Deg! Detak jantung Astri seketika bergemuruh. Dia harus kembali berhadapan dengan papanya. Senyum dan wajah ceria Astri hari itu benar-benar redup. Titi yang ada di sebelah Astri, memandang putrinya, menatap dengan wajah serius.
"Darma pria yang baik dan punya masa depan bagus. Dia pantas dipertimbangkan menjadi suami kamu.” Kalimat itu dengan lancar dan jelas meluncur dari bibir Andika.Darma dan ayahnya sudah pulang. Acara makan bersama berjalan lancar. Tirtaraka salah satu relasi Andika dalam bisnis. Dia pria berkarisma yang terbuka dan bersikap cukup menyenangkan. Darma, seorang pengacara muda yang sedang giat menaikkan karirnya. Dia bukan tidak memikirkan soal percintaan, tetapi dia butuh didesak sedikit saja, menurut ayahnya. Itulah kenapa Tirtaraka tidak keberatan mengajak Darma datang ke rumah Andika.“Pa, aku bisa mencari sendiri pendamping hidup buat diriku. Papa tidak perlu lakukan ini. Darma bukan tipeku,” kata Astri tegas menolak Darma yang seolah akan dijodohkan dengannya.“Sampai kapan? Kamu sudah dua puluh sembilan tahun, Astrina Talia. Papa terus menunggu kamu memberi kabar kalau kamu sudah punya kekasih dan siap berumah tangga." Tatapan tegas Andika membuat hati Astri menciut.Lagi dan lagi soal pasangan Astri. Ini kali yang kesekian Andika bicara dan makin kuat mendesak Astri segera mendapat kekasih. Apakah Astri harus mengiyakan rencana ayahnya, agar dia menjalin hubungan dengan Darma?Astri memandang sang ayah dengan lesu. Jujur, Astri menyesal dia benar-benar pulang hari itu, sampai bertukar jadwal, mengatur ulang kegiatan, hanya untuk mendapati kenyataan dia dikenalkan dengan Darma!"Masa sampai sudah mau kepala tiga, satu kali pun Papa tidak pernah tahu kamu suka dengan cowok, dekat cowok, apalagi sampai gembira cerita kamu punya pacar." Andika lurus-lurus memandang Astri.Astri menelan ludahnya. Itu kenyataannya! Astri belum pernah dekat dengan cowok apalagi berpacaran. Sisi itu yang Astri sama sekali tidak mau sentuh dari lembaran hari-harinya."Kamu wanita normal, kan?" tanya Andika. Dia mencondongkan wajahnya ke depan, memastikan setiap kata yang dia lontarkan, Astri mendengarnya."Mas!?""Papa?"Titi dan Astri menyahut bareng."Mas ngomong jangan sembarangan, dong!" Titi tidak terima suaminya menduga putri mereka punya orientasi hubungan yang tidak lazim."Apa salah aku punya pikiran seperti itu?" Tatapan tajam Andika beralih pada Titi.Wajah Astri seketika cemberut. Ingin sekali dia bangun dan keluar dari rumah. Untuk apa dia pulang kalau kenyataan ini yang dia dapati? Ayahnya mendesak Astri agar segera mencari pasangan dan yang mengerikan, Andika berpikiran kalau Astri penyuka sesama jenis? Seburuk itukah Astri di hadapan ayahnya sendiri?"Kakakmu, Gilang, sudah menikah. Anaknya yang kedua tidak lama lagi akan lahir. Waktu di sekolah, belum masuk SMA pun, Gilang sudah bangga menceritakan cewek yang dia taksir. Beberapa kali dia kenalkan teman wanita ke rumah."Adikmu, Damira, sudah empat atau lima kali berganti kekasih. Dan aku hampir yakin, kali ini dia serius dengan Davin. Kalau sampai dia lebih dulu menikah dari kamu, gimana? Papa tidak mau itu terjadi, Astrina!"Ini ternyata yang menjadi kekuatiran Andika. Karena anak bungsu keluarga itu sudah mulai serius dengan kekasihnya. Akan sangat tidak pantas seandainya Damira menikah sementara Astri belum menikah.Astri menelan ludahnya. Dalam hal ini papanya tidak salah. Andika punya alasan tepat meminta Astri segera mencari pasangan. Tetapi Astri tidak sanggup dan tidak siap. Entah sampai kapan baru Astri bisa memulai hubungan dengan makhluk yang disebut laki-laki.Astri memejamkan mata. Bayangan ngeri masa remajanya yang tercabik karena pria, muncul dengan cepat dalam pikirannya. Hati Astri seketika merasakan takut dan marah menjadi satu. Wajah pria berkulit sedikit gelap menghantui Astri. Astri menunduk dan menarik napas dalam, lalu segera membuka matanya lagi."Astri, kamu ada apa sampai tidak mau memikirkan jodoh? Kamu cantik, cerdas, dan banyak talenta. Karir kamu bagus. Kurang apa? Kamu tidak percaya diri?" tanya Andika dengan kesal."Bukan begitu, Pa. Aku belum siap. Itu saja. Kalau aku tidak yakin, bagaimana bisa aku menjalani hubungan, apalagi menikah?" Astri mencoba menjelaskan, meski bukan itu alasan sebenarnya."Kalau begitu sudah tepat Papa membawa Darma padamu," ucap Andika tegas."Pa, please, aku ga mau kayak gini." Astri memandang papanya. Dia tidak akan mau jika pernikahannya karena sebuah perjodohan."Karena kamu tidak mampu mencari orang yang bisa menjadi pendampingmu, Papa punya tugas dan tanggung jawab itu buat kamu, Astri." Andika memandang Astri lekat-lekat."Nggak, Pa. Jangan seperti ini." Astri menegakkan punggungnya. Lalu dia menoleh ke arah mamanya. "Ma, Mama tahu rencana ini. Dan Mama setuju?"Titi tidak tega sebenarnya melihat Andika berlaku keras pada putri mereka. Tetapi Titi tidak bisa melarang Andika berbuat seperti itu. Astri sendiri yang memaksa Andika harus bertindak.Titi mengusap-usap punggung Astri seraya mengangguk."Aku ga mau! Yang mau nikah aku. Kenapa Papa dan Mama yang repot cari orang?" tukas Astri. Belum hilang rasa terkejut di dadanya."Itu tergantung padamu. Kalau kamu bisa menemukan calon suami, untuk apa harus aku yang turun tangan?!" sahut Andika."Pa, aku pasti ketemu jodohku. Belum waktunya saja," ujar Astri sambil cemberut."Waktumu paling lama enam bulan! Satu semester ini. Jadi setidaknya dua atau tiga bulan kamu harus bisa membawa pria itu berkenalan dengan papa dan mama kamu." Andika berkata tegas. Tidak sedikitpun mengendurkan sarafnya."Tapi, Pa ...""Sudah terlalu sering kamu beralasan. Darma sudah melihat dan bertemu kamu, dan dari perbincangan kita tadi, dia siap kapan saja untuk menikah denganmu," lanjut Andika."Papa ..." Astri makin cemberut. Degupan kencang melanda dada Astri. Tidak dia kira papa dan mamanya bisa punya pikiran mencarikan dia jodoh. Dan yang lebih mengesalkan, sekalipun bersikap dingin dan sok jaim, Darma memang tidak menolak Astri."Semua sudah jelas kurasa. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan." Andika menutup pembicaraan.Kalimat itu tanda semua selesai. Astri tidak bisa lagi melakukan negosiasi kepada ayahnya. Astri ingin segera pergi ke kamar dan menghempaskan tubuh di kasur, lalu tidur. Dengan begitu dia akan lupa apa yang papanya minta.“Ingat itu, tiga bulan lagi, bawa seorang pria kepadaku. Kalau tidak, Darma akan aku minta melamar kamu,” tukas Andika.Andika meninggalkan ruangan. Astri hanya bisa menggeleng kesal, lalu beranjak masuk ke kamarnya. Titi pun hanya bisa memandangi suami dan putrinya yang membiarkan dia sendirian di ruang makan."Papa ga jelas banget! Ngapain pakai ultimatum aku cari jodoh!?" Astri berteriak, tapi di bawah bantal. Astri kesal sekali dengan keputusan orang tuanya.Astri bangun melempar bantal sembarangan, lalu duduk bersila. Hatinya benar-benar galau."Di mana aku bisa menemukan pria yang baik, lembut, dan bertanggung jawab? Yang menghargai aku dan menerima aku apa adanya? Dan cuma dalam waktu tiga bulan?"Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira. Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma. "Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah. Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah. "Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!" "Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesen
Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu. "Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas. Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu. "Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis! "Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan. Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian. "Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny." "Oh, hai ..." Julian mengulurka
Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s
Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel
Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d