"Gimana menurut Ibu? Oke ga ideku?" Errin memandang Astri dengan mata berbinar. Wajah lelah gadis itu seperti hilang saat mengatakan semua rencananya untuk acara ulang tahun sahabatnya, Wenny. "Menarik. Jadi kita lakukan di taman samping asrama, selesai kelas?" Astri memastikan waktunya. "Iya. Kami kelas selesai jam setengah dua belas. Jam makan dua belas tiga puluh. Lumayan, Bu, satu jam. Lalu lanjut makan siang sama-sama." Errin menegaskan lagi. "Baiklah. Atur saja. Siapa-siapa yang akan kamu ajak?" Astri memastikan lagi personil yang terlibat. "Orang kamar sama teman dekat aja, Bu. Kami semua berenam. Sama Ibu tujuh jadinya." Errin menjawab tegas. "Nice." Astri tersenyum. "Aku sengaja ajak Ibu, soalnya Wenny beneran sayang Ibu. Katanya andai dia ada mama, mau mamanya kayak Bu Astri," kata Errin. Kalimat itu membuat dada Astri kembali meletup. Menyenangkan sekali mendengarnya. Ini kesempatan Astri akan merengkuh hati Wenny. Lalu kalau Astri makin dekat Julian, Wenny tidak aka
Teetttt!! Bel pagi di asrama berbunyi nyaring sekali. Astri tersentak dan segera bangun. "Jam lima pagi? Astaga!" Astri sedikit panik. Dia belum menyiapkan untuk kegiatan hari itu. Semalam setelah menelpon Julian, Astri dapat ide membuat sketsa gambar untuk Wenny sebagai hadiah ultah. Gambarnya memang selesai, tapi urusan kerjaan yang tertunda. "Aduh, kesiangan. Cilaka," ujar Astri. Dia menarik napas dalam beberapa kali. Harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Mau apa dulu yang dia kerjakan? Astri memejamkan mata. Lebih baik dia serahkan hari itu pada Sang Pemilik hidupnya. Semua yang akan Astri lalui, Dia sudah tahu. Astri minta tuntunan agar hari itu semua berjalan manis. "Tuhan, tolong agar hari ini aku mendapatkan satu keyakinan jika aku mengejar Julian, Kau merestui langkahku," ucap Astri. Ada perasaan campur aduk saat dia mengucapkan itu. Tiba-tiba seperti Astri tersadar, dia mengejar pria. Ya, dia berniat mengejar Julian Scott Dawson. Padahal seumur hidup Astri bel
"Ajak Wenny ke sini. Please, pakai alasan apapun tapi jangan beritahu aku datang. Sebab, aku janji weekend akan menjemput dia pulang, baru kami akan jalan-jalan." Julian menjelaskan. "Oke. Siap. Segera aku bawa Wenny bertemu denganmu," jawab Astri dengan hati berbunga. Manis sekali. Ini sesuatu yang baik yang akan terjadi padanya dan Julian. Panggilan Juan selesai. Astri segera mencari Wenny di kamarnya. Gadis itu sedang asyik tengkurap di kasur sambil membalas banyak pesan ucapan ultah. Di sekitarnya kado-kado dari teman-teman bertebaran. Wenny terlihat sangat senang. Bagusnya, Wenny sedang sendirian. Entah teman kamarnya ada di mana. "Wenny, bisa bantu Ibu?" Astri duduk di tepi ranjang, memperhatikan Wenny. Astri sengaja memasang wajah serius. "Aku? Ada apa, Bu?" Wenny meninggalkan ponsel di kasur, duduk, dan melihat pada Astri. "Ibu perlu memindahkan beberapa barang dari kantor depan. Ga bisa ditunda, soalnya besok harus dipakai," jawab Astri. "Oke. Sekarang?" Wenny bertanya l
Julian menatap adiknya yang pandangan tajam. Wenny kadang-kadang kalau bicara memang tidak pakai dipikir. "Kenapa? Kakak lebih senang kalau cewek pelanggan Kakak yang datang? Yang rada tomboy itu?" Wenny melirik kakaknya dengan tatapan jutek. "Kamu kalau bicara jangan asal." Julian mengusuk kepala Wenny. "I Just think about you." Mendengar pembicaraan itu Astri merasa tidak nyaman. Julian pria sukses, tampan, dan baik hati. Dia punya relasi yang luas. Pasti juga banyak wanita yang ada di sekitarnya. Bisa jadi beberapa dari mereka menyukai kakak Wenny itu. "Sudah, tidak usah bicara soal itu. Hampir habis waktu kamu dan harus balik asrama." Julian mengingatkan. "Kalau sama Ibu Astri, mau sampai jam sepuluh malam di luar, aman. Ya kan, Bu?" Wenny menoleh pada Astri. "Nggak. Besok kamu ada kelas, ada ujian. Ga boleh kurang istirahat. Sekarang saja jam belajar kamu berkurang," jawab Astri."Aissshhh, kenapa lagi-lagi kakakku dan Bu Astriku kompak, ya? Makin akur aja, nih, berdua," uca
Ultimatum lagi yang Astri dengar dari sang ayah. Sungguh tidak menyenangkan mendengar desakan lagi dan lagi. Astri belum siap. Dia bukan kekasih Julian! Apa yang harus Astri lakukan? Dan sayangnya, situasi memaksa dirinya mengaku sebagai kekasih Julian, hanya demi mengamankan dirinya di depan adik dan sang ayah. "Kamu dengar aku, Astri?" Kalimat itu membuat Astri tersentak. "Ya, aku dengar, Pa." Buru-buru Astri menjawab. Astri harus bisa tetap tenang. Jangan sampai salah menjawab menimbulkan pertanyaan lain yang akan menjebak dirinya sendiri di depan Andika. "Kapan kamu akan ajak pria itu bertemu denganku? Dia pria asing. Apa mungkin dia akan bersungguh-sungguh denganmu?" tanya Andika dengan nada dingin. Oh, tidak. Ini masalah baru. Andika tidak gembira mendapat kabar Astri punya kekasih! Dia yang mendesak Astri untuk segera mendapatkan calon suami, tetapi kenyataannya, Andika tidak suka? "Aku harus atur waktu, Pa. Aku sibuk, Juan pun sibuk." Jawaban yang selalu sama yang Astri be
Masih tidak ada jawaban dari Julian. Hati Astri benar-benar merasa tidak nyaman. Apa yang bisa dia katakan untuk mengurai situasi itu?"Juan, aku ...""Astri, sebenarnya ..." Hampir bersamaan Astri dan Julian membuka suara."Silakan, kamu duluan," kata Astri."Well, aku ... lagi, ini soal Wenny. Dia pernah mengatakan, aku terlalu keras dengan diriku dan hidupku. Dia bilang aku harus mendapat impianku dan bahagia, bukan hanya memikirkan Wenny." Kalimat itu tak Astri sangka keluar dari bibir Julian.Astri tidak menimpali apapun. Dia biarkan Julian akan melanjutkan ucapannya."Dan yang aku bayangkan untuk diriku, aku punya keluarga lengkap dan utuh, bersama Wenny. Seseorang yang akan ada di sisiku yang juga sayang Wenny seperti aku sayang dia. Yaah ... well ..." Julian tidak meneruskan kalimatnya."Kenapa kamu tidak selesaikan?" tanya Astri. Sementara hati Astri berdenyut demi mendengar yang Julian katakan. "Sorry, I am really sorry, ada telpon penting masuk, Astri. Nanti aku kontak kam
Titi mengusap pundak Astri. Dengan gerakan itu Titi mau Astri tahu, Titi serius akan ada di sisi Astri dan mendukungnya. "Jadi, sudah sejauh apa hubungan kamu dengan bule itu? Siapa namanya?" Titi memandang Astri. "Julian. Biasanya dia dipanggil Juan," jawab Astri. "Masih di awal, Ma. Masih ..." "Di awal? Artinya kalian belum bicara soal pernikahan?" Titi menegaskan, langsung ke tujuan sebuah hubungan pria dan wanita seharusnya bermuara. "Belum, Ma. Perlu waktu buat kami," jawab Astri. "Kamu tahu yang papa kamu akan katakan jika tahu ini?" Lebih tajam Titi memandang putrinya. Astri mengangguk. Pasti dia akan mendesak Astri. Dan, jika Julian datang ke rumah ... Tiba-tiba hati Astri berdenyut tidak nyaman. Jika benar Julian bertemu dengan Andika, jangan sampai dia diinterogasi dan diminta membuat tanggal kapan akan melamar lalu menikahi Astri. Astaga!Kembali carut marut hati Astri. Dia masih berharap ada keajaiban yang membawa Julian datang ke rumah. Sebelum itu setidaknya Julian
"Kakak! Makin gelap! Dingin!!" Suara Wenny cukup keras terdengar dari belakang Julian. "Oke, Wen. Kita balik ke tenda, come on!" Julian menjawab adiknya. Lalu dia kembali melihat pada Astri. "I gotta go. Nanti aku kabari lagi." "Yeah, okay." Astri mengangguk seraya melepas senyum tipis. Astri belum mau selesai. Julian belum memastikan akan datang atau tidak ke rumahnya. Tapi telepon sudah terputus. Layar ponsel sudah kembali memunculkan gambar taman sekolah, taman yang ada di sebelah asrama putri. Astri tidak lega. Karena yang dia tunggu belum juga ada kejelasan. Sebentar lagi dia harus berhadapan dengan Andika. Papanya pasti akan bertanya lagi. Astri harus menyiapkan jawaban yang melegakan. Sayangnya, yang Astri tidak suka sangat mungkin dia akan lakukan. Berdusta, demi mengamankan dirinya. "Tuhan, bagaimana ini?" ujar Astri lirih. Ada pilu di dadanya. "Aku sudah melangkah terlalu jauh. Kalau sampai Julian ternyata tidak ada hati buatku? Ah, tidak. Darma. Pria itu pasti akan seger
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d