Si pengintai datang ke dalm Kafe.Leina masih tertunduk, memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang. Dia sama sekali tidak menyadari orang tersebut."Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Arsen tidak mau membicarakan ini denganku? Apa dia sungguh mengenal wanita itu? Kenapa wanita itu malah ..." ucapnya terhenti.Pertanyaan demi pertanyaan terus memenuhi benaknya. Ada yang tidak beres di sini. Jika benar, bos dari kriminal yang mengganggu Arsen adalah si penghipnotis, maka— apa tujuannya?Suara tak asing memanggilnya, "Sayang ..."Leina mengangkat wajah, dan tersadar kalau sudah ada sang kekasih di hadapannya. Iya, itu adalah pengintai yang sedari tadi ditakuti oleh Reno."Arsen?" Leina heran dengan kehadirannya. "Kamu di sini?""Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu bohong tadi? Apa ini belanja?" tanya Arsen dengan raut wajah serius. Nada bicaranya seperti agak marah.Leina merasa bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud berbohong padamu, aku cuma ...""Ketemu dengan seorang pria?""Hmm .
Diseret-seret terus membuat Arsen merasa aneh. Tetapi, dia menurut saja sampai masuk ke dalam kamar tidur.Di situ, dia melihat Leina menutup pintu, menguncinya. Setelah itu, dia balik badan dan menaruy ponsel di atas meja dengan posisi terbalik. Dengan demikian, cahaya senter dari kamera belakang menyorot ke langit-langit. Pencahayaan ruangan ini sedikit lebih baik.Untuk menghemat daya, Arsen mematikan senter di ponselnya. Dia bertanya, "Sayang, ada apa? Kamu kayaknya takut? Ada apa? Kamu takut kegelapan?""Bukan takut gelap, tapi aku takut hantu.""Hantu?""Iya ..." Leina mendekat ke jendela, lalu menutup tirainya. Dia menghela napas panjang sambil mengelus dada.Arsen menahan tawa. "Aku baru tahu, ternyata kamu penakut. Hantu itu tidak ada, Sayang.""Terserah kamu ngomong apa. Pokoknya aku takut ya takut." Leina beralih duduk di tepian ranjang, masih mengatur napas dan detak jantungnya. Dia takut dengan apa yang tadi dilihat. Kalau memang tidak ada orang, benarkah tadi hantu?Tapi
Arsen sudah pergi selama lima menit, dan selama itu pula hanya ada keheningan di kamar.Akan tetapi, Leina masih bisa mendengar sirine mobil polisi di luar, dan deru kendaraan bermotor. Banyak orang yang pergi untuk mencari penginapan. Mungkin itu yang terbaik daripada berada di tempat gelap sendirian dan kedinginan.Leina terdiam lama. Dia masih bersembunyi di bawah selimut, menantikan kehadiran sang kekasih. Sosok bayangan tadi kembali muncul di pikirannya. Itu membuat tengkuknya merinding lagi.Dia menepis pemikiran itu dengan menguatkan diri, "Tidak, tidak ada hantu. Hantu itu tidak ada. Arsen akan segera ke sini. Tidak perlu takut."Saat ada suara langkah kaki, Leina langsung menurunkan selimut, melihat ke pintu. Dia berharap itu Arsen."Arsen ... Arsen datang ..." Dia gembira. Detak jantungnya masih tidak beraturan. Tetapi, setidaknya mendengar langkah kaki itu, dia mulai tenang.Akan tetapi, suara itu mendadak lenyap— dan lima detik kemudian, terdengar ketukan pintu.TOK, TOK,
Serena tertidur pulang setelah memikirkan Arsen dan mengutuknya. Benci dan cinta seolah berada di seutas tali yang sama.Saking bencinya Serena Dengan Arsen, dia makin ingat dengan kenangan mereka di masa lalu. Dia sadar kalau pria itu tidak pernah serius berkata cinta padanya atau pada wanita lain. Namun, dia tidak terima hal itu. Dia memilih percaya kalau Arsen mencintainya.Tiga belas tahun silam— ketika dirinya masih berusia dua puluh tahunan, itu adalah awal pertemuannya dengan Arsen dan Tino.Tino, pemuda yang memiliki paras tampan menawan, langsung jatuh hati padanya saat dikenalkan oleh Dokter Gio."Hai, namaku Tino,“ kata pria itu saat menjabat tangan Serena.Serena menjabat tangan pria itu, lalu berkata, "Salam kenal, aku Serena.”Dokter Gio, pria paruh baya yang mengenakan jubah putih dokter, tersenyum menatap mereka berdua. Dia mengajak, "ayo kita ke dalam, kalian temani dulu teman baru kalian yang lain.“"Ada orang lain lagi, Dok?” tanya Serena heran."Iya, tentu saja. De
Suara-suara langkah kaki terdengar di luar. Suaranya makin lama makin dekat. Ini sangat jelas, dan bisa didengar oleh Leina dan Arsen.Arsen masih serius melihat ke arah pintu masuk. Dia memikirkan sesuatu.Sementara itu, Leina memeluk Arsen dengan mimik wajah ketakutan. Dia masih mengira itu hantu. "A—arsen, kamu dengar itu? Aku ... Aku bilang juga apa ... Ada ... Ada suara ..."Arsen ingin tetap berada dalam situasi ini, didekap erat oleh sang kekasih. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukan itu terus karena ini artinya masalah serius. Dia sama sekali tidak menduga ada yang berani masuk. Tampaknya, dia juga tahu siapa yang masuk itu.Dia menurunkan tangan Leina dari tubuhnya, lalu berkata, “hei, Sayang, tolong lepaskan aku dahulu. Aku mau melihat siapa yang datang ke rumah kita.""Hantu 'kan ya?”"Mana mungkin hantu bisa bersuara seperti itu? Sudah kamu di sini saja, aku akan keluar sebentar.“ Arsen meminta dengan suara yang lembut. Dia memberikan kecupan singkat di kening Leina— ba
Arsen berhadapan langsung dengan wanita berna Bonny alias si karyawan toko baju yang ada di seberang kantor detektifnya. Sudah beberapa hari belakangan, hidupnya menjadi serba sulit berkat kedatangan wanita itu.Dia sama sekali tidak kaget saat bertemu dengannya di dalam rumah ini, tepatnya di dapur.Wanita itu mendekat sambil mengacungkan mata pisau ke wajahnya. Dia tersenyum. "Akhirnya kita bisa berduaan, Arsen. Maksudku benar-benar berduaan saja."Arsen masih diam. Dia ingin sekali tak mempedulikannya, tapi kalau ini terus dibiarkan, entah berapa lama dia harus mengalami ini.Bonny berhenti tepat di hadapan Arsen. Pisau dapur yang dia pegang makin dinaikkan— dan ditodongkan ke bawah dagu pria itu.Di kondisi mati lampu begini, pencahayaan hanya berasal dari lampu dinding yang sedikit redup. Alhasil, tidak banyak yang terlihat di situ. Akan tetapi, Arsen masih bisa melihat betapa liciknya senyuman Bonny.Pria itu berkata, “aku masih tidak mengira gadis cilik yang dulu polos jadi sep
Leina dibawa masuk ke dalam mobil orang yang menyerang Nathan. Karena tidak ada waktu, takut ada yang melintas, terutama jika mungkin mobil patroli polisi, jadi orang misterius itu menginjak pedal gas lebih dahulu— menjauh dari tempat kejadian perkara.Kejadian ini menguras tenaga Leina. Terlebih lagi, bungkaman di mulutnya yang membuat ia tak nyaman.Setelah menjauh dari tempat tadi, barulah orang misterius itu menepi di pinggir trotoar— dan melepaskan penutup kepala yang menutupi identitasnya, serta lakban yang mengunci bibir Leina.Leina tidak kaget saat melihat sosok itu. Iya, dari awal suaranya sudah jelas."Hans ...“ ucapnya lirih.Hans. Itu memang dia. Dialah yang melakukan penyerangan tadi terhadap Nathan. Dia berhasil kabur tanpa diketahui identitasnya karena Nathan memang tak kenal dengan suaranya."Kamu tidak apa?” tanya Hans menatap Leina yang letih."Iya.""Berbaliknya sebentar, akan kulepas lakban di tangan kamu."Leina menuruti suruhan dari Hans. Hans pun melepaskan la
Leina kembali masuk ke dalam rumah. Dia bisa melihat kekacauan yang ada di dalam, dan tidak kaget lagi melihat banyaknya orang yang pingsan di lantai. Semuanya tumbang setelah menghadapi Arsen.Arsen dibantu oleh Hans untuk membereskan semua orang itu. Seperti biasa, mereka hanya membuang mereka ke jalanan sepi— tak mau terlibat lebih lanjut.Setelah semuanya selesai, Arsen masuk ke dalam dapur. Arsen sedikit lega karena wanita tadi— Bonny, sudah menyerah dan pergi. Dari semua orang, dia tidak bisa menyakiti wanita. Jadi, dia lebih suka membiarkannya pergi.Leina mengikutinya. Dia bertanya, "mana Hans?""Dia memilih pulang saja," sahut Arsen sambil duduk di salah satu kursi yag melingkari meja makan. Dia menghela napas panjang. Lelah, letih dan mengantuk.Itu wajar saja, sekarang sudah lewat tengah malam. Kejadian tadi cukup menguras tenaga sekaligus waktu.Leina sudah tidak gemetaran lagi. Setelah bersama Arsen, segala rasa takutnya kini sirna. Dia mendekat ke meja dapur, lalu memper
Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta
"KELUARKAN AKU DARI SINI!"Teriakan kencang keluar dari mulut Serena berulang kali. Dia sangat panik, takut dan juga gelisah berada di tabung kaca yang perlahan memasukkan air ke dalam.Iya. Dia dikurung di dalam situ dari beberapa jam yang lalu. Sekarang air yang merendam di bawah sudah sampai pinggang. Tinggal menunggu waktulagi sebelum dia benar-benar akan tenggelam.Dia berusaha keras menggebrak - gebrak kaca tabung itu, tapi sekuat apapun pukulannya, tak berhasil juga meretakkan kaca tersebut. Iya, rasanya dia sudah terjebak di dalam permainan sulap, dimana dia tak bisa keluar.Yang lebih memuakkan adalah sejak tadi sudah ada orang yang duduk di kursi tepat di depan tabung. Orang itu bagaikan penonton sulap yang menanti kapan Serena akan mati terendam di dalam tabung."KELUARKAN AKU, WANITA BODOH!" teriak Serena yang muak dan makin panik. Dia tidak terima dengan semua ini. "KENAPA KAMU DIAM SAJA! HARUSNYA KALIAN MEMBAWAKU PERGI MENEMUI ARSEN! MANA ARSEN-KU!""Berisik sekali, sih?
Melawan Arsen dengan kekuatan sendiri itu mustahil, Hans sadar akan hal itu. Karena itulah, dia menjelaskan trik yang bisa dipakai untuk melawannya.Berhubung mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan rekan, jadi mau tidak mau harus mengandalkan kemampuan diri sendiri.Sesuai dugaannya, ternyata Tino menemukan tempat persembunyian mereka di keesokan harinya. Mereka tidak ragu-ragu langsung masuk ke dalam kawasan perumahan ini. Dia memanfaatkan kondisi perumahan yang sedang sepi untuk menyusup. Dia memerintahkan banyak anak buahnya untuk mengintai di sekitar rumah target."Bagus, sesuai keinginan kita, tetangga kanan, kiri dan depan sedang pergi," ucap Tino saat melihat rumah persinggahan Ritta di seberang jalan. Dia berdiri tepat di bawah pohon rindang, ditemani oleh Nathan.Nathan melihat suasana perumahan yang sepi padahal sudah siang. "Tempat ini sepi sekali ... tapi pasti ada yang masih di rumah 'kan? Bagaimana kalau ada yang mendengar?""Tenang saja, itulah gunanya aku
Leina dan Ritta berhasil sampai di rumah persinggahan darurat dengan aman. Saat mereka sampai, hari sudah gelap.Mereka beruntung tidak ada yang mengikuti. Akan tetapi, Ritta terus menyibukkan diri dengan mengaktifkan keamanan rumah. Dia juga masuk ke ruang monitor. Sebelumnya, Hans meretas kamera pengawas jalan dan disambungkan ke ruang tersebut. Dengan begini, dia bisa tahu kalau ada orang mencurigakan sedang mengawasi rumah.Bangunan itu sendiri berada di dalam perumahan, tidak terlalu padat penduduk. Iya, itu karena lokasinya berada di wilayah di mana kebanyakan penghuni adalah pebisnis yang jarang pulang. Sekalipun tetangga kanan dan kiri rumah singgah itu sudah ada dihuni, tapi penghuninya jarang pulang. Tak heran, kawasan itu sangat sepi.Saat Ritta sibuk dengan semua itu, Leina membuatkan makan malam untuk mereka. Mereka makan malam tak lama kemudian. Tidak ada yang dibicarakan setelah itu karena keduanya sangat lelah.Karena hal itulah, mereka berdua langsung memutuskan un