KITA mundur sebentar pada kedatangan sepasukan prajurit Panjalu dari Kotaraja....Pasukan tersebut dipimpin langsung oleh Rakryan Mantri Tumenggung. Turut membantu memimpin adalah Senopati Arya Mandura dan beberapa bekel dan lurah prajurit.Sesuai yang diminta Rakryan Tumenggung, pasukan yang disiapkan Arya Mandura berkekuatan seratus prajurit. Campuran dari prajurit magalah dan prajurit pemanah. Dengan demikian ada empat bekel dan delapan lurah prajurit yang turut dibawa serta.Pasukan tersebut meninggalkan Kotaraja sebelum matahari muncul di kaki langit timur. Karena terus bergerak tanpa henti, sebelum tengah hari mereka sudah tiba di tempat sisa pasukan Arya Lembana ditinggalkan.Ketika Rakryan Tumenggung dan rombongan tiba di sana, sisa pasukan Arya Lembana sedang bertempur dengan para prajurit bawaan Kridapala yang dipimpin oleh Daksa. Terang saja kejadian itu membuat para petinggi dari Kotaraja terheran-heran."Hentikan!" seru Rakryan Tumenggung dengan suara menggelegar.Pertemp
DENGAN dipandu seorang prajurit, pasukan Rakryan Tumenggung bergerak ke tempat di mana Kridapala berada. Tanpa mereka ketahui, Daksa sudah terlebih dahulu memberi kabar pada dua komplotannya.Tidak semua pasukan bergerak. Rakryan Tumenggung meninggalkan 20 prajurit bersama seorang bekel dan lurah prajurit di tempat tadi. Mereka menjaga belasan anak buah Kridapala yang diikat.Pasukan berderap menyusuri jalan setapak menuju air terjun. Ketika mendekati jembatan kayu, tampak tiga orang berlari mendekati titian tersebut dan mendekam di salah satu tiang pancang."Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan?" tanya Rakryan Tumenggung terheran-heran.Meski tidak jelas pertanyaan itu ditujukan pada siapa, tetapi Arya Mandura tahu ia yang diharapkan memberi jawaban. Sayangnya, senopati tersebut sama-sama tidak tahu."Sepertinya ..." Arya Mandura yang baru akan menjawab langsung menangkap gelagat tiga orang itu. "Mereka hendak meruntuhkan jembatan, Gusti.""Keparat!" Geraham Rakryan Tumenggung berge
"CELAKA! Mengapa tiba-tiba banyak prajurit di tempat ini?" seru salah satu pendekar wanita berpakaian kuning dengan paras berubah. Ketika itu si pendekar wanita bersama temannya tengah mengeroyok Senopati Arya Lembana. Pendekar lelaki berkulit gelap juga turut bersama mereka. Seruan tadi membuat dua pendekar lainnya memecah perhatian. Seketika mereka berpaling ke arah terdengarnya suara-suara ramai. Beberapa prajurit tampak berdatangan ke arah mereka, lalu sebagian lagi masih berusaha menyeberangi jembatan kayu. Sementara yang dikeroyok sebetulnya sudah kehabisan tenaga. Arya Lembana mati-matian bertahan karena bertekad untuk setidaknya menghabisi salah satu lawan sebelum mati. Hitung-hitung sebagai balasan atas kematian dua bekel anak buahnya. Namun nasib baik menaungi Arya Lembana. Di saat tengah terdesak hebat begitu, datang Arya Mandura bersama sepasukan prajurit. Melihat rekannya dikeroyok, senopati yang baru saja tiba dari Kotaraja itu langsung masuk ke gelanggang pertempuran
"INI gila! Aku tidak mungkin melawan mereka semua!" geram pendekar berkulit gelap ketika mengetahui dirinya telah terkurung rapat.Hal serupa terjadi pada dua pendekar wanita. Paras keduanya juga seketika berubah pucat. Mereka sama sekali tidak menyangka bakal menghadapi keadaan seperti ini. Benar-benar di luar perkiraan.Sewaktu datang bersama Sudawarman dan Daksa kemarin, ketiga pendekar itu sudah menyimak rencana yang dibeberkan Kridapala. Mereka ingat sekali, yang akan dihadapi hanyalah seorang senopati dengan paling banyak dua bekel.Perhitungan Kridapala memang tepat. Arya Lembana datang membawa sepasukan kecil dibantu dua bekel dan empat lurah prajurit. Para petinggi dihadapi pendekar sewaan, sedangkan pasukannya menjadi bagian Daksa bersama prajurit bawaan Kridapala.Tugas tersebut sudah mendekati keberhasilan. Meski sempat melawan mati-matian, dua bekel pendamping Arya Lembana akhirnya meregang nyawa. Sedangkan sang senopati sudah sangat terdesak.Namun kedatangan Rakryan Man
"SIAL! Kenapa tiba-tiba prajurit tengik itu bisa muncul di sini?" gerendeng Kridapala ketika pandangan matanya tertuju ke arah yang ditunjuk Sudawarman.Di depan sana, kira-kira berjarak tiga-empat depa dari sampan yang mereka berdua tumpangi, tampak sesosok lelaki muda berdiri berkacak pinggang di atas sebentuk rakit.Satu seringai terkembang di wajah lelaki tersebut. Sedangkan sorot matanya menatap tak berkesip pada Kridapala. Dari gelagatnya, jelas sekali lelaki muda tersebut memang sengaja mengadang.Dada lelaki tersebut terbuka lebar tanpa pakaian. Menampakkan satu bekas luka memanjang, dari dekat bahu kanan hingga ke pinggang sebelah kiri. Tidak salah lagi, ia adalah Tumanggala."Jangan-jangan selama ini dia memang selalu membuntuti kita, Ki Bekel," ujar Sudawarman, coba menebak-nebak."Mungkin lebih tepatnya bukan membuntuti, tetapi melacak keberadaan kita," sergah Kridapala yang tidak setuju. "Kebetulan saja dia baru menemukan kita di sini, lalu cepat-cepat mengadang."Sudawar
"KEPARAT! Jangan kira semudah itu merebutnya dariku!" geram Kridapala, sembari cepat-cepat bangkit.Sudawarman yang tadinya tergencet tubuh Kridapala jadi bernapas lega, meski punggung dan sebagian lehernya terasa sakit. Tadi ia sampai membentur buritan perahu dengan keras saat tertimpa tubuh Kridapala.Sementara Kridapala sudah melenting ke bagian haluan. Sambil menguasai diri di tengah sampan yang tengah bergoyang-goyang tak karuan, ia sambil menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang.Begitu kemudian berhasil berdiri tegak, Kridapala sudah mencabut pedangnya dari warangka.Sret!"Jangan coba-coba membawanya lari dariku!" desis Kridapala, sembari bersiap-siap melompat dari haluan sampan.Tumanggala sendiri tidak mau Kridapala mendatangi rakitnya. Ia tak mau terjadi pertempuran di tempat mana Dyah Wedasri berada. Maka setelah meletakkan sang puteri dengan hati-hati, Tumanggala mendahului bergerak.Sekali kakinya mengentak lantai gedebog pisang, tubuh Tumanggala sudah melen
TAK ada pedang, maka Kridapala kini musti menyerang dengan tangan kosong. Dengan diri sepenuhnya dikuasai amarah membara, bekas bekel Panjalu itu mengerahkan tenaga dalam ketika mengirim pukulan.Suara menderu dahsyat mengiringi datangnya serangan Kridapala. Kepalan tangan lelaki paruh baya itu seolah berubah menjadi sebongkah batu besar yang gerakannya menimbulkan gemuruh ribut."Remuk dadamu!" bentak Kridapala manakala tinjunya tinggal sejengkal lagi mengenai sasaran.Tumanggala bukannya sengaja berdiam diri dan rela dadanya kena hantam. Ia tadi tengah mengamati rakit gedebog pisang. Entah sejak kapan benda tersebut sudah berada agak jauh dari sampan.Dyah Wedasri masih berada di atas rakit sederhana itu. Tampak tengah duduk dengan kedua kaki terlipat di depan tubuh. Sementara kedua belah telapak tangan bersiap menutupi wajah.Beruntung saat itu mereka berada di satu bagian sungai yang lurus lagi dalam airnya. Tak ada batu-batu besar yang bertonjolan pada permukaan, sehingga Tumangg
"AH, Tumanggala, kau benar-benar berotak encer seperti ibumu ..." Kridapala tertawa mengekeh, tetapi baru sebentar sudah terputus oleh batuk. Lelaki paruh baya itu memegangi dadanya yang terasa sesak. Agaknya hunjaman tungkak Tumanggala tadi membuatnya terluka dalam. Namun rasa tak nyaman itu ia abaikan demi menyingkap satu rahasia. Kridapala tahu dirinya tak dapat berpura-pura lebih lama lagi. Ia memutuskan sekaranglah saatnya Tumanggala diberi tahu mengenai alasan di balik perbuatannya terhadap wira tamtama tersebut. Sementara Tumanggala sendiri dibuat mengernyitkan kening oleh ucapan Kridapala barusan. Apa katanya tadi? Aku tidak salah dengar, bukan? "Ibuku?" ulangnya dengan bingung. "Kau mengenal ibuku?" Kembali Kridapala tertawa mengekeh, tetapi tanpa suara dan pendek saja. Lalu masih sambil menyeringai tipis ia menatap Tumanggala yang tengah menatapnya dengan terheran-heran. "Aku lebih dari--" "Tunggu!" Tumanggala cepat menukas. Ia ingat pertanyaannya tadi belum dijawab. "