"SIAPA orang itu? Ada urusan penting apa sampai harus menemuiku pagi-pagi buta begini?" tanya Rakryan Mantri Tumenggung pada prajurit pengawal kediamannya. Hari memang masih gelap di Kotaraja. Mentari belum menampakkan diri di kaki langit timur. Suasana katumenggungan masih sepi, hanya tampak para prajurit yang berjaga sejak semalam. Namun sepagi buta itu seekor kuda berderap datang. Penunggangnya seorang lelaki berkepala plontos. Kepada prajurit penjaga di depan, tamu asing tersebut mengaku membawa pesan penting untuk Rakryan Tumenggung. Mulanya para penjaga tidak menggubris. Mereka tidak mau kena damprat karena membangunkan Rakryan Tumenggung yang mereka yakini masih beristirahat. Panglima kerajaan itu juga sedang sering marah-marah belakangan ini. Namun ketika tamu tersebut menyebut-nyebut kedatangannya ada kaitan dengan Dyah Wedasri Kusumabuwana, para prajurit jaga langsung heboh. Salah satu dari mereka langsung masuk dan menghadap. "Orang itu mengaku bernama Ganduswa, Gusti T
"KAU tidak salah membaca, Lembana. Gusti Puteri telah ditemukan," ujar Rakryan Tumenggung, ketika melihat Arya Lembana malah terpaku usai membaca pesan yang disodorkan olehnya. "O-oleh Kridapala?" Arya Lembana sungguh tidak mengerti mengapa bibirnya seperti tergerak sendiri untuk mengucapkan pertanyaan bernada ragu itu. Segudang pertanyaan sebetulnya sudah bercokol di benak Arya Lembana sejak dijemput dari ruang tahanan bawah tanah tadi. Sepanjang perjalanan menuju katumenggungan, ia berusaha menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu tetapi gagal. Sang senopati memang sempat menduga jika pemanggilan ini ada kaitan dengan Dyah Wedasri. Karena puteri kesayangan rajanya itu sudah diketemukan dan kembali ke Kotaraja, maka ia dibebaskan dari tahanan. Namun mengapa Kotaraja seperti tenang-tenang saja jika benar Dyah Wedasri telah kembali? Di mana-mana tempat yang Arya Lembana lewati tadi, tidak terlihat suasana penyambutan sedikit pun. Sepi. "Kelihatannya kau tidak percaya?" Rakryan Tu
DENGAN diiringkan sejumlah pengawal, Rakryan Mantri Tumenggung mendatangi gedung penjara di mana Ganaseta ditahan. Kuda-kuda mereka dipacu kencang agar cepat sampai tujuan.Rakryan Tumenggung tak mau membuang-buang waktu lagi. Ini adalah hari terakhir baginya untuk mendapatkan Dyah Wedasri Kusumabuwana. Sampai gagal, maka besok lehernya bakal dipenggal.Namun kedatangan Ganduswa tadi justru membuat Rakryan Tumenggung dikepung bingung. Ia antara percaya dan tidak dengan pesan yang dikirim oleh Kridapala. Karena itulah sang panglima berharap bisa mendapat kepastian dari Ganaseta."Kau sengaja menuduh Kridapala dengan menyebut dirinya sebagai antek-antek Arya Agreswara, bukan?" tanya Rakryan Tumenggung begitu di dalam ruang tahanan Ganaseta.Yang ditanyai mengernyitkan kening, sembari coba menebak-nebak di dalam hati apa yang sesungguhnya telah terjadi. Ganaseta ingat betul, Rakryan Tumenggung mempercayai keterangannya sebelum ini. Kenapa sekarang seolah ragu-ragu?"Maaf, aku tidak menge
"SIAL dangkalan! Ke mana perginya Triguna sialan itu? Masakan dia bisa menghilang dari sekitar sini secepat itu?" dengus Tumanggala tak habis pikir.Sambil terus menggerutu, sang wira tamtama menatap api besar yang sedang berkobar-kobar di hadapannya. Suara gemeretak kayu dan ranting yang terbakar api memenuhi tempat tersebut.Tadi Tumanggala sempat menyisir sekitaran air terjun dan gua untuk melacak keberadaan Triguna. Namun hasilnya nihil. Lelaki yang tengah terluka parah itu tidak ditemukan di mana pun.Akhirnya Tumanggala kembali ke dangau. Ia memutuskan untuk mengurus jasad-jasad yang menumpuk di sana, sembari memberi makan kudanya sebelum dibawa melanjutkan perjalanan."Atau mungkin sebenarnya dia masih berada di dekat-dekat sini, bersembunyi entah di mana?" duga Tumanggala, sembari menyusun beberapa potong kayu tambahan ke dalam kobaran api.Sebagai penganut aliran Syiwa, seperti mana laiknya kebanyakan penduduk Kerajaan Panjalu masa itu, Tumanggala percaya jika jasad seseorang
"MINGGIR! Jangan coba-coba menghalangi jalanku!" Citrakara memandang sengit pada penunggang kuda di hadapannya. Seorang lelaki berkepala botak yang sejak berpapasan langsung mendekat, bahkan kemudian sengaja merintangi jalan. Sementara lelaki berkepala plontos yang dibentak tampak tersenyum-senyum penuh arti. Tatapan matanya seperti seekor singa melihat mangsa. Buas, seolah hendak menerkam Citrakara. "Gadis cantik berbadan bagus, aku sungguh tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," kata si lelaki berkepala plontos kemudian. Usai berkata begitu, si botak julurkan lidah menyapu bibir bagian bawah. Perlahan ia bawa kudanya agar lebih mendekat pada Citrakara. Yang didekati mendengus, lalu membawa kudanya menghindar. Dari gelagat orang, Citrakara langsung tahu apa yang diinginkan lelaki botak ini darinya. Ia jadi bergidik ngeri. "Jangan sok kenal! Aku tidak pernah bertemu denganmu dan tidak punya urusan apapun, jadi cepatlah minggir! Aku harus segera tiba di Kotaraja!" bentak C
"AKHIRNYA aku bisa mencicipi kenikmatan tubuhmu yang menjadi buah bibir para lelaki. Sungguh beruntung sekali diriku ini!" desis Ganduswa, lalu sambil tertawa senang mendaratkan ciuman buas.Entah sudah berapa kali Ganduswa menciumi pipi, kening, juga pelipis Citrakara. Namun ia masih belum berhasil mencuri ciuman di bibir perempuan cantik itu.Setiap kali Ganduswa berusaha menempelkan bibir tebalnya pada rekahan semerah delima milik Citrakara, perempuan itu dengan gesit memalingkan kepala. Akibatnya ciuman Ganduswa hanya menyentuh pipi atau rahang.Jika tadinya Ganduswa menanggapi hal itu dengan tertawa-tawa saja, lama-lama ia jadi kesal juga. Bibir ranum itu begitu menggoda di matanya. Ingin rasanya ia kecup, lalu dikulum puas-puas. Sayang, keinginan tersebut selalu kandas."Perempuan keparat!" dengus Ganduswa, lalu ... PLAK! Tangan kanannya melepas tamparan keras di pipi Citrakara.Yang ditampar terpekik kesakitan, lalu menatap marah pada Ganduswa yang tengah memelototinya dengan b
"AAAAA!" Citrakara terpekik kaget saat merasakan tubuh Ganduswa tiba-tiba saja menegang. Ketika ia membuka mata, ternyata lelaki bejat tersebut sudah tidak lagi menindihnya di atas. Terdengar suara erangan dari samping. Citrakara cepat palingkan kepala ke arah sana dan sekali lagi dibuat memekik kaget. Rupanya Ganduswa sudah berpindah tempat. Tampak tengah mendesis-desis kesakitan dalam keadaan menekuk badan di atas tanah. Kedua tangannya memegangi selangkangan. "Mau lagi, hah?" tanya satu suara serak, membuat Citrakara mendongak dan menyadari kehadiran sosok ketiga. Seorang lelaki tua tengah berdiri berkacak pinggang di dekat Ganduswa. Wajahnya yang keriput dihias rambut putih panjang menjela bahu. Kumis dan jenggotnya juga berwarna putih keperakan semua. Meski sikapnya tengah mengancam Ganduswa, tetapi mimik lelaki tua itu tampak lucu. Citrakara sulit menebak apakah orang tersebut tengah marah atau justru melawak. Jangan-jangan, orang tua ini temannya lelaki mesum itu? Pura-pu
"ELADALAH! Dia malah kabur," gerutu si lelaki tua, sembari memandangi kepergian Ganduswa.Namun setelahnya lelaki tua itu tidak ambil peduli. Ia memilih berbalik badan, mendekati Citrakara yang duduk berjongkok. Perempuan itu melongo melihat Ganduswa kabur ketakutan."Anak Cantik, kau tidak apa-apa?" tanya si lelaki tua begitu tiba di hadapan Citrakara."O-oh, Kakek...."Citrakara tergeragap, antara kaget dan malu kalau-kalau dadanya yang tak terlindung pakaian dilihat orang. Cepat-cepat ia merapatkan kedua kaki dan tangan yang sedari tadi dipakai menutupi bagian tersebut."A-aku tidak apa-apa, Kek. Lelaki tadi belum sempat berbuat apa-apa padaku," jawab Citrakara setengah berbohong. Ia jelas malu mengakui kalau sudah diciumi Ganduswa dan bahkan pakaiannya dirobek."Terima kasih kau sudah menolongku, Kek," lanjut Citrakara.Si lelaki tua lagi-lagi tertawa mengekeh. Sambil terus tertawa ia meloloskan kain panjang yang sedari tadi tersampir melingkar di bahunya. Diulurkannya benda terse
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun