"Ini bau wanita itu." celetuk Nathan dalam hati,
Membuka mata,sontak meraih pergelangan tangan Thea dengan paksa. Sebelum mengucapkan sesuatu,gadis itu terlebih dulu mendongak. Menatap Nathan dengan sinis,
"Lepaskan!" tegas Thea,dengan amarah yang memenuhi sorot matanya.
"....." Laki laki itu tertegun,masih enggan membuka cengkraman.
"Saya bilang lepaskan." timpal Thea menarik paksa,berhasil melepaskan diri.
"Romi," panggil Thea,tanpa menoleh. Masih menghujani Nathan dengan tatapan tajam,
"Iya?"
"Bebaskan mereka. Lakukan sesuai perintah Tuan!" seru Thea menggertakkan gigi.
"Tapi.."
"Lakukan saja. Jangan biarkan bawahan sepertiku bertindak semena mena," timpal Thea,segera membuang muka dan berbalik.
Rautnya berubah,kesedihan yang tertanam jelas. Dia melangkah mendekat ke arah Manda,
"Thea.." panggil Manda,dengan sigap menopang tubuh temannya.
"Bisa kita pulang sekarang?" tanya Thea lirih,<
Meski hanya menghabiskan waktu setengah jam untuk berbelanja,mereka berdua telah berhasil memenuhi kursi bagian belakang dengan belasan tote bag berukuran besar. Sekarang kedua gadis itu,baru saja keluar dari toko gadget. Dan bersiap untuk kembali,tak lupa memakai seat belt,lalu mobil melaju pergi ke arah lain. Terlihat Thea tengah membuka kotak berbentuk balok yang tadi ia dapat,mendapati sebuah ponsel dengan logo apple. Tak segan jari jemarinya mengotak atik layar. "Kamu butuh nomor ponselku yang baru ga?" celetuk Thea,tengah memasang simcard baru. "Engga.." "Kenapa?" tanya Thea sekali lagi,penasaran. "Kan udah ada nomor yang satunya," "Oh, ya udah! Kirain biar sekalian bisa nelpon aku ke hp ini." gumam Thea,menarik ujung bibir ke belakang. "......." "Btw. Kamu belum cerita, kok bisa ke rumah paman?" sontak Manda,menoleh sekilas. "Ya kan, aku ke kantor catatan sipil bareng sama dia."
"Hacim!" "Hhh, kenapa hawanya tiba tiba dingin banget? Perasaan masih siang." gerutu Thea segera masuk ke dalam rumah. Berjalan melewati ruang tengah,dan disana sudah ada wanita tua tengah duduk bersantai menikmati segelas jus serta salad buah,ditemani tontonan dari layar televisi. Pandangan Barsha beralih menatap cucunya yang baru saja datang,berbekal tumpukan tote bag yang memenuhi jari dan kedua lengannya. Sedikit aneh,dengan tingkah Thea. Sepertinya beberapa hari ini,gadis itu selalu pergi memakai setelan tertutup dan kembali dengan pakaian lain. "Kamu habis ketemu sama Nathan kan?" sontak Barsha mengangkat alis, Thea yang berusaha berjalan dengan cepat agar segera sampai ke kamar tanpa pertanyaan. Seketika tersentak kaget,mendengar ucapan wanita tadi. Dia menoleh dengan raut sedikit panik, "I-iya." sahutnya terbata bata, "Ng, Thea mau ke atas dulu!" tambahnya segera berlari menaiki tangga. Log
Seluruh anggota keluarga mulai meninggalkan tempat duduk masing masing,setelah menyelesaikan makan malam. Begitu pula dengan Nathan,dia berjalan masuk ke dalam ruang kerja milik ayahnya. Tatanan yang tidak asing lagi untuk laki laki itu. Rak yang berada di sisi kanan,deretan buku sesuai isinya. Letak vas bunga,meja serta sofa,semuanya tidak berubah. Tentu saja,karena Zen tidak terlalu suka mengganti interior atau semacamnya. Dia membiarkan semua barang tetap berada di tempat yang sama selama puluhan tahun, Mereka berdua duduk berhadapan di sofa empuk di tengah ruangan. "Mau kopi? atau minuman lain?" tawar Zen,mengangkat alis. "Tidak. Ayah katakan saja, apa yang Ayah mau?" sahut Nathan,datar. "Kita hanya berdua! tidak ada orang lain." "Setidaknya jangan tunjukkan wajah patungmu. Tersenyumlah sedikit!" pinta Zen,sedikit memaksa. Laki laki itu menghela nafas,mendengar ucapan ayahnya. "Apa ayah memangg
Tentu saja permintaan yang gadis itu ucapkan,bagai anugerah untuk karyawan wanita manapun. Tanpa pikir lama,Lisa mengangguk setuju Dia bergegas melangkah pergi,membuatkan secangkir kopi dan mengambil kudapan ringan sesuai perintah Thea. Gadis itu tersenyum ceria karena usahanya berhasil,dia tau kalau tidak ada yang bisa menolak jika menyangkut pautkan Nathan. Tujuan Thea memberi kudapan,agar tidak ada lagi panggilan telpon dari laki laki itu. Dan dia kembali fokus pada pekerjaannya. Di sisi lain,Lisa sudah selesai mengerjakan tugas. Dia berjalan melewati lorong sambil tersenyum lebar,dengan nampan berisi secangkir kopi dan semangkuk penuh makanan ringan. "Kenapa dia yang datang?" benak Nathan mengerutkan alis. Sosok wanita lain yang tengah berjalan ke hadapannya. Membuat laki laki itu geram,secangkir kopi hanyalah alasan agar Thea masuk ke dalam r
Tempat ini semakin membuat Thea merasa tertekan. Mereka berdua saling duduk berhadapan,gadis itu hanya bisa terdiam menggigit bibir bagian dalam. Sorot matanya berusaha beralih,tidak berani menatap wajah datar Nathan. "Jadi, apa pembelaan yang kau berikan?" lugas Nathan, "Ng, s-saya akan cerita semuanya!" sontak Thea,mulai membuka mulut. Tanpa buang waktu,dia menceritakan kesan pertama saat bertemu Zen Adelard serta bercerita tentang caranya kabur dari rumah dan tinggal bersama Manda. Sampai akhirnya dia menjadi asisten pribadi Nathan. Namun gadis itu mengarang tanpa rasa bersalah,kalau dia adalah korban. Melebih lebihkan cerita,bahwa neneknya tidak akan memberi sepeser uang dan mengusir Thea dari rumah,jika dia menolak perjodohan ini. "Terserah Bapak, mau percaya atau tidak. Tapi kali ini, saya benar benar jujur!"
"Nenek, Thea pulang!"sontak Thea,berjalan gontai ke arah sofa ruang tengah. Melempar diri,dan terkapar lemas. Seharian di kantor membuat gadis itu tertekan karena semua tugas dan juga masalah tadi. Entah apa yang terjadi,sebelum makan siang. Banyak sekali email yang masuk,membuat kerjaan Thea menggunung. Lalu dengan segenap hati,jiwa dan raga. Gadis itu memutuskan untuk mengorbankan waktu makan siangnya hanya untuk menyelesaikan tugas. Lebih baik telat makan,dari pada telat pulang. Itulah slogan yang ada di benak Thea,namun tetap saja ada sisa berkas dan tugas lain yang belum selesai. "Mei!!" pekik Thea,masih menyandarkan kepala ke atas sofa. Selang beberapa detik,terdengar suara hentakan kaki. Seorang perempuan tengah berlari ke arahnya, "Iya Non? ada yang bisa Mei bantu?" tanya Mei,dengan raut antusias. Dia adalah pelayan termuda di rumah ini. Mungkin lebih muda dari Th
Wanita itu berdehem dan mencairkan suasana yang terjadi. Segera Thea berdiri dan lepas dari dekapan laki laki tadi,mengalihkan pandangan berusaha menahan rasa malu. Berjalan maju ke hadapan Barsha, mendapat lontaran senyum puas yang terpampang nyata di raut neneknya. "Apa? ga usah senyum senyum!" "Bikin kesel aja." gerutu Thea,dengan raut sinis. Wanita tua itu menatap Nathan,dan berisyarat untuk segera menempati sofa disana. Mereka bertiga duduk berhadapan,namun gadis itu duduk di samping Barsha. "Ayo. Kita lanjutkan pembicaraan tadi," ujar Barsha tersenyum cerah. "Kedatangan saya kesini. Ingin melamar putri keluarga Briella," tegas Nathan,datar. Gadis itu terdiam mendengar ucapan Nathan,kedua matanya membulat karena terkejut. Setelah itu,tak segan Thea melontarkan tatapan menusuk ke arah laki laki tadi. "Tu mulut ga salah ngomong?" ketus Thea,dalam hati.
Tap..Tap..Tap.. Langkah kaki yang bisa terdengar oleh dirinya sendiri,wanita tua itu berjalan dengan raut sedikit cemas. Menyusuri lorong rumah sakit dan menuju ke salah satu kamar pasien, Berpapasan dengan beberapa orang dan juga perawat,sorot matanya beralih mengarah ke seorang gadis yang baru saja keluar dari salah satu ruangan. Mata mereka saling bertemu,gadis tadi berjalan mendekat. "Nenek. Kok dateng sendiri, Thea nya mana?" ucap Sera beralih menatap ke arah lain,mencari seseorang. Dia adalah putri bungsu Yoshep Briella,sekaligus sepupu Thea. Yoshep Briella adalah anak kedua yang menjadi penerus perusahaan keluarga, "Thea ada di rumah," "Loh. Berarti Nenek sendirian?" sontak Sera mengangkat alis. "Enggak kok. Ada supir di luar," "Thea maksa ikut, tapi ga nenek bolehin." "Ayahmu ada di dalam?" "Hm. Nenek masuk aja, di dalam ada mama." sahut Sera mengangguk. "Terus kamu
"Srup---ah!" celetuk suara puas dari bibir ranum yang baru saja menikmati beberapa teguk minuman.Cap..Cap..Cap..Berulang kali mengecap demi mengingat rasa manis yang tersisa di langit-langit mulut, lengkung sempurna perlahan muncul saat melihat sosok dengan setelan hitam putih tengah berjalan menghampiri.Sepoi angin siap menerpa rambut legam terkuncir tinggi bak ekor kuda, terasa begitu sejuk saat kutikula tubuh serta leher jenjangnya tertiup udara."Kenapa kau berikan padaku?" ucap Thea menegur wanita yang sedang berdiri sambil menyodorkan sebuah kelapa. Begitu bingung padahal dirinya sendiri juga telah memangku s
Mendengar logat halus yang begitu menyejukkan telinga juga sentuhan intim yang terasa nyata, padahal kedua hal itu adalah impian yang tak mungkin didapat.Tapi siapa sangka setelah menjadi kenyataan semua ini justru menyakitkan hati Thea, kata bak pinangan tadi berubah setajam pedang yang menoreh luka.Sakit yang menggores batin mengundang linang air di pelupuk mata, "Apa, Bapak bilang--layani?""Iya, tapi kenapa kau menangis? Ini bukan waktunya bersedih," tanya Nathan penuh kelembutan, sedikit merasa cemas melihat satu bulir bening menetes menyusuri pelipis."Apa Bapak pikir saya hanyalah wanita penghibur! Apa Bapak tidak tahu kalau perintah itu hanya pantas diajukan pada seorang pelacur,""Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan seorang pelacur," sanggah Nathan panik, sigap mengusap air mata yang mulai bercucuran.Segera Thea menepis tangan yang menurutnya hanya berbuat demi seuntai n
WARNING 21+ ________________________________ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ________________________________ Blush.. Begitu jelas terukir rona merah di kedua pipi Thea, wajah putihnya berubah bak kepiting rebus berkat perkataan penuh makna. "A-apa maksudnya, kenapa dia mengatakan hal itu? D-dan kenapa aku memikirkan hal kotor!" gumam Thea dalam hati menangkup kedua tangan ke dalam dada hingga memastikan seperti apa kondisi organ dibalik kerangka tubuhnya. Perlahan memberanikan diri melirik sosok yang terus berjalan dengan langkah normal, raut datar itu tetap terpasang hingga menaruh tanda tanya di benak Thea. Bibir yang hendak bergumam guna menanyakan maksud tak lagi melanjutkan niat setelah menyadari suara debaran yang berasal dari dada bidang yang kini tengah mendekapnya. Dengan keberanian yang tak seberapa telapak gadis itu terulur untuk menyentuh ambang kutikula Nathan,
Sigap gadis itu berdiri memandang Nathan yang siap menarik kaos hitam hingga memperlihatkan tubuh bagian atas. Mulai dari lekuk otot perut hingga kedua titik pada dada bidang, entah kenapa Thea belum menyadari jika kedua maniknya perlahan tersihir karena pemandangan tersebut. Bahu lebar itu terlihat begitu luas dari jarak dekat, kali ini Thea lebih lekat menatap setiap inci tubuh atletis seorang pria. "Itu ada 8," gumamnya tanpa sadar menganga tak mampu mengontrol ekspresi, Seketika berhasil mengundang tawa singkat di wajah Nathan, merasa senang melihat tingkah gadis yang terkesan menggemaskan. Perlahan menoleh demi melempar kaos ke sisi lain, "Apa kau menghitungnya?" sontak Nathan merendahkan suara sambil menerbitkan senyum licik, "Aa-tidak!" geleng Thea, baru menyadari apa yang telah dilakukan. Pasti wajahnya terlihat seperti orang bodoh saat tertegun hanya karena hal sepele, reflek Thea mengalihkan pandanga
"Huh! Apa dia bilang? Perutku penuh dengan lemak! Memangnya dia pernah melihat perutku--seenaknya saja menghina tanpa bukti." gerutu Thea mendengus kesal,Dengan hati yang terbakar amarah dia berdiri di depan cermin besar, meletakkan tumpukan kain ke atas penyangga kaca. Masih sigap memasang wajah muram karena terus teringat ucapan pria tadi,Sigap dilepasnya dress formal yang melekat demi segera mengenakan salah satu setelan lain. Entah kenapa sekilas muncul senyum cerah di wajah Thea,Tercipta satu tujuan jika dia harus bisa mematahkan hinaan tadi demi menjaga harga diri. Bahkan Thea mulai membayangkan ketika wajah angkuh itu terpesona dengan tubuh indahnya,Doeng!
Meski merasa terpaksa, gadis itu tetap melangkah maju hingga mendapati beberapa pelayan datang dengan meja dorong berisi berbagai macam hidangan.Seketika rasa kesal dalam hati Thea terganti dengan rasa lapar yang mengguncang penduduk di dalam perut. Lengkung bibir itu terukir sempurna seraya membuka jalan bagi pelayan untuk menyelesaikan tugasnya,"Taruh saja disitu. Aku akan menatanya sendiri," celetuk Thea begitu tak sabar mencicipi salah satu makanan yang sangat menggoda hingga membuatnya berulang kali menelan saliva.Beruntung dia masih bisa mempertahankan raut datar demi menjaga citra di hadapan mereka. Perlahan setiap pelayan berbaris dengan kepala tertunduk,"Karena malam masih panjang, apa setelah ini---Nyo
Aroma bunga lily yang masih melekat pada urai legam pria itu mampu membuat Thea mengernyit, sedikit bingung bagaimana bisa hidungnya dengan jelas menghirup wangi tersebut.Entah kenapa tanpa sadar dia terlelap sebelum menghabiskan setengah perjalanan, mungkin saja energi dalam tubuh Thea telah terisi penuh hingga menambah kepekaannya terhadap bau."Ng.." perlahan membuka mata, menemukan diri tengah bersandar pada jendela berukuran sedang.Seketika dia tersentak kaget karena menatap pemandangan awan yang begitu berbeda, sigap menoleh hingga menemukan sosok tinggi sedang duduk tepat di sampingnya. "Bapak! Kita ada dimana?""Pesawat," sahut Nathan datar tanpa menoleh,Mendengar kalimat tadi, tanpa ragu Thea menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kursi kosong layar televisi juga perabotan modern yang tak mungkin ditemukan di dalam mobil."Perasaan aku tadi ada di dalam mobil.." gumam Thea mengerutkan alis, ber
"Hah?! K-kenapa!"Tentu saja gadis itu terkejut tak mampu berkutik mendengar saran aneh dari mulut Zen. Bukannya mendukung dan membiarkan Thea membantu karena pasti mengerti tentang emosi yang dirasakan, dia justru menggunakan ide aneh Nathan untuk mengusir mereka."Tu--" nyaris saja sebuah panggilan hormat muncul berkat batin yang terlalu antusias, beruntung dia sadar pada waktu yang tepat."Aku mohon, izinkan aku membantu..""Bukankah tadi sudah kujelaskan, bahwa kaulah target mereka. Liburan adalah cara yang tepat untuk kau bersembunyi,""Kau harus menghilang selama beberapa hari untuk mengecoh mereka. Dan Nathan akan menemanimu," beralih menatap sosok lain."Kau tidak boleh pergi kemanapun dan pastikan Thea selalu berada di sampingmu sampai keadaan aman----biarkan aku menjalankan rencana yang telah kami setujui," lugas Zen berhasil membujuk,Meski tidak tahu apapun tentang rencana yang dim
Karena gadis yang masih bersikeras mengajak Nathan ke suatu tempat, mau tidak mau setelah berganti pakaian mereka berdua pergi menaiki mobil yang dibawa oleh Romi.Kedatangan pria itu juga menyelesaikan kesalahpahaman yang beberapa saat lalu terjadi. "Thea, kenapa kau memintaku membawa baju? Padahal tadi, Pak Nathan sudah memakai baju baru."Seperti biasa dia menempati kursi depan agar tak mengganggu kenyamanan tuan muda. "Itu tadi, baju milik sepupuku..""Apa?!" sontak Romi terkejut mendengar kebenaran yang belum pernah terjadi,"Sudahlah lupakan saja. Itu telah berlalu! Jangan sampai ada yang kesal karena kita membicarakan hal tadi," bisik Thea berhasil menghentikan perbincangan,Menit berlalu kendaraan beroda empat itu telah melewati gerbang besar yang menuntun ke depan gedung megah familiar milik keluarga Adelard.Muncul helaan nafas panjang, dari seorang pria berjas coklat yang tengah melirik sekilas