MENJELANG petang, lelaki bercaping tiba di sebuah dawuhan (waduk) di Paradah. Sinar matahari kekuningan dan langit yang dipenuhi awan membayang di permukaan air.Dawuhan itu berbentuk lonjong membujur utara-selatan, disanding sebatang sungai besar dan sederet pebukitan membiru di sisi timur. Sementara di selatan sana Gunung Kampud berdiri gagah.Lelaki bercaping mengendap-endap di balik pepohonan yang tumbuh memenuhi tepian dawuhan di sisi barat. Dari balik caping ia mengamati keadaan di sekeliling dawuhan, tetapi tidak menemukan tanda-tanda yang menarik perhatian."Semoga saja bekel tua itu datang kemari besok. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya sekarang," gumam lelaki tersebut. Gerahamnya tampak mengeras.Ia lantas berkelebat ke arah timur, menyeberangi sungai lebar yang airnya tidak terlalu dalam. Dengan lincah lelaki bercaping meloncat dari satu batu ke batu lain yang mencuat di permukan sungai.Tepat di sebelah sungai itu terdapat deretan pebukitan dipenuhi pepohonan menghija
GELAPNYA malam mulai menyungkupi tlatah Panjalu. Di dataran tinggi seperti Hantang, kabut yang turun sejak menjelang sore sudah membuat suasana remang-remang sedari tadi. Ditambah hawa dingin mencucuk tulang.Di kediaman bibinya, Citrakara tengah menghadap wedang jahe hangat dalam gelas bambu di ruang tengah. Tumanggala duduk di sebelahnya, tampak sibuk mengupas ubi jalar rebus.Ketika kulit tanaman umbi itu berhasil dikelupas, asap mengepul dari permukaannya yang berwarna ungu gelap. Tanpa memedulikan rasa panas, Tumanggala enak saja memasukkan sepotong besar ubi jalar ke dalam mulut."Kau belum bilang pada Bibi, Kakang?" tanya Citrakara yang juga tengah mengunyah ubi jalar.Kalau Tumanggala langsung memegangi ubi yang sedang ia santap dengan tangan, Citrakara makan beralaskan piring tanah liat kecil. Perempuan itu juga menyantap makanannya dengan perlahan-lahan."Belum," jawab Tumanggala yang masih mengunyah."Tunggu apa lagi?" desak Citrakara lagi. "Bukankah lebih cepat akan lebih
SETELAH meredakan tangisnya, Citrakara masuk ke kamar untuk beristirahat. Sesampainya di dalam, ia lihat Tumanggala belum tidur. Prajurit itu tengah duduk di tepi pembaringan, dengan tubuh bersandar kepala ranjang. Begitu mendengar suara pintu terbuka, Tumanggala langsung bangkit dan menghampiri Citrakara. Hal ini membuat Citrakara tercekat. Seketika ia menghentikan langkah, lalu menatap malu-malu pada Tumanggala yang telah berdiri di hadapannya. Duh, jangan-jangan Kakang Tumanggala mendengarkan semua pembicaraanku dengan Bibi tadi? Citrakara jadi menduga-duga sendiri di dalam hati, sembari menggigit bibir. "Bibi sudah tidur?" tanya Tumanggala, sambil mencondongkan badan untuk mendorong pintu kamar yang tak sempat ditutup oleh Citrakara. "S-sepertinya sudah," jawab Citrakara yang tiba-tiba saja jadi gugup. "Tadi Bibi duluan yang masuk kamar." "Kalau begitu, ganti aku yang ingin bicara denganmu," ujar Tumanggala, membuat jantung Citrakara berdegup tak karuan. "B-bicara, Kakang?"
TUMANGGALA bergegas keluar kamar, langsung menuju bagian belakang rumah. Citrakara mengikuti dengan wajah cemas, tetapi hanya berani sampai ambang pintu dapur.Mengandalkan ketajaman mata dan pendengarannya, Tumanggala berjalan dalam gelap. Ia mendekati tempat kudanya ditambatkan dan merasa lega hewan tersebut masih berada pada tempatnya semula.Mengetahui kedatangan Tumanggala, kuda itu mengeluarkan suara-suara resah. Seolah hendak memberi tahu sesuatu yang sayangnya tidak dimengerti oleh Tumanggala."Kau melihat sesuatu? Tenanglah, aku akan mencarinya," ujar Tumanggala, sembari mengelus-elus belakang leher kudanya dan mengamati sekeliling.Tak lama kemudian hewan tersebut kembali tenang. Tumanggala tajamkan pandangan dan pendengarannya untuk menangkap tanda-tanda apapun yang dapat diperoleh.Namun tak terdengar apa-apa selain suara-suara hewan malam. Derik jangkrik, kukuk burung hantu, kepak sayap kelelawar, juga gemericik aliran air di sungai belakang sana yang sayup-sayup sampai.
MENDENGAR seruan orang, dua lelaki bercaping menoleh ke belakang. Namun mereka malah mempercepat laju lari ketika tahu Tumanggala tengah mengejar."Bedebah!" maki Tumanggala geram.Sang prajurit mengerahkan kemampuan lari cepatnya sampai mentok. Satu kepandaian yang ia pelajari dari petapa tua di Teluk Secang. Kemudian di satu tempat tubuhnya melenting tinggi ke udara.Setelah berputar beberapa kali di udara, Tumanggala mendaratkan sepasang kakinya tepat di hadapan dua orang yang dikejar. Hal ini membuat kedua orang tersebut kaget bukan baik dan mau tak mau berhenti berlari."Kisanak berdua, mengapa kalian lari menghindariku?" tanya Tumanggala.Sembari bertanya begitu, Tumanggala pandangi dua orang di hadapannya lekat-lekat. Namun sulit baginya mengenali wajah mereka yang lebih separuhnya tertutup caping lebar.Sementara yang ditanyai saling berpandangan. Tak seorang pun dari mereka yang mau menjawab.Tumanggala manggut-manggut, sembari menyeringai tipis. Bertambah yakinlah ia jika ke
MELIHAT temannya roboh bersimbah darah, lelaki bercaping satunya jadi kecut. Namun ia tutupi rasa takut dengan menggeram marah.Dengan wajah mengelam merah, lelaki tersebut menghunus golok di tangannya ke depan. Pandangan matanya yang tajam berkilat tertuju tepat-tepat pada Tumanggala."Prajurit keparat! Kau harus mati di tanganku!" geram lelaki bercaping.Bentakan itu membuat Tumanggala kaget. Bagaimana orang di hadapannya ini tahu kalau dirinya seorang prajurit, sedangkan mereka baru pertama kali bertemu?Tidak salah lagi. Berarti benar mereka berdua tadi datang untuk memata-matai. Bisa jadi ini semacam prajurit perintis yang biasa dikirim sebelum sebuah penyergapan dilakukan.Tugas para prajurit perintis adalah mengetahui seluk-beluk tempat dan keadaan di mana orang yang hendak disergap berada. Itu artinya keberadaan Tumanggala di Hantang inisudah diketahui oleh pihak Kerajaan."Hiaaatt!"Belum selesai Tumanggala menduga-duga dalam hati, lelaki bercaping di hadapannya sudah melesat
CITRAKARA tercekat mendengar ucapan Tumanggala, juga melihat paras sang prajurit yang begitu tegang. Ia jadi bertanya-tanya apa sebenarnya yang tengah menimpa pujaan hatinya tersebut."Ada apa, Kakang? Apa yang terjadi?" tanya Citrakara yang jadi ikut cemas.Tumanggala tarik lengan perempuan itu, lalu membawanya menjauh dari sungai. Ia khawatir bakal ada serangan susulan dan membuat Citrakara celaka."Aku baru saja bertemu dua orang asing di seberang sana. Gerak-gerik mereka sangat mencurigakan. Agaknya mereka tengah memata-mataiku," jawab Tumanggala setelah mereka agak jauh.Paras Citrakara sontak berubah. Ada rona ketegangan yang terpancar jelas di sana. Kecemasan di dalam diri perempuan itu semakin bertambah-tambah."Kau yakin tidak salah lihat, Kang? Mungkin saja mereka penduduk sekitar sini yang sedang mencari ikan di sungai," ujar Citrakara, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Tumanggala langsung menggeleng."Aku dapat membedakan mana penduduk biasa, mana prajurit kerajaan dan
BEGITU Citrakara melepaskan pelukan, Tumanggala langsung melompat naik ke atas pelana kuda. Diikuti pandangan sendu perempuan itu, sang prajurit menggebah hewan tunggangannya. Kuda yang kaget meringkik keras, sembari mengangkat kedua kaki depan. Sekali lagi Tumanggala menggebah, hewan tersebut melesat pergi meninggalkan halaman belakang rumah bibi Citrakara. Debu mengepul tinggi ke udara, membuntuti sepanjang jalan yang dilalui Tumanggala. Sementara matahari pagi semakin merangkak naik. Sinarnya yang semula lembut mulai menghangat. Kabut dan embun perlahan sirna. "Jika benar dua orang tadi adalah prajurit perintis, berarti sudah ada pasukan dari Daha yang bersiaga di dekat-dekat sini," gumam Tumanggala, sembari matanya awas mengamati jalan di depan. "Kalau begitu, sebaiknya aku menghindari jalan-jalan utama agar jangan sampai bertemu dengan mereka selepas dari sini," lanjut Tumanggala. Andai dugaan Tumanggala benar, ia baru akan mendapat ancaman begitu meninggalkan Hantang. Segena
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun