya. Gadis itu menertawai bayangannya sendiri. Pantas saja Bram bilang Andra seperti panda. Setelah beberapa saat mematut diri, gadis itu juga memutuskan untuk mengurai rambutnya.Ketika Andra kembali, Bram menatapnya sambil tersenyum. Andra terlihat lebih segar sekarang. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” resah Bram ketika Andra sudah kembali duduk di sisinya. “Apa karena menurutmu ada yang kurang?” Bukan tanpa alasan Bram menanyakan hal itu. Sebenarnya, lelaki itu sudah menyiapkan semua. Namun, dia malah melupakan apa yang seharusnya dibawa saat mengajak Andra makan malam. Ketika Andra berpamitan ke kamar kecil tadi, Bram bergegas kembali ke mobil dan mengambil sesuatu yang disembunyikannya.Andra menggeleng. “Tidak ada yang kurang. Memang apa?” Pikiran gadis itu jadi menerawang. Dia terin
Jakarta, 16 April 2018 Sesaat, tubuh Kristin membeku. Perempuan itu menghentikan langkah dan tersenyum kikuk. Rupanya, dia sudah menginterupsi sesuatu yang sangat pribadi. “Oh, maaf!” sesalnya. Menyadari kehadiran Kristin, Andra menjadi salah tingkah. Kedua pipinya memanas. Gadis itu memalingkan wajah seraya menyelipkan sejumput rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Sedangkan Bram berdeham kemudian bangkit dari duduknya. Lelaki itu menyambar ponsel yang masih berada di tangan Kristin. “Bu Kris, tolong antar Rara ke kamar. Dia harus istirahat,” titah Bram kemudian beranjak menuju teras samping. Sekilas lelaki itu menilik ke arah Andra yang juga sedang menatapnya. Mereka saling melempar senyum penuh arti. Kristin mencoba memahami situasi itu. Sebagai sosok yang lebih tua dan berpengalaman, peremuan itu tahu bahwa keduanya sedang dimabuk asmara. “Baik, Mas,” sahut Kristin datar lalu merentangkan tangan kanannya ke arah Andra. “Ayo, Mbak. Kita ke atas.” “Iya, Bu.” Andra mengik
Jakarta, 16 April 2018 Bram memasang kembali penutup ponsel yang ada di tangannya. Wajah lelaki itu tampak muram. Penerangan remang-remang di ruang perpustakaan milik pamannya menambah redup suasana hatinya. Dengan gusar dia letakkan benda pipih di tangannya itu ke sudut meja. Diempaskannya punggung ke leher kursi kayu yang didudukinya. Tangan lelaki itu tampak gemetar. Riuh di dadanya seirama dengan kericuhan di kepalanya. “Rara, kenapa kamu lakukan ini?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Menumpu tubuh dengan kedua siku yang menempel di atas meja. Jemarinya menjambaki rambutnya sendiri. Marah, sesal, kecewa, membaur menjadi gelombang pekat yang mengempaskannya dengan begitu keras. Sakit. Satu kata yang hampir dia lupakan selama ini. Ternyata Bram masih bisa merasakannya. Saat ini, Bram hanya bisa berharap waktu bisa diputar ulang. Agar dia tidak perlu mengenal gadis yang selama ini telah merenggut seluruh hati dan pikirannya. Gadis yang ternyata tidak pantas dicintai se
Jakarta, 16 April 2018 “Selamat Pagi, Tante, Om,” sapa Andra begitu sampai di ruang makan. Suaranya yang lembut nyaris tertelan deras terjangan hujan yang jatuh di halaman depan dan samping rumah itu. Adhilangga dan Puspa kompak menoleh. Mereka terpana melihat sesosok gadis berprofil mungil berjalan menghampiri mereka. Gadis itu terlihat manis dengan wrap dress selutut warna kuning muda yang Puspa ambilkan dari kamar anaknya. Keduanya jadi teringat pada putri bungsu mereka itu. Usianya sebaya dengan Andra. Saat ini, anak mereka sedang menyelesaikan program magisternya di negara tetangga. Andra menjabat dan mencium tangan kedua orang tua itu. Adhilangga dan Puspa menyambut dengan hangat. “Selamat Pagi. Kamu rupanya yang Bram ceritakan kemarin. Siapa namamu?” tanya Puspa ramah. “Amara, Tante.” Andra menyebutkan nama kecilnya. “Cantik sekali calonmu, Bram,” puji Puspa sambil menoleh ke arah Bram yang tengah serius membaca koran pagi sambil menyesap kopi hitamnya. Perempuan itu kemud
Jakarta, 16 April 2018 “Ikut aku!” Bram menarik pergelangan tangan Amara. Gadis itu terpaksa bangkit dari duduknya dan mengikuti Bram. Jika tidak, dia bisa jatuh terjerembab.“Bram! Jangan kasar begitu!” pekik Puspa. Perempuan itu khawatir Bram akan menyakiti Amara. Puspa bermaksud mengikuti mereka. Akan tetapi, Adhilangga melarangnya. Barangkali, memang ada hal yang harus mereka selesaikan berdua saja. Bram tidak menghiraukan imbauan Puspa. Lelaki itu membawa Amara ke teras samping. Di sana, Bram mendudukkan Amara di sofa. “Apa saja yang kamu ketahui tentang pekerjaanku?!” gertak Bram. Napas lelaki itu memburu. Dadanya bergerak turun naik. Emosi yang sejak semalam dibendungnya seakan hendak meledak. Amara menggeleng sambil menantang netra lelaki itu. Bram berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. “Aku nggak mengatakan apa-apa. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya kamu kerjakan. Kamu pasti sudah melihat semua isi ponselku. Kenapa harus bertanya lagi?” Gadis itu juga panta
Jakarta, 16 April 2018 Bram meminta sopir Adhilangga melajukan mobil ke gedung Cakrawangsa Persada. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dia datang bukan untuk bekerja tetapi menemui seseorang. Bram sudah mencari tahu bahwa orang itu sedang berada di kantornya. “Tunggu saya sebentar, Pak. Saya tidak akan lama,” pesan Bram pada lelaki seusianya yang duduk di belakang kemudi. “Baik, Pak,” sahut lelaki itu. Dengan langkah pasti Bram bergegas memasuki gedung. Suasana lobi siang ini tampak lengang. Seorang security mengangguk padanya. Bram menanggapi alakadarnya. Security itu tertegun. Tidak biasanya Bram bersikap sedingin itu. Meskipun acuh tak acuh, biasanya Bram akan menampakkan sedikit senyum kepada siapa pun yang sedang berjaga. Kadang lelaki itu menyempatkan diri beramah tamah. Sekadar menanyakan kabar mereka. Hal yang membuat security itu dan kawan-kawannya menaruh hormat secara alami pada Bram. Akan tetapi, hari ini sikap Bram tampak kaku. Saat hendak memasuki lif
Jakarta, 16 April 2018 Pagi itu, setelah menumpahkan seluruh kemarahannya, Bram meninggalkan Amara di teras samping bersama Puspa. Lelaki itu menuju ruang perpustakaan bermaksud menenangkan diri. Luka di jemari kanannya masih terbuka. Bram duduk kembali di hadapan laptop yang diletakkannya di meja di depan jendela. Dari tempat itu Bram bisa melihat dedaunan hijau bergoyang-goyang dijatuhi titik-titik hujan. Pemandangan sederhana yang sedikit meredakan kegusarannya. Bram tahu apa yang telah dilakukannya berlebihan. Dia menyalin data-data dari ponsel Amara. Namun, Bram perlu memastikan Amara tidak membahayakan langkahnya. Lelaki itu memberi akses kepada Vanty supaya bisa memeriksa semua yang diperolehnya. Bram ingin mendengar kesimpulan perempuan itu. Bram sedang tidak dapat berpikir jernih. Tak lama kemudian, nada panggil di messenger-nya berbunyi. Vanty mencoba menghubungi untuk kelima kalinya. Empat panggilan sebelumnya Bram abaikan karena belum siap berbicara, Kali ini lelaki it
Jakarta, 8 September 2017 “Pak Bram…,” desah gadis itu sambil menciumi wajah lelaki di hadapannya. Matanya memejam. Bibirnya mencari-cari bibir lelaki itu. Kedua tangannya dikalungkan di leher lelaki itu. Dia terkikik akibat sensasi aneh yang berputar di perutnya. Tubuhnya seperti melayang. Pikirannya terbang entah ke mana. “Pak Bram tahu tidak? Saya sangat menyukai Bapak.” Lelaki di depannya berdecak lalu memegangi kedua sisi kepalanya. Menahan wajah gadis itu sampai berhadapan dengan wajahnya. Berharap gadis itu mengenalinya. “Berhentilah memanggil namanya, Cantik. Apa kamu tidak bisa melihat aku?” bisik lelaki itu di telinga si gadis. Namun, kata-kata yang diucapkan lelaki itu menjadi percuma. Mata gadis itu terpejam. Dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Dia bahkan tidak tahu semua kancing blouse yang dikenakannya sudah terlepas. Dia duduk di pangkuan lelaki itu sampai rok yang dikenakannya tersingkap. Tangan lelaki itu menyusup ke balik blouse-nya dan mengelusi punggung