Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
“Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu! Paling lambat besok kamu sudah harus tiba di rumah. Kamu dengar, Astri!?” Suara berat dan keras terdengar dari ponsel Astri. Sang ayah memberikan perintah yang tidak mungkin dia bantah. “Papa, minggu ini jadwalku sangat padat, aku tidak mungkin pulang. Aku usahakan minggu depan lagi baru aku pulang,” bujuk Astri. Dia sangat berharap nada memelas drinya akan meluluhkan hati Tuan Andika. “Kamu pikir ayahmu bisa kamu bodohi? Sesibuk apa kamu di sana? Kamu pasti bisa mengatur pulang barang satu hari, bahkan tidak perlu menginap kalau perlu. Tapi kamu harus pulang!” Suara lebih tegas terdengar dari pria berusia hampir enam puluh tahun itu. “Please, Papa, minggu depan aku atur waktuku.” Astri masih berusaha mengelak. Dia sudah bisa membayangkan sebenarnya apa yang ayahnya mau. “Anak itu wajib taat pada orang tuanya. Tidak peduli kamu sudah dewasa dan bisa menghidupi diri kamu sendiri, aku tetap ayah kamu. Atau kamu mau aku anggap anak yan
Deg! Detak jantung Astri seketika bergemuruh. Dia harus kembali berhadapan dengan papanya. Senyum dan wajah ceria Astri hari itu benar-benar redup. Titi yang ada di sebelah Astri, memandang putrinya, menatap dengan wajah serius. "Darma pria yang baik dan punya masa depan bagus. Dia pantas dipertimbangkan menjadi suami kamu.” Kalimat itu dengan lancar dan jelas meluncur dari bibir Andika. Darma dan ayahnya sudah pulang. Acara makan bersama berjalan lancar. Tirtaraka salah satu relasi Andika dalam bisnis. Dia pria berkarisma yang terbuka dan bersikap cukup menyenangkan. Darma, seorang pengacara muda yang sedang giat menaikkan karirnya. Dia bukan tidak memikirkan soal percintaan, tetapi dia butuh didesak sedikit saja, menurut ayahnya. Itulah kenapa Tirtaraka tidak keberatan mengajak Darma datang ke rumah Andika. “Pa, aku bisa mencari sendiri pendamping hidup buat diriku. Papa tidak perlu lakukan ini. Darma bukan tipeku,” kata Astri tegas menolak Darma yang seolah akan dijodohkan dengan
Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira. Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma. "Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah. Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah. "Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!" "Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesen
Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu. "Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas. Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu. "Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis! "Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan. Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian. "Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny." "Oh, hai ..." Julian mengulurka
Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d