“Gimana? Selesai, Pak?” tanya Mita setelah mendapati seorang laki-laki masuk ke dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class. Raut wajahnya datar seperti biasa, sehingga membuat Mita kesulitan menebak apakah semua baik-baik saja atau malah kebalikannya.
“Hemm.”
Hem kali ini, iya. Tetapi gadis bermata sipit itu belum puas atas jawaban bosnya. Ada perasaan was-was karena dirinya masih menebak-nebak tentang apa yang telah terjadi.
“Semua baik-baik kan, Pak?”
“Hem,” guman Vano sekali lagi. Kemudian laki-laki itu menyuruh Mang Joko untuk pergi dari parkiran restoran yang menjadi pertemuannya dengan Bunga. Ia masih acuh dengan asistennya, membuat Mita mendengus karena mendapat jawaban hem lagi. Walaupun hem yang ini juga bermaksud iya.
“Bunga gimana?”
“Apanya yang gimana?”
Mita kian berdecak. Semakin nggak jelas saja obrolan dengan bosnya. Lagipula mengapa bosnya sangat menyebalkan di saat yang nggak memungkinkan. Mita bertanya dengan baik-ba
Hari sudah sore dan mulai akan datang malam, namun jalanan ibu kota nggak ada tanda-tanda sepi dari kendaraan. Kemacetan sudah mereda beberapa saat yang lalu. Jalanan yang sudah normal pun mulai dijadikan patokan syukur untuk pengendara yang akan pulang ke rumah masing-masing. Setelah bekerja, setelah berkutat dengan tugas pekerjaan serta harus menghadapi kemacetan disaat tubuh hanya memiliki sisa-sisa energi itu rasanya nggak mudah. Emosi sering tersulut hanya karena hal-hal sepele, sehingga saat mendapati jalanan yang mulai sedikit longgar, sudah cukup untuk dijadikan rasa syukur di hari yang melelahkan. Motor scoopy fi sporty yang di tumpangi oleh Mita dengan helm nya yang bergambar minions itu mulai masuk ke sebuah gang rumahnya. Lampu-lampu di setiap rumah sudah menyala menerangi kedatangan malam. Dia menekan klakson serta membuat gestur anggukan kepada seorang satpam yang melambai padanya. Lelah, ingin cepat-cepat istirahat. Dalam bayangan gadis
Angin malam berhembus menerpa wajah baby face milik Mita. Bibirnya menampilkan senyum sembari melambaikan tangan ke arah laki-laki yang kini sudah menunggangi motornya. Malam mulai larut, tiba waktunya untuk Mita beristirahat di atas kasur. "Kapan-kapan main balik ya?" ucap Gilang setelah mengancingkan helm nya. "Kalau di undang," balas gadis itu yang tetap menghantarkan Galang menuju luar halaman rumahnya. "Jelas di undang dong, cuman butuh jadwal kosong mu aja." "Aku belum ada jadwal kosong," timpal Mita kembali. "Sibuk?" "Sok sibuk," balas Mita terkekeh. "Nanti lah, bisa diatur jadwalnya." Gilang hanya menampilkan senyum manisnyanya. "Nanti di kabarin lagi," katanya kemudian "Iya dong, tadi loh nggak ngabarin." Mita tiba-tiba berseru. Namun sadar akan kesunyian malam dia pun mulai kembali menormalkan suaranya. "Jangan bikin kaget tiba-tiba lah Lang, nanti jantungan gimana?" "Nanti di kasih nafas
"Eh Mita, bentar ... bentar ..." suara Farhan mengintruksi saat gadis independen yaitu Mita baru akan memasuki sebuah lift menuju ruangan bosnya.Dia segera menoleh memperlihatkan wajahnya yang khas keturunan Chinese."Apa?""Yaelah, selow aja kali, gue gak akan minta sama apa yang lo bawa," sahut Farhan yang kemudian sudah berhadapan dengan gadis bermata sipit itu."Punya bos juga," kata Mita. "Ada apa sih? Gue buru buru nih, mau anter makan siang tuan bos besar.""Gue cuman mau nitip berkas cok, minta tanda tangan, soalnya males banget mau ke atas, nanti gue ambil di Bang Billy."Mita segera menerima berkas dalam map yang diberikan Farhan kepadanya. Laki-laki yang suka tebar pesona itu seperti biasa tampil dengan gaya yang memikat."Eh, bentar!" Seru Farhan tiba-tiba dengan mencengkram pundak Mita begitu gadis itu akan masuk ke dalam lift."Apa lagi?" tanya Mita mencoba sabar dengan kelakuan rekan kerjanya itu."Mana P
"Setelah makan siang, Pak Vano nggak ada jadwal meeting atau keluar, hanya stay di kantor," ucap Mita saat bosnya itu tiba-tiba menanyakan kembali jadwalnya."Oke," balas laki-laki itu yang fokus kembali dengan makan siangnya.Mita belum mendapatkan makan siangnya. Kata Billy si pengantar masih dalam perjalanan dan nggak lama lagi akan sampai. Oleh karena itu Mita hanya duduk diam di sofa lain sambil memperhatikan bosnya makan.Memang ya, kepekaan bosnya belum terasah dengan tajam. Harusnya ia bersimpati dengan Mita yang masih menunggu makanannya.Tapi ya dasarnya Vano, dia jadi nggak heran."Kata Billy, kamu mau menikah, memang benar?" tanya laki-laki itu dengan gayanya yang cuek.Mita seketika menoleh. Bingung sendiri atas pertanyaan itu, namun dia usahakan untuk biasa saja."Bukan menikah Pak, tunangan," jawab Mita sedikit ada rasa sungkan.Gimana ya ... Nggak enak saja gitu bicara hal pribadi dengan bosnya."Lagian Bang Vano juga sering tanyain Mbak Mita sama gue."Sial, malah jad
"Mit, jadwalkan ulang pertemuan dengan Pak Norman ya? Saya ada keperluan mendesak di hari yang sudah di jadwalkan, bilang sama Billy juga." Mita yang sebelumnya menaruh setumpuk dokumen di meja bosnya segera mengangguk merespon perintah sang bos. Dia akan kembali berjalan keluar namun perkataan Vano kembali mengintruksi langkahnya. "Oh, panggil Mang Joko suruh menemui saya sekarang." "Maaf pak, Mang Joko kan izin pulang kampung selama dua hari," balas gadis berpakaian formal itu dengan sopan. Dia mengingatkan jika yang tadi menyetir adalah Vano sendiri bukan Mang Joko. Atas ingatannya yang lupa, Vano berdecak. "Oke," katanya kemudian, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Mita menghela nafas. Bosnya mulai sangat sibuk beberapa Minggu ini. Sebab akan ada proyek baru yang akan digarap oleh perusahaan yaitu pembukaan pabrik cabang yang khusus memproduksi panganan hasil bumi dari daerah tersebut. Vano sebagai pebisnis bisa di bilang cukup cerdik dengan kombinasi sikap dermawan.
Sebelumnya Mita belum pernah mengunjungi tempat wisata berupa pantai atau laut lepas di Jakarta kecuali pantai Ancol. Dia bahkan nggak pernah merencanakan berkunjung ke sebuah pulau di kepulauan seribu yang terkenal cukup aestetik untuk di kunjungi. Namun untuk pertama kalinya itu Mita bercampur lelah dan excited terus mengikuti bosnya yang tampak biasa seolah sudah sering berkunjung. Sedangkan langit sudah memancarkan sorot jingga yang semakin menggelap. Tandanya memang sudah sangat sore untuk menyebrang menuju salah satu pulau yang Mita tau sebagai Pulau Putri. Vano yang mengatakan tadi, itupun karena Mita mendesak akan diajak kemana dirinya. Gadis bermata sipit itu cukup mewaspadai apa-apa yang terjadi padanya. Kendati pergi bersama Vano, tetap saja bosnya itu berjenis kelamin laki-laki sedangkan dirinya berjenis kelamin perempuan. Harus waspada walau pergi dengan orang yang sangat dikenal sekalipun. “Pak, bisa bukain botol minumnya nggak? Susah nih, tangan saya licin,” ucap Mit
Tempat biasa yang dimaksud adalah sebuah cafe tempat biasa Farhan dan Gilang nongkrong. Cafe yang terletak di tengah pusat kota itu buka dua puluh empat jam dengan berbagai makanan dan minuman kemasan bak sebuah minimarket namun terdapat banyak bangku untuk anak-anak muda nongkrong dengan teman-teman atau pun pasangan. Gilang sudah biasa berada di sana, dia juga sudah biasa dengan Farhan yang akan mengambil kesempatan sebaik mungkin dalam kondisi yang menguntungkannya. "Lo mau curhat kan?" "Sebagai pendengar gue juga butuh banyak makanan buat dengerin lo curhat, supaya energi gue full dan bisa memberikan solusi yang paling tepat." Itulah alasan Farhan yang tanpa berekspresi tak enak saat menaruh banyak bungkusan cemilan di meja mereka. Saat Gilang meliriknya dengan datar, dia pura-pura nggak melihat dan malah mengambil duduk dengan santai. "Untung gue punya gaji," dengus Gilang atas kelakuan sahabatnya itu yang memanfaatkan kondisinya. "Ya makanya itu cok, gaji lo yang besar itu
Sedangkan itu di lain tempat, malam semakin larut dan sepoi angin semakin terasa dingin menusuk tulang. Mita masih belum menyangka jika dia berada di sebuah pulau kecil yang sangat indah untuk menikmati malam. Harinya yang berat dan rasa lelah seolah sirna sejak dia menginjakkan kaki di sebuah dermaga. Gemerlap lampu serta bangunan-bangunan dari kayu kian menambah keindahan di mata gadis itu. "Loh, pak, kirain sudah tidur," ucap Mita saat mendapati laki-laki tampan yang berjalan ke arahnya. Mita sendiri sedang menikmati angin laut di kursi teras kamarnya. Kebetulan kamar Vano juga terletak di samping kamarnya, yang mana tentu laki-laki itu dapat dengan jelas melihat Mita yang duduk sendirian sejak tadi. "Emang saya kamu." "Lah, saya emang kenapa?" balas gadis itu. Mata sipitnya langsung melirik ke sebuah map yang Vano letakkan di atas meja. Mita menduga bosnya itu akan kembali bekerja. Sehingga membuatnya berdecih karena merasa bahwa bosnya itu workaholic sekali. Namun Mita nggak
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i