BEGITU Citrakara melepaskan pelukan, Tumanggala langsung melompat naik ke atas pelana kuda. Diikuti pandangan sendu perempuan itu, sang prajurit menggebah hewan tunggangannya. Kuda yang kaget meringkik keras, sembari mengangkat kedua kaki depan. Sekali lagi Tumanggala menggebah, hewan tersebut melesat pergi meninggalkan halaman belakang rumah bibi Citrakara. Debu mengepul tinggi ke udara, membuntuti sepanjang jalan yang dilalui Tumanggala. Sementara matahari pagi semakin merangkak naik. Sinarnya yang semula lembut mulai menghangat. Kabut dan embun perlahan sirna. "Jika benar dua orang tadi adalah prajurit perintis, berarti sudah ada pasukan dari Daha yang bersiaga di dekat-dekat sini," gumam Tumanggala, sembari matanya awas mengamati jalan di depan. "Kalau begitu, sebaiknya aku menghindari jalan-jalan utama agar jangan sampai bertemu dengan mereka selepas dari sini," lanjut Tumanggala. Andai dugaan Tumanggala benar, ia baru akan mendapat ancaman begitu meninggalkan Hantang. Segena
SATU pukulan dan satu tendangan dengan cepat mengarah ke tubuh Tumanggala. Deru angin kencang mengiringi datangnya dua serangan tersebut. Didahului satu geraman keras, Tumanggala pasang kuda-kuda. Kedua tangannya ditarik ke belakang, sementara telapak yang terkepal erat disiagakan di pinggang. Sejajar dengan perut. Sambil menunggu datangnya serangan, sang wira tamtama alirkan tenaga dalamnya pada kedua belah tangan. Ia memutuskan untuk melakukan tangkisan, sekaligus mencari tahu seberapa tinggi kemampuan kedua lawan. Begitu pukulan dan tendangan yang dilepas lawan-lawannya tiba, Tumanggala membentak garang sambil gerakkan kedua tangan secara berbarengan. Satu gerakan cepat yang membuat kaget Sepasang Rase Merah. Buk! Buk! Terdengar suara benturan kerasa manakala kedua lengan Tumanggala beradu dengan tangan dan kaki lawan-lawannya. Wira tamtama Panjalu itu terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya tampak mengernyit kaget. Rupanya kedua lawan juga mengerahkan tenaga da
PARA prajurit magalah yang terjatuh duduk tak sempat lagi menghindar. Tanpa ampun tubuh mereka jadi sasaran empuk pukulan jarak jauh yang dilepas Rase Merah Kedua. Jerit kesakitan setinggi langit keluar dari mulut mereka. Tubuh para prajurit yang menjadi korban terpental jauh ke belakang, lalu berjatuhan di balik semak belukar lebat di tepi jalan. Baik Surama maupun Paladhu sama terbelalak kaget melihat kejadian tersebut. Namun mereka tak ambil peduli, sebab para prajurit itu hanyalah alat bagi mereka untuk menaklukkan Tumanggala. "Dasar bodoh!" maki Surama, tetapi sambil tertawa kecil. Sementara Tumanggala memanfaatkan keadaan tersebut dengan baik. Ia menyelinap di antara prajurit yang berlarian menyelamatkan diri. Tangannya bergerak cepat merebut sebatang tombak dari tangan salah satu prajurit. Setelah itu Tumanggala melentingkan tubuh tinggi-tinggi ke udara, keluar dari kerumunan. Di kedua tangannya kini tergenggam pedang dan tombak. Setelah bersalto beberapa kali, ia mendarat
TAK dapat dihindari lagi, jaring besar lagi berat yang dilepas entah siapa itu memerangkap tubuh Tumanggala. Lalu ada yang menarik dari satu arah, membuat jaring melilit sekujur tubuh sang wira tamtama dengan kencang. "Sial!" Tumanggala merutuk, setengah mendesis. Seluruh tubuh Tumanggala dari ujung kepala hingga ke kaki benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekadar memutar pedang yang berada dalam genggaman tangan pun tidak bisa. Berulang kali Tumanggala mencoba melepaskan diri, dengan cara menggoyang-goyangkan tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat saja. Bertepatan dengan itu satu sosok mendekati Tumanggala, sembari tertawa terbahak-bahak. Begitu orang yang baru datang berhenti di depannnya, sang wira tamtama jadi kaget luar biasa. "Bekel Kridapala?" desis Tumanggala. Mendengar namanya disebut, orang yang memang adalah Kridapala hentikan tawanya dan memandangi Tumanggala lekat-lekat. Surama dan Paladhu ikut berdiri di sebelah bekel
TUMANGGALA pejamkan mata. Ia tak mungkin menghindar karena seluruh tubuhnya terikat erat. Wira tamtama itu hanya bisa berkomat-kamit, memanjatkan permohonan pada Sang Hyang Tunggal. "Baiklah, begini rupanya akhir perjalananku di Hantang," desah Tumanggala. Lalu lagi-lagi bayangan Citrakara memenuhi kepala Tumanggala. Namun tidak seperti tadi yang tersenyum, kali ini perempuan itu tampak menangis tersedu-sedu. Sementara ketegangan menyelimuti orang-orang yang menyaksikan adegan tersebut. Semakin dekat ujung pedang Paladhu ke kulit paha Tumanggala, bertambah pula rasa tegang di benak semua orang. Namun tinggal sejari lagi ujung pedang menembus kaki Tumanggala, tiba-tiba saja Paladhu memekik keras. Pedang di tangannya seolah terhantam batu besar, lalu terpental lepas dari genggaman. Traaak! Klontang! Dengan wajah pucat berkeringat, Paladhu terjajar mundur beberapa langkah. Sepanjang tangannya seketika bergetar hebat, sekaligus terasa ngilu bukan alang kepalang. Kridapala dan Suram
PEDANG di tangan Kridapala terayun deras, menyilang ke dua sasaran berbeda pada tubuh si lelaki tua. Suara mendesing nyaring menyertai gerakan senjata tersebut. Yang diserang tampak tenang-tenang saja. Malah enak saja memasukkan jari kelingking ke lubang hidung. Kemudian mencongkel-congkel sesuatu di dalam sana dengan mata merem-melek. "Keparat!" Kemarahan Kridapala semakin menjadi-jadi. Sikap yang ditunjukkan si lelaki tua jelas sekali sangat meremehkan bagi Kridapala. Namun apa yang terjadi kemudian mengagetkan semua yang ada di sana, termasuk Kridapala sendiri. Trang! Trang! Tinggal serambut lagi mata pedang Kridapala mengenai sasaran, kedua tangan si lelaki tua bergerak cepat. Sangat cepat sekali, sampai-sampai gerakan tersebut tak dapat diikuti pandangan mata siapapun. Tahu-tahu saja sudah terdengar suara berdentrangan. Kridapala merasakan pedangnya menghantam permukaan keras, serupa batu karang. Sekujur tangan bekel itu sampai bergeta hebat dibuatnya. Bukan itu saja. Bahka
TANPA ampun tinju keriput si lelaki tua mendarat telak di dada Rase Merah Pertama. Membuat lelaki berpakaian merah itu mengeluh tertahan. Ulu hatinya seketika terasa sesak.Saking kerasnya pukulan lelaki tua tadi, tubuh Rase Merah Pertama sampai terjajar ke belakang. Andai saja sebelah tangannya tidak sedang dicengkeram lawan, tentulah tubuhnya sudah terlempar jauh.Belum lagi Rase Merah Pertama tarik napas untuk meredakan sesak di dada, tangan si lelaki tua kembali bergerak. Kali ini cengkeraman jari-jari kurusnya diketatkan, menekan kuat-kuat kulit dan daging yang membungkus tulang siku."Aaaaaa!"Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Rase Merah Pertama. Sepasang mata pendekar itu membeliak lebar, seolah bola putih miliknya hendak mencolok keluar dari rongga. Rasa sakit di sikunya bukan alang kepalang.Ketika pandangannya terarah pada siku, paras Rase Merah Pertama sontak berubah tegang. Napasnya tertahan, sedangkan jantungnya berdegup jauh lebih kencang.Entah sejak kapan jema
NAMUN Tumanggala masih beruntung. Batang pohon yang patah itu tidak jatuh ke arahnya, melainkan sisi sebelah sana. Suara berdebam keras terdengar manakala patahan tersebut menghantam permukaan tanah. "Oh, untung saja ..." Tumanggala mendesah lega. Sementara itu si lelaki tua putar tubuhnya di udara. Berjungkir balik beberapa kali, untuk kemudian mendarat tepat di belakang punggung Kridapala dan Paladhu. Dua orang tersebut baru saja terkaget-kaget karena serangan mereka hanya mengenai angin kosong. Begitu mengetahui lawan sudah berpindah ke belakang, keduanya sontak berbalik badan. Sungguh satu kesalahan. Sebab tepat pada saat itulah si lelaki tua ulurkan tangannya kanan kiri sekaligus. Mengirim dua pukulan keras ke arah wajah dua anggota tata keprajuritan Panjalu tersebut. "Kalian makan tanganku ini!" seru si petapa nyentrik dari Teluk Secang. Kridapala dan Paladhu lagi-lagi terkaget-kaget. Mereka tak sempat menghindar, sehingga tanpa ampun dua jotosan tersebut mendarat di wajah
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun