Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu
Senyum manis di bibir Julian terurai. Cepat-cepat Julian berdiri, melangkah mendekat dan menyalami Astri. "Ibu Astri, apa kabar?" Senyum Julian semakin lebar. Wajah tampan pria bule itu, ya, membuat Astri kembali merasakan sesuatu dengan menatap wajah tampan kakak Wenny. "Saya baik, Tuan. Silakan duduk. Terima kasih Tuan memberi saya waktu untuk bicara. Saya harap ini waktu yang tepat," kata Astri masih dengan senyuman di bibir, tetapi senyum kecil saja. "Apakah Wenny melakukan kesalahan lagi? Bukan masalah yang serius, kan? Sebab, jika memang masalah besar, aku pasti sudah dihubungi," ujar Julian dengan pandangan berubah sedikit tegang. Sudah muncul rasa kuatir di hatinya kalau adiknya berulah lagi. "Ah, Tuan, tidak, tidak sama sekali," sahut Astri dengan senyum lebar sampai menunjukkan giginya yang berderet rapi, sedangkan kepalanya menggeleng keras. "Oh, thank God. So?" Julian menaikkan kedua alisnya, menatap lebih lekat pada Astri. "Wenny makin semangat belajar. Dia lebih t
Dari kalimat yang Julian ucapkan, seolah-olah dia ingin mengatakan tidak nyaman dengan pernyataan Astri. Seketika Astri merasa dia telah salah bicara. Baru saja dia bisa mendapat angin segar mendekat pada Julian, jangan sampai situasi berbalik memaksa Astri menjauh lagi. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..." "No. Don't worry." Julian menyahut cepat. "Jangan dipikirkan. Aku tidak terlalu senang membicarakan soal rumah dengan orang ..." "Orang lain. Aku paham. Maafkan aku, Juan. Aku tidak akan bertanya apapun jika kamu merasa tidak nyaman. Sekali lagi maaf," ucap Astri. Dia harus meluruskan situasi. "Sorry banget! Errin beneran rempong, deh." Wenny muncul dan kembali duduk di kursinya. Tangannya meletakkan ponsel lalu sibuk lagi dengan makanannya yang masih tersisa setengah. "Kenapa dengan Errin?" tanya Julian. "Dia nitip dibelikan sesuatu. Wali kelas kami mau ulang tahun. Kelas emang mau kasih surprise. Mumpung aku keluar, dia minta aku yang belikan. Ga apa-apa setelah ini kita j
"Besok?" Astri kaget dengan permintaan Darma. Pria itu ternyata mulai beraksi juga mengejar Astri."Ya, kebetulan urusanku akan selesai sebelum makan siang. Kita bisa bertemu sebelum aku pulang." Darma menegaskan.Astri harus mencari cara agar tidak ada kemungkinan Darma dengan dirinya bisa bertemu. "Besok, aku sudah ada jadwal. Lebih padat dari hari ini. Aku tidak bisa," elak Astri.Darma memandang Astri tajam. Wanita di depannya ini ternyata cukup keras. Aneh, ketika di rumah pada pertemuan di rumah keluarga Kamajaya, sikap Astri cukup manis. Tetapi selepas itu, sama sekali belum ada kesempatan Darma dan Astri bertemu lagi."Astri, aku temani Wenny. Kalian bicara saja." Julian menyela pembicaraan Astri dan Darma.Julian merasa dia tidak perlu tahu urusan Darma dan Astri. Tangan Julian menggandeng Wenny dan mengajak adiknya menjauh. Astri tidak mungkin meninggalkan Darma begitu saja. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Seharusnya hari itu makin manis kebersamaan Astri dan J
Hari berganti. Astri tidak mungkin lupa, Darma mengatakan akan datang menemui Astri di sekolah. Sejak bangun pagi, Astri sudah merasa tidak tenang. Dia harap-harap cemas kalau tiba-tiba benar pria itu datang dan mencari dia di sekolah. Sampai Astri kurang bisa fokus dengan apa yang dia kerjakan di kantor. Teettt!!! Keras dan nyaring bel tanda istirahat siang berdering. Astri sampai sedikit melompat karena terkejut. Ini waktunya. Apa benar Darma datang menemui Astri? Astri melihat ke ponselnya, tidak ada pesan masuk dari pria itu. Ah, anggaplah urusannya belum selesai, jadi tidak mungkin Darma datang. "Baiklah, kurasa aman. Pak pengacara ga mungkin ke sini. Dia kan super sibuk," ujar Astri lirih, meyakinkan dirinya. Astri meninggalkan tasnya di kantor bersiap menuju ruang makan untuk makan bersama dengan para guru dan murid. Paling seru saat makan siang. Apalagi biasanya menu sedikit istimewa dibanding saat sarapan atau makan malam. Masuk ruang makan, seperti biasa riuh suara murid
Darma menggeleng-geleng. Lalu dia meraih lagi tab di tangannya. Astri heran, bukan menjawab pertanyaan, pria itu malah kembali sibuk dengan benda pipih yang dia pegang. Hampir Astri mengucapkan sesuatu, Darma mengangkat mukanya dan memperlihatkan layar tab pada Astri. "Kamu lihat foto ini, Astrina?" Darma mendekatkan tab ke arah Astri. Astri mau tidak mau melihat juga pada layar. "Pasangan yang serasi, bukan? Hampir tiga belas tahun menikah, mereka sedang mengurus perceraian. Lalu ini ..." Telunjuk Darma menggeser gambar. "... setelah ulang tahun pernikahan yang kesembilan, ketahuan si pria berselingkuh, dan istrinya menggugat cerai." Astri menelan ludah. Apa maksud Darma menunjukkan semua itu? "Mereka pacaran bertahun-tahun, beralasan cinta, lalu menikah, lemudian selesai. Tapi ini ..." Darma kembali menggeser gambar di layar. Muncul foto pasangan yang sudah usia, mereka berambut putih meskipun belum semua. Astri kenal siapa pria di foto itu. "Ayahku. Dia menikah karena dijodohk
"Gimana menurut Ibu? Oke ga ideku?" Errin memandang Astri dengan mata berbinar. Wajah lelah gadis itu seperti hilang saat mengatakan semua rencananya untuk acara ulang tahun sahabatnya, Wenny. "Menarik. Jadi kita lakukan di taman samping asrama, selesai kelas?" Astri memastikan waktunya. "Iya. Kami kelas selesai jam setengah dua belas. Jam makan dua belas tiga puluh. Lumayan, Bu, satu jam. Lalu lanjut makan siang sama-sama." Errin menegaskan lagi. "Baiklah. Atur saja. Siapa-siapa yang akan kamu ajak?" Astri memastikan lagi personil yang terlibat. "Orang kamar sama teman dekat aja, Bu. Kami semua berenam. Sama Ibu tujuh jadinya." Errin menjawab tegas. "Nice." Astri tersenyum. "Aku sengaja ajak Ibu, soalnya Wenny beneran sayang Ibu. Katanya andai dia ada mama, mau mamanya kayak Bu Astri," kata Errin. Kalimat itu membuat dada Astri kembali meletup. Menyenangkan sekali mendengarnya. Ini kesempatan Astri akan merengkuh hati Wenny. Lalu kalau Astri makin dekat Julian, Wenny tidak aka
Teetttt!! Bel pagi di asrama berbunyi nyaring sekali. Astri tersentak dan segera bangun. "Jam lima pagi? Astaga!" Astri sedikit panik. Dia belum menyiapkan untuk kegiatan hari itu. Semalam setelah menelpon Julian, Astri dapat ide membuat sketsa gambar untuk Wenny sebagai hadiah ultah. Gambarnya memang selesai, tapi urusan kerjaan yang tertunda. "Aduh, kesiangan. Cilaka," ujar Astri. Dia menarik napas dalam beberapa kali. Harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Mau apa dulu yang dia kerjakan? Astri memejamkan mata. Lebih baik dia serahkan hari itu pada Sang Pemilik hidupnya. Semua yang akan Astri lalui, Dia sudah tahu. Astri minta tuntunan agar hari itu semua berjalan manis. "Tuhan, tolong agar hari ini aku mendapatkan satu keyakinan jika aku mengejar Julian, Kau merestui langkahku," ucap Astri. Ada perasaan campur aduk saat dia mengucapkan itu. Tiba-tiba seperti Astri tersadar, dia mengejar pria. Ya, dia berniat mengejar Julian Scott Dawson. Padahal seumur hidup Astri bel
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d