Astri menguatkan hati. Dia harus menghadapi Julian. Memang, Astri belum siap. Tetapi cepat atau lambat Astri tetap harus menyelesaikan urusannya dengan Julian.Astri mengangkat wajahnya dan memandang Julian. Debaran di dadanya kembali hadir. Cinta untuk Julian tidak berkurang sedikitpun. Marah ada di sana, kecewa juga masih menyapa. Dan itu makin meremas-remas hati Astri, membuatnya luluh lantah, berkeping-keping."Urusan kita sudah ... selesai, Juan. Jangan cari aku lagi. Terima kasih ... sudah mempermainkan aku selama ini." Perih dan berat mengucapkan kata-kata itu. Air mata tak mau kompromi, langsung turun dan membasahi pipi Astri."Astri, what are you talking about? (Astri, apa yang kamu katakan?)" Mata Julian melebar. Dia tidak percaya mendengar apa yang keluar dari bibir tipis dan indah Astri."Jangan bersandiwara lagi. Tidak ada gunanya," ucap Astri dengan suara lebih pelan. Cepat-cepat dia mengusap kedua pipinya.Astri berdiri, rasanya tidak sanggup ternyata berhadapan dengan J
Astri tertegun. Apa yang Galang katakan membuat Astri tersentak. Apakah mungkin, bukti nyata lewat foto itu, Julian berpelukan dengan wanita di foto itu tidak benar? Apa mungkin itu foto editan?"Adik Cantikku, coba kamu pikir dengan tenang. Pikir baik-baik lalu baru membuat kesimpulan," kata Galang. Galang tidak ingin Astri akan salah langkah. Karena emosi dan marah yang meluap, dia kehilangan yang seharusnya menjadi miliknya."Pernikahan itu satu kali untuk seumur hidup. Kita berjanji di hadapan Tuhan akan setia pada pasangan kita sampai maut menjemput. Kamu yakin dengan pria pilihan papa? Kamu siap mendampingi dia hingga ajal datang?" Galang meneruskan lagi.Astri mengembuskan napas berat. Perkataan Galang benar. Astri tidak siap menjadi istri Darma. Sejak mengetahui pandangan Darma tentang pernikahan, Astri sudah bisa membayangkan pernikahan apa yang akan dia jalani jika benar menjadi istri pengacara itu."Kak, apa lebih baik aku kabur saja? Aku nyusul Kak Galang ke Singapura, ya?"
Astri terkesiap. Kalimat yang Julian tulis sebagai pesan bicara jelas tentang hati Julian.- Aku mengagumi kamu. Aku jatuh cinta padamu. Karena itu aku meminta kamu jadi kekasihku. Sekalipun di waktu yang sama aku harus langsung berhadapan dengan papa kamu, aku siap. Aku yakin dengan hatiku. Dan aku juga yakin kamu pun sama.Akhirnya kata cinta itu datang pada Astri. Julian mengatakan dia cinta pada Astri. Mata Astri berkaca-kaca. Sejak menjadi kekasih Julian, kata itu yang Astri tunggu. Astri ingin kepastian jika Julian memang sayang padanya. Bukan hanya karena ingin menyenangkan Wenny atau merasa sudah waktunya dia mendapat istri maka Julian mendekati Astri.Tetapi, kata cinta itu datang di situasi mereka yang berantakan. Andika yang mendapatkan kiriman foto-foto itu. Foto-foto yang menunjukkan langsung padanya siapa pria pilihan Astri. Pria asing yang belum lama dikenal Astri. Tentu saja Andika murka dan langsung membuyarkan hubungan Astri dan Julian. Yang menyedihkan, tanpa memiki
"Bapak Darma Biswara. Ada yang penting menghubungi aku? Kurasa sebelum Bapak bicara aku perlu melakukan klarifikasi." Sintya bicara dengan suara ceria."Ada yang memang aku mau bicarakan dengan kamu. Kamu mau klarifikasi apa?" Suara berat Darma membalas perkataan Sintya."Julian mengajak aku bertemu. Dia marah-marah padaku. Karena dia menerima foto-foto adegan romantis aku dan dia. Darma, kamu yang melakukannya?" Sintya langsung bertanya. Dia sudah tahu apa jawaban yang akan dia terima, tapi tetap Sintya perlu minta penjelasan dari Darma."Hmm. cepat juga pria itu mendapat kabar istimewa." Darma bicara dengan nada tetap tenang. "Kamu juga mau marah padaku? Kamu ga suka? Menurut kamu, apakah aku berlebihan?""Gimana, ya?" Sintya pura-pura berpikir. "Aku kaget tentu saja. Seperti artis ketahuan berselingkuh. Ya, aku anggaplah berselingkuh dengan selingkuhan tunangan kamu. Kenapa jadi ruwet begitu?" "Kamu berhak marah, Sin. Tapi aku tidak punya cara lain untuk mendapat bukti. Aku harus m
Astri menoleh mendengar panggilan Wenny. Segera matanya tertuju pada Julian yang berjalan sedikit di belakang Wenny. Tampan, gagah, dan keren. Tetapi Astri bisa melihat raut wajahnya tidak seceria biasanya. "Wenny! Ah, kamu udah masuk!!" Teman-teman Wenny senang melihat Wenny kembali ke sekolah. Gadis-gadis itu merubung Wenny. Mereka berbicara hampir bersahut-sahutan seperti tidak ada yang mau mengalah.Astri dan Julian tidak memperhatikan lagi sekeliling. Mereka saling memandang. Baru sehari saja tidak bertemu. Kejadian mengejutkan mereka harus hadapi. Keduanya terlihat tegang, tidak tahu siapa yang akan memulai bicara lebih dulu."Ayo, kita ke kamar! Abis itu siap-siap kelas!" Errin bicara sekerasnya untuk mengalahkan suara teman-teman yang riuh."Oke, ayo!" Gadis di sebelah Errin menyahut."Eh, Kak!" Wenny menoleh dan memanggil Julian.Julian dan Astri yang berdiri berhadapan meski jarak mereka agak jauh, tersentak. Mereka menoleh ke arah Wenny."Tasku mana? Mau masuk asrama!" Wen
This is it! Kenapa Astri tidak pernah terpikir akan hal itu? Benar sekali pertanyaan Julian. Siapa yang mengirimkan foto-foto itu pada Andika? Sudah pasti orang itu kenal Andika dan punya nomornya.Pertanyaan lain, apakah orang itu juga yang membuat foto-foto atau dia mendapatkannya dari orang lain lagi? Astri harus bertanya pada Andika. Dengan begitu mungkin Astri akan punya petunjuk siapa yang sengaja mengacaukan keadaan."Astri, kamu ngerti yang aku maksud?" Julian menatap Astri.Astri mengangguk cepat. "Aku harus bertemu papa dan bicara dengannya. Aku tidak mau papa terus salah paham dan menilai buruk padamu, Juan.""Oke. Apa perlu aku temani?" Julian membalas tatapan Astri."Nggak. Kalau dalam situasi masih panas, aku justru kuatir tidak akan ada hasilnya. Semua percuma. Biar aku saja. Kalau nanti sudah mereda aku akan beritahu waktu yang tepat kamu bisa bertemu dengan papa." Astri mengelak.Astri sangat kenal tabiat ayahnya. Lebih baik Julian tidak melakukan apa-apa atau pecah pe
Astri menatap wajahnya di cermin. Riasan lengkap di wajahnya membuat dia tampak sangat cantik. Tetapi tidak ada senyum di bibirnya. Pakaian indah dan mewah yang dia kenakan, tetapi kepedihan yang Astri rasa.Tidak ada pilihan. Tidak ada yang bisa Astri lakukan lagi. Tidak sampai satu jam lagi, Darma dan keluarga Biswara akan datang. Semua persiapan sudah lengkap. Hari itu Astri dilamar."Kak, ayo!" Damira muncul di pintu kamar Astri. Astri menoleh dengan wajah lesu, marah, dan sedih. Damira mendekat memandang Astri dengan wajah yang juga tak bersemangat."Kak, kamu ga apa-apa?" tanya Damira.Astri menatap nanar adiknya. Tidak tahu harus menjawab apa. Damira mengusap pundak Astri. Sedih juga melihat kakaknya terpaksa menerima pria yang tidak dia cintai dalam hidupnya. Sekali punya kekasih, ternyata kenyataan menunjukkan pria itu hanya lelaki hidung belang."Doakan aku, Mira. Biar kehendak Tuhan yang terjadi. Aku ... hufhh." Astri tak mampu bicara apapun rasanya. Berbicara juga tidak ad
"Kak! Kak Astri!" Suara Damira memanggil dari depan pintu kamar mandi.Astri menghentikan tangisnya. Dadanya naik turun menahan sakit yang sangat dalam. Dia tidak mau Damira tahu dia menangis. Kalau nanti Astri harus bertemu lagi dengan orang-orang, dia sudah harus kuat."Kak, kamu baik-baik?" tanya Damira."Sedikit lagi, Mira." Astri menjawab, berusaha senormal mungkin suara yang dia keluarkan."Oke," sahut Damira. "Aku tunggu di sini."Astri bangun dan merapikan gaunnya. Lalu dia melihat dirinya di cermin. Wajahnya berantakan karena air mata yang deras membanjiri wajahnya. Dia tidak mungkin menemui semua orang dengan wajah kucel seperti itu. Astri harus merapikan riasannya.Astri membersihkan wajah, setidaknya tidak terlihat sangat kacau. Lalu dia keluar kamar mandi. Damira berdiri tak jauh dari pintu. Damira kaget melihat Astri. Matanya agak sembab dengan mata merah dan hidung juga merah."Kak?" ujar Damira."Aku ke kamar sebentar, aku rapikan make up." Astri berjalan menuju ke kama
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d