"MINGGIR! Jangan coba-coba menghalangi jalanku!" Citrakara memandang sengit pada penunggang kuda di hadapannya. Seorang lelaki berkepala botak yang sejak berpapasan langsung mendekat, bahkan kemudian sengaja merintangi jalan. Sementara lelaki berkepala plontos yang dibentak tampak tersenyum-senyum penuh arti. Tatapan matanya seperti seekor singa melihat mangsa. Buas, seolah hendak menerkam Citrakara. "Gadis cantik berbadan bagus, aku sungguh tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," kata si lelaki berkepala plontos kemudian. Usai berkata begitu, si botak julurkan lidah menyapu bibir bagian bawah. Perlahan ia bawa kudanya agar lebih mendekat pada Citrakara. Yang didekati mendengus, lalu membawa kudanya menghindar. Dari gelagat orang, Citrakara langsung tahu apa yang diinginkan lelaki botak ini darinya. Ia jadi bergidik ngeri. "Jangan sok kenal! Aku tidak pernah bertemu denganmu dan tidak punya urusan apapun, jadi cepatlah minggir! Aku harus segera tiba di Kotaraja!" bentak C
"AKHIRNYA aku bisa mencicipi kenikmatan tubuhmu yang menjadi buah bibir para lelaki. Sungguh beruntung sekali diriku ini!" desis Ganduswa, lalu sambil tertawa senang mendaratkan ciuman buas.Entah sudah berapa kali Ganduswa menciumi pipi, kening, juga pelipis Citrakara. Namun ia masih belum berhasil mencuri ciuman di bibir perempuan cantik itu.Setiap kali Ganduswa berusaha menempelkan bibir tebalnya pada rekahan semerah delima milik Citrakara, perempuan itu dengan gesit memalingkan kepala. Akibatnya ciuman Ganduswa hanya menyentuh pipi atau rahang.Jika tadinya Ganduswa menanggapi hal itu dengan tertawa-tawa saja, lama-lama ia jadi kesal juga. Bibir ranum itu begitu menggoda di matanya. Ingin rasanya ia kecup, lalu dikulum puas-puas. Sayang, keinginan tersebut selalu kandas."Perempuan keparat!" dengus Ganduswa, lalu ... PLAK! Tangan kanannya melepas tamparan keras di pipi Citrakara.Yang ditampar terpekik kesakitan, lalu menatap marah pada Ganduswa yang tengah memelototinya dengan b
"AAAAA!" Citrakara terpekik kaget saat merasakan tubuh Ganduswa tiba-tiba saja menegang. Ketika ia membuka mata, ternyata lelaki bejat tersebut sudah tidak lagi menindihnya di atas. Terdengar suara erangan dari samping. Citrakara cepat palingkan kepala ke arah sana dan sekali lagi dibuat memekik kaget. Rupanya Ganduswa sudah berpindah tempat. Tampak tengah mendesis-desis kesakitan dalam keadaan menekuk badan di atas tanah. Kedua tangannya memegangi selangkangan. "Mau lagi, hah?" tanya satu suara serak, membuat Citrakara mendongak dan menyadari kehadiran sosok ketiga. Seorang lelaki tua tengah berdiri berkacak pinggang di dekat Ganduswa. Wajahnya yang keriput dihias rambut putih panjang menjela bahu. Kumis dan jenggotnya juga berwarna putih keperakan semua. Meski sikapnya tengah mengancam Ganduswa, tetapi mimik lelaki tua itu tampak lucu. Citrakara sulit menebak apakah orang tersebut tengah marah atau justru melawak. Jangan-jangan, orang tua ini temannya lelaki mesum itu? Pura-pu
"ELADALAH! Dia malah kabur," gerutu si lelaki tua, sembari memandangi kepergian Ganduswa.Namun setelahnya lelaki tua itu tidak ambil peduli. Ia memilih berbalik badan, mendekati Citrakara yang duduk berjongkok. Perempuan itu melongo melihat Ganduswa kabur ketakutan."Anak Cantik, kau tidak apa-apa?" tanya si lelaki tua begitu tiba di hadapan Citrakara."O-oh, Kakek...."Citrakara tergeragap, antara kaget dan malu kalau-kalau dadanya yang tak terlindung pakaian dilihat orang. Cepat-cepat ia merapatkan kedua kaki dan tangan yang sedari tadi dipakai menutupi bagian tersebut."A-aku tidak apa-apa, Kek. Lelaki tadi belum sempat berbuat apa-apa padaku," jawab Citrakara setengah berbohong. Ia jelas malu mengakui kalau sudah diciumi Ganduswa dan bahkan pakaiannya dirobek."Terima kasih kau sudah menolongku, Kek," lanjut Citrakara.Si lelaki tua lagi-lagi tertawa mengekeh. Sambil terus tertawa ia meloloskan kain panjang yang sedari tadi tersampir melingkar di bahunya. Diulurkannya benda terse
"KI BEKEL, yang kita tunggu-tunggu sudah datang."Kridapala yang tengah bersandar di batu dengan terkantuk-kantuk, seketika membuka mata saat mendengar bisikan tersebut. Kepalanya sontak menoleh ke samping, di mana seorang lelaki bertelanjang dada tengah membungkuk di dekat telinganya."Siapa maksudmu, Daksa?" tanya Kridapala yang masih belum sepenuhnya sadar. "Ganduswa atau Paladhu yang sudah datang?"Lelaki yang dipanggil Daksa langsung menoleh. "Bukan, Ki Bekel, tapi salah satu orang yang kita pancing dari Kotaraja," jawabnya, masih dengan berbisik.Paras Kridapala berubah seketika. Sebuah seringai senang terbit di wajah lelaki paruh baya itu. "Senopati keparat itukah maksudmu?""Benar sekali, Ki Bekel," sahut Daksa."Bagus!" Kridapala meninju telapak tangannya sendiri, lantas bangkit dari atas batu tempatnya beristirahat. "Sudah sampai mana dia? Seberapa banyak kekuatan pasukan yang dia bawa?""Tadi ketika aku diberi kabar, rombongan mereka baru saja melintasi balai penjagaan terd
SENOPATI Arya Lembana mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sebuah isyarat agar rombongan prajurit berkuda di belakangnya berhenti. Debu seketika mengepul tebal di tempat tersebut. Beberapa depa di hadapan sang senopati, telah menunggu Kridapala yang juga menunggang kuda. Wajah lelaki berusia paruh baya itu mengembangkan satu senyum lebar. "Ah, Gusti Senopati. Sungguh sebuah kehormatan bagiku Gusti mau datang kemari. Aku anggap ini merupakan pertanda jika Gusti bersedia memaafkan diriku," ujar Kridapala menyambut. Pandangan mata Kridapala tak lepas-lepas dari menatap Arya Lembana. Sedangkan yang ditatap terlihat menunjukkan air muka datar, dengan sorot mata penuh selidik. "Aku datang kemari karena mendapat perintah dari Gusti Rakryan Tumenggung," jawab Arya Lembana kemudian. "Jadi, benar rupanya kau telah menemukan Gusti Puteri?" Kridapala tertawa pelan, merasa geli dengan sikap Arya Lembana yang tampak tak sabaran. "Apakah Gusti Senopati mengira aku tengah berdusta?" Kridapala
BELUM lagi gema suitan Kridapala lenyap, ramainya suara berkesiuran sudah terdengar pula di udara. Diikuti oleh belasan anak panah yang melesat dari balik semak-semak di atas lamping batu. Arya Lembana membelalakkan mata. Senopati itu langsung tahu apa yang terjadi. Namun baru saja ia hendak berteriak memberi ingat, jerit pekik para prajurit yang susul menyusul sudah mendahului. Tak kurang dari selusin prajurit Panjalu langsung tewas secara hampir bersamaan. Di tubuh mereka menancap sebatang anak panah yang sepertinya mengandung racun sangat jahat. Terlebih bagian yang diincar si pemanah rahasia merupakan titik-titik paling mematikan. Ada yang mengincar dada, punggung, tenggorokan, juga mata. "Keparat!" maki Arya Lembana sewaktu menyaksikan belasan prajuritnya jatuh bergelimpangan dari atas punggung kuda masing-masing. Gerahamnya bergemeletuk keras. Di lain tempat, Kridapala tertawa gelak-gelak melihat rona kemarahan di wajah Arya Lembana. Setelah puas tertawa, sekali lagi ia meng
USAI berkata demikian, Kridapala mengangkat tangan kanan di udara dan mengayunkannya ke depan. Sebuah isyarat bagi tiga pendekar sewaan di belakangnya untuk maju menyerang Arya Lembana.Tiga pendekar saling pandang sambil menyeringai tipis, lalu melesat ke muka. Dalam satu lompatan saja mereka sudah berdiri sejarak dua depa dari tempat Arya Lembana berdiri."Siapa kalian? Jangan coba-coba ikut campur urusanku!" bentak Arya Lembana dengan garang.Dua pendekar wanita berpakaian serba kuning sontak tertawa mendengar bentakan itu. Sedangkan pendekar lelaki berkulit gelap mengembangkan seringainya jadi lebih lebar."Senopati gagah, kami sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Kami hanya menjalankan tugas. Tidak lebih," sahut salah satu pendekar wanita.Sial dangkalan! Arya Lembana memaki dalam hati menyadari jika tiga pendekar ini pastilah disewa Kridapala. Meski tadi sempat membentak garang, itu sebenarnya ia lakukan untuk menutupi rasa jeri di dalam hati.Sejak mengadu pukulan t
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun