Jakarta, 15 April 2018 Seorang perempuan berusia awal 50 an muncul dari balik pintu. Tubuhnya yang atletis dibalut kaos oblong putih dan celana training biru tua. Perempuan itu terkejut mendapati wajah Bram. Apalagi Bram datang menjelang tengah malam dengan seorang gadis yang tampaknya tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya sembab dan make up di sekitar matanya berantakan. Dia menebak bahwa mereka berdua habis bertengkar. “Eh, Mas Bram,” sapa perempuan itu seraya mundur selangkah. Memberi jalan untuk Bram dan Andra. “Bapak dan Ibu sedang ke luar kota.” Bram menggandeng Andra memasuki rumah. “Tidak apa-apa, Bu Kris. Saya hanya menumpang istirahat. Nanti saya beritahu Om Adhil kalau saya kemari. Yang lain sudah tidur?” Andra hanya diam menyimak pembicaraan mereka sambil menerka-nerka. Sebenarnya rumah siapa yang mereka datangi ini? “Iya. Seperti biasa. Kalau Bapak dan Ibu nggak di rumah, aktivitas sudah selesai sebelum jam sepuluh malam.” “Kalau begitu saya minta tolong buatkan teh
Jakarta, 15 April 2018 Andra meminta izin menumpang ke kamar kecil. Gadis itu membasuh dan membersihkan wajahnya di wastafel. Dari pantulan di cermin Andra bisa melihat betapa kacau penampilannya. Gadis itu menertawai bayangannya sendiri. Pantas saja Bram bilang Andra seperti panda. Setelah beberapa saat mematut diri, gadis itu juga memutuskan untuk mengurai rambutnya.Ketika Andra kembali, Bram menatapnya sambil tersenyum. Andra terlihat lebih segar sekarang. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” resah Bram ketika Andra sudah kembali duduk di sisinya. “Apa karena menurutmu ada yang kurang?” Bukan tanpa alasan Bram menanyakan hal itu. Sebenarnya, lelaki itu sudah menyiapkan semua. Namun, dia malah melupakan apa yang seharusnya dibawa saat mengajak Andra makan malam. Ketika Andra berpamitan ke kamar kecil tadi, Bram bergegas kembali ke mobil dan mengambil sesuatu yang disembunyikannya.Andra menggeleng. “Tidak ada yang kurang. Memang apa?” Pikiran gadis itu jadi menerawang. Dia terin
Jakarta, 16 April 2018 Sesaat, tubuh Kristin membeku. Perempuan itu menghentikan langkah dan tersenyum kikuk. Rupanya, dia sudah menginterupsi sesuatu yang sangat pribadi. “Oh, maaf!” sesalnya. Menyadari kehadiran Kristin, Andra menjadi salah tingkah. Kedua pipinya memanas. Gadis itu memalingkan wajah seraya menyelipkan sejumput rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Sedangkan Bram berdeham kemudian bangkit dari duduknya. Lelaki itu menyambar ponsel yang masih berada di tangan Kristin. “Bu Kris, tolong antar Rara ke kamar. Dia harus istirahat,” titah Bram kemudian beranjak menuju teras samping. Sekilas lelaki itu menilik ke arah Andra yang juga sedang menatapnya. Mereka saling melempar senyum penuh arti. Kristin mencoba memahami situasi itu. Sebagai sosok yang lebih tua dan berpengalaman, peremuan itu tahu bahwa keduanya sedang dimabuk asmara. “Baik, Mas,” sahut Kristin datar lalu merentangkan tangan kanannya ke arah Andra. “Ayo, Mbak. Kita ke atas.” “Iya, Bu.” Andra mengik
Jakarta, 16 April 2018 Bram memasang kembali penutup ponsel yang ada di tangannya. Wajah lelaki itu tampak muram. Penerangan remang-remang di ruang perpustakaan milik pamannya menambah redup suasana hatinya. Dengan gusar dia letakkan benda pipih di tangannya itu ke sudut meja. Diempaskannya punggung ke leher kursi kayu yang didudukinya. Tangan lelaki itu tampak gemetar. Riuh di dadanya seirama dengan kericuhan di kepalanya. “Rara, kenapa kamu lakukan ini?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Menumpu tubuh dengan kedua siku yang menempel di atas meja. Jemarinya menjambaki rambutnya sendiri. Marah, sesal, kecewa, membaur menjadi gelombang pekat yang mengempaskannya dengan begitu keras. Sakit. Satu kata yang hampir dia lupakan selama ini. Ternyata Bram masih bisa merasakannya. Saat ini, Bram hanya bisa berharap waktu bisa diputar ulang. Agar dia tidak perlu mengenal gadis yang selama ini telah merenggut seluruh hati dan pikirannya. Gadis yang ternyata tidak pantas dicintai se
Jakarta, 16 April 2018 “Selamat Pagi, Tante, Om,” sapa Andra begitu sampai di ruang makan. Suaranya yang lembut nyaris tertelan deras terjangan hujan yang jatuh di halaman depan dan samping rumah itu. Adhilangga dan Puspa kompak menoleh. Mereka terpana melihat sesosok gadis berprofil mungil berjalan menghampiri mereka. Gadis itu terlihat manis dengan wrap dress selutut warna kuning muda yang Puspa ambilkan dari kamar anaknya. Keduanya jadi teringat pada putri bungsu mereka itu. Usianya sebaya dengan Andra. Saat ini, anak mereka sedang menyelesaikan program magisternya di negara tetangga. Andra menjabat dan mencium tangan kedua orang tua itu. Adhilangga dan Puspa menyambut dengan hangat. “Selamat Pagi. Kamu rupanya yang Bram ceritakan kemarin. Siapa namamu?” tanya Puspa ramah. “Amara, Tante.” Andra menyebutkan nama kecilnya. “Cantik sekali calonmu, Bram,” puji Puspa sambil menoleh ke arah Bram yang tengah serius membaca koran pagi sambil menyesap kopi hitamnya. Perempuan itu kemud
Jakarta, 16 April 2018 “Ikut aku!” Bram menarik pergelangan tangan Amara. Gadis itu terpaksa bangkit dari duduknya dan mengikuti Bram. Jika tidak, dia bisa jatuh terjerembab.“Bram! Jangan kasar begitu!” pekik Puspa. Perempuan itu khawatir Bram akan menyakiti Amara. Puspa bermaksud mengikuti mereka. Akan tetapi, Adhilangga melarangnya. Barangkali, memang ada hal yang harus mereka selesaikan berdua saja. Bram tidak menghiraukan imbauan Puspa. Lelaki itu membawa Amara ke teras samping. Di sana, Bram mendudukkan Amara di sofa. “Apa saja yang kamu ketahui tentang pekerjaanku?!” gertak Bram. Napas lelaki itu memburu. Dadanya bergerak turun naik. Emosi yang sejak semalam dibendungnya seakan hendak meledak. Amara menggeleng sambil menantang netra lelaki itu. Bram berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. “Aku nggak mengatakan apa-apa. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya kamu kerjakan. Kamu pasti sudah melihat semua isi ponselku. Kenapa harus bertanya lagi?” Gadis itu juga panta
Jakarta, 16 April 2018 Bram meminta sopir Adhilangga melajukan mobil ke gedung Cakrawangsa Persada. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dia datang bukan untuk bekerja tetapi menemui seseorang. Bram sudah mencari tahu bahwa orang itu sedang berada di kantornya. “Tunggu saya sebentar, Pak. Saya tidak akan lama,” pesan Bram pada lelaki seusianya yang duduk di belakang kemudi. “Baik, Pak,” sahut lelaki itu. Dengan langkah pasti Bram bergegas memasuki gedung. Suasana lobi siang ini tampak lengang. Seorang security mengangguk padanya. Bram menanggapi alakadarnya. Security itu tertegun. Tidak biasanya Bram bersikap sedingin itu. Meskipun acuh tak acuh, biasanya Bram akan menampakkan sedikit senyum kepada siapa pun yang sedang berjaga. Kadang lelaki itu menyempatkan diri beramah tamah. Sekadar menanyakan kabar mereka. Hal yang membuat security itu dan kawan-kawannya menaruh hormat secara alami pada Bram. Akan tetapi, hari ini sikap Bram tampak kaku. Saat hendak memasuki lif
Jakarta, 16 April 2018 Pagi itu, setelah menumpahkan seluruh kemarahannya, Bram meninggalkan Amara di teras samping bersama Puspa. Lelaki itu menuju ruang perpustakaan bermaksud menenangkan diri. Luka di jemari kanannya masih terbuka. Bram duduk kembali di hadapan laptop yang diletakkannya di meja di depan jendela. Dari tempat itu Bram bisa melihat dedaunan hijau bergoyang-goyang dijatuhi titik-titik hujan. Pemandangan sederhana yang sedikit meredakan kegusarannya. Bram tahu apa yang telah dilakukannya berlebihan. Dia menyalin data-data dari ponsel Amara. Namun, Bram perlu memastikan Amara tidak membahayakan langkahnya. Lelaki itu memberi akses kepada Vanty supaya bisa memeriksa semua yang diperolehnya. Bram ingin mendengar kesimpulan perempuan itu. Bram sedang tidak dapat berpikir jernih. Tak lama kemudian, nada panggil di messenger-nya berbunyi. Vanty mencoba menghubungi untuk kelima kalinya. Empat panggilan sebelumnya Bram abaikan karena belum siap berbicara, Kali ini lelaki it
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha