Beranda / Urban / Asmara Ibu Asrama / Bab 1. Ultimatum Sang Ayah

Share

Asmara Ibu Asrama
Asmara Ibu Asrama
Penulis: Ayunina Sharlyn

Bab 1. Ultimatum Sang Ayah

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu! Paling lambat besok kamu sudah harus tiba di rumah. Kamu dengar, Astri!?” Suara berat dan keras terdengar dari ponsel Astri. Sang ayah memberikan perintah yang tidak mungkin dia bantah.

“Papa, minggu ini jadwalku sangat padat, aku tidak mungkin pulang. Aku usahakan minggu depan lagi baru aku pulang,” bujuk Astri. Dia sangat berharap nada memelas drinya akan meluluhkan hati Tuan Andika.

“Kamu pikir ayahmu bisa kamu bodohi? Sesibuk apa kamu di sana? Kamu pasti bisa mengatur pulang barang satu hari, bahkan tidak perlu menginap kalau perlu. Tapi kamu harus pulang!” Suara lebih tegas terdengar dari pria berusia hampir enam puluh tahun itu.

“Please, Papa, minggu depan aku atur waktuku.” Astri masih berusaha mengelak. Dia sudah bisa membayangkan sebenarnya apa yang ayahnya mau.

“Anak itu wajib taat pada orang tuanya. Tidak peduli kamu sudah dewasa dan bisa menghidupi diri kamu sendiri, aku tetap ayah kamu. Atau kamu mau aku anggap anak yang tidak menghargai orang tua? Kamu merasa sudah mampu melakukan apapun dengan dua tanganmu jadi ayahmu tidak penting lagi?” Kalimat-kalimat tajam itu menusuk hingga ulu hati Astri rasanya.

“Atau kamu mau pulang kalau Mama atau Papa terkapar di atas ranjang karena sakit?" lanjut Andika yang terdengar mengancam.

"Pa, ngapain sih, bicara kayak gitu? Iya, aku atur waktu aku pulang!" Akhirnya Astri mengalah.

“Kamu dengar yang aku katakan, bukan? Paling lambat besok,” ujar Andika tidak mau mengendorkan ultimatumnya.

“Baiklah. Aku akan pulang besok.” Astri tidak mungkin mendebat Andika lagi. Dia tahu hanya akan menambah ketegangan dengan sang ayah.

“Oke, aku tunggu.” Datar Andika menyahut.

Klik. Sambungan telpon selesai.

Astri memandang lurus keluar jendela kamarnya. Taman sekolah tampak segar di pagi hari. Taman itu persis ada di seberang asrama putri sekolah tempat Astri bekerja. Astri senang memperhatikan bunga-bunga yang mulai bermekaran memberi keindahan, menghiasi hari.

"Iya, aku pulang, Bapak Andika Kamajaya. Ada yang penting apa coba, maksa-maksa aku pulang?" gerutu Astri.

Sepanjang hari itu Astri tidak benar-benar menikmati semua aktivitasnya. Ultimatum sang ayah cukup mengganggunya. Astri terpaksa mengatur jadwal ulang agar dia bisa pulang tanpa meninggalkan beban pekerjaan yang akan menumpuk. Hingga esok harinya, dengan bus kota Astri menuju kota kelahirannya. Hatinya makin tidak tenang mengingat percakapan dengan ayahnya cukup tegang.

Astri tiba saat sudah menjelang sore. Astri sengaja tidak akan datang pagi-pagi karena tidak mau terlalu lama di rumah. Datang sore, segera malam, lalu hari berganti, dia segera balik ke Surabaya, itu rencananya.

Di depan rumah, Andika menunggu. Wajahnya yang lumayan tampan tampak tegas, penuh wibawa, dan terkesan sedikit galak menyambut Astri begitu wanita muda itu tiba di rumah. Astri menghampiri sang ayah, menjabat tangan ayahnya, dan mencium punggung tangan pria itu dengan rasa hormat.

“Akhirnya kamu sampai juga. Aku pikir kamu akan menunda pulang dengan alasan lain lagi,” kata Andika dengan wajah masih tegang.

“Papa kenapa berpakaian serapi ini?” Astri memperhatikan ayahnya. Tidak biasanya ayahnya berkostum formal jika di rumah.

Andika mengenakan batik berwarna biru, putih, dan hitam seperti hendak menghadiri suatu undangan saja.

“Masuklah, nanti kamu akan tahu,” jawab Andika sambil berjalan ke dalam rumah.

Astri bingung dengan kata-kata ayahnya. Dia mengikuti sang ayah masuk dan terkejut melihat ruang tamu ditata sangat bagus. Ada bunga-bunga hidup ditata cantik di vas dan diletakkan di pojok ruangan kiri dan kanan.

“Ada acara apa, Pa?” tanya Astri penasaran.

“Bersiaplah, kita akan kedatangan tamu kira-kira satu jam lagi. Jadi kamu cepatlah, jangan sampai tamu datang kamu belum siap,” kata Andika dengan suara lebih tenang.

“Oh? Baiklah,” ujar Astri masih bingung.

Astri menuju ke kamarnya melewati ruang makan. Makin terkejut Astri melihat di sana disiapkan berbagai hidangan seperti akan ada jamuan istimewa. Ibunya tengah sibuk dengan pembantu rumah menyiapkan meja.

“Mama! Ini ada acara apa? Kenapa rumah heboh sekali?” Dengan kepala penuh tanda tanya Astri menghampiri sang ibu, Titi, dan memeluknya dengan rasa rindu.

“Aih, anak gadisku yang seperti lenyap ditelan bumi, akhirnya muncul juga ke permukaan,” jawab Titi dengan senyum lebar serta membalas pelukan Astri.

“Mama ga jawab pertanyaanku,” ujar Astri tidak lega.

“Ah, ya … ini … papa kamu …”

“Astri! Kenapa masih di sini? Cepat bersiaplah!” Suara berat Andika terdengar beberapa meter di belakang Astri.

Astri memandang ibunya yang batal menjawab pertanyaannya, lalu berbalik melihat pada Andika.

“Mama kamu harus menyiapkan meja di sini. Kamu jangan berlambat-lambat. Setidaknya dua puluh menit lagi semua di rumah harus sudah siap,” tandas Andika tegas.

“Oke, Pa. Tapi sepenting apa tamunya sampai harus Bersiap seperti ada pesta saja,” ujar Astri yang merasa rasa penasarannya diabaikan.

“Nanti kamu akan tahu. Setelah kamu siap, aku jelaskan.” Andika berkata cepat, tidak mau dibantah.

Masih dengan rasa heran, Astri masuk ke kamarnya. Dia membuka tas yang dia bawa. Tidak ada pakaian yang sesuai. Karena memang Astri tidak tahu akan ada acara khusus di rumah. Astri membuka lemari pakaiannya dan mulai melihat-lihat outfit mana yang sesuai.

Papa dan mamanya memakai setelan couple motif batik, paduan putih, biru, dan hitam. Manis dan sepadan dengan juga interior dan hiasan yang dipajang. Astri tersenyum. Dia punya gaun yang senada, di ujung bawah dan lengan ada juga motif batik meskipun warnanya lebih gelap.

Setelah siap, Astri kembali keluar kamar dan menemui orang tuanya. Mereka duduk di ruang depan siap menyambut tamu yang akan segera datang. Astri ikut duduk, memilih tempat di sebelah sang ibu.

“Jadi?” Astri memandang mama dan papanya. Astri meminta penjelasan siapa tamu istimewa yang akan datang ke rumah mereka.

“Tuan Tirtaraka Biswara bersama anaknya, Darma, akan datang berkunjung. Mereka ingin berkenalan dengan putri cantik keluarga ini.” Jawaban ringan terdengar dari Andika.

“Apa? Maksud Papa?” Astri mengerutkan keningnya.

Andika hampir membuka suaranya menjawab Astri, tetapi dia urungkan. Di halaman depan, tampak sebuah mobil hitam mewah muncul. Andika seketika berdiri, diikuti oleh Titi. Astri hanya bisa bengong dengan perasaan campur aduk.

Di teras rumah, terdengar suara ramah orang berbicara saling menyapa. Lalu masuklah Andika bersama Titi, diikuti dua pria gagah. Seorang hampir seumuran Andika dan yang satu, Astri yakin baru masuk tiga puluhan tahun.

“Jadi ini Astrina Talia?” Pria yang lebih tua memandang Astri dengan wajah berbinar dan senyum lebar.

“Benar, Pak, saya Astri,” kata Astri dengan dada berdebar tidak nyaman. Dia mulai paham apa yang sedang dilakukan sang ayah hari itu.

“Ini putraku, Darma Danuarta Biswara. Wah, senang bisa berjumpa dengan putri cantik Tuan Andika Kamajaya. Darma?” Pria itu menoleh pada putranya yang tampak dingin dan hanya mengurai senyum tipis di bibirnya.

Darma maju dan menyalami Astri. Astri pun enggan menguntai senyumnya. Dia merasa masuk ke dunia lain yang selama ini tidak pernah dia mau ada di sana.

“Mari silakan. Saya kira langsung kita ke ruang makan. Hidangan sudah menunggu. Perbincangan akan lebh santai sambil mengisi kampung tengah.” Andika mengajak tamunya masuk ke ruang dalam.

Mereka beranjak ke ruang makan. Astri tetap di tempatnya. Hatinya terasa berat dan ada yang menekan kuat di sana. Kalau boleh, Astri ingin kabur saja. Inilah alasannya mengapa dia malas pulang. Ayahnya selalu sibuk soal siapa pria yang akan menjadi suami Astri. Tetapi dia dikenalkan pada pria tanpa diberitahu lebih dulu, ini sama sekali tidak masuk akal!

Bab terkait

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 2. Kesepakatan Tiga Bulan

    Deg! Detak jantung Astri seketika bergemuruh. Dia harus kembali berhadapan dengan papanya. Senyum dan wajah ceria Astri hari itu benar-benar redup. Titi yang ada di sebelah Astri, memandang putrinya, menatap dengan wajah serius. "Darma pria yang baik dan punya masa depan bagus. Dia pantas dipertimbangkan menjadi suami kamu.” Kalimat itu dengan lancar dan jelas meluncur dari bibir Andika. Darma dan ayahnya sudah pulang. Acara makan bersama berjalan lancar. Tirtaraka salah satu relasi Andika dalam bisnis. Dia pria berkarisma yang terbuka dan bersikap cukup menyenangkan. Darma, seorang pengacara muda yang sedang giat menaikkan karirnya. Dia bukan tidak memikirkan soal percintaan, tetapi dia butuh didesak sedikit saja, menurut ayahnya. Itulah kenapa Tirtaraka tidak keberatan mengajak Darma datang ke rumah Andika. “Pa, aku bisa mencari sendiri pendamping hidup buat diriku. Papa tidak perlu lakukan ini. Darma bukan tipeku,” kata Astri tegas menolak Darma yang seolah akan dijodohkan dengan

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 3. Keributan

    Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira. Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma. "Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah. Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah. "Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!" "Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesen

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 4. Julian Scott Dawson

    Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu. "Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas. Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu. "Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis! "Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan. Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian. "Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny." "Oh, hai ..." Julian mengulurka

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 5. Luapan Kemarahan

    Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 6. Lebih Baik Aku Mati

    Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 7. Dua Kasus dalam Satu Hari

    Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 8. Kamu Janji?

    Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 9. I Beg You

    "Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya

Bab terbaru

  • Asmara Ibu Asrama   An Extra Moment - Drown in Your Love

    "Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 115. Finally, I and You

    Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 114. Izinkan Aku

    Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 113. Pengakuan

    Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 112. Tidak Mungkin Mengelak Lagi

    Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 111. What A Surprise!

    Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 110. Don't Touch Me

    "Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 109. Just You And Me

    "Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai

  • Asmara Ibu Asrama   Bab 108. Aku ... Menerima Engkau ...

    Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d

DMCA.com Protection Status