"KEPARAT! Jangan sentuh Gusti Puteri!" seru Tumanggala begitu mengalihkan pandangannya ke rakit batang pisang. Namun apa yang terjadi di atas rakit sangat cepat sekali. Tumanggala hanya sempat melihat seseorang mendarat ringan di sisi Dyah Wedasri Kusumabuwana. Wajah orang itu tertutup secarik cadar hitam. Hanya sekedipan mata berselang, orang bercadar itu menyambar pinggang sang puteri keraton. Lantas enak saja memanggulnya ke atas bahu, seperti kuli pasar mengangkut karung beras saja. Selanjutnya yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan orang itu meninggalkan rakit. Diiringi jerit ketakutan Dyah Wedasri yang bergema di tebing batu sepanjang tepian sungai. "Sial!" maki Tumanggala geram. "Jangan lari!" Sang wira tamtama bergerak cepat, langsung melenting dari haluan sampan menuju rakit. Ujung kakinya hanya menjadikan lantai rakit sebagai pijakan, sebelum kemudian memburu ke arah kepergian orang. Kejar-mengejar segera saja terjadi. Orang yang menyambar Dyah Wedasri melompat ke ar
KEJAR-mengejar di sela-sela semak belukar tak berlangsung lama, kurang dari sepeminuman teh. Sebelum sempat Tumanggala memperpendek jarak dengan buruannya, orang yang dikejar justru mendadak menghentikan lari. Tentu saja orang itu tidak sengaja berniat menunggu Tumanggala. Ia terpaksa berhenti karena tak bisa terus berlari. Di hadapannya terbentang satu jurang dalam yang tidak mungkin dilompati. Di atas panggulan, Dyah Wedasri sudah berteriak keras dengan paras sepucat mayat. Ia tadi merasa penasaran kenapa orang asing yang menggendongnya tiba-tiba berhenti. Saat itulah ia melihat jurang. "Jagad dewa bhatara!" desis Dyah Wedasri dengan ketakutan. Kalau saja orang yang memanggulnya tidak cepat mengerem laju lari, pastilah mereka berdua sudah terjun ke bawah sana. Hanya membayangkannya saja sudah membuat Dyah Wedasri merasa ngilu. Sementara orang bercadar hitam menggeram kesal. "Sialan betul!" desisnya, dengan pelipis tampak bergerak-gerak. Sepasang mata orang bercadar itu menyapu
"BEKEL keparat!" maki Triguna, tampak sangat marah begitu melihat siapa yang berkata tadi. "Aku pikir kau sudah modar dihajar Tumanggala tadi!"Sambil membentak begitu, geraham Triguna yang kelam membesi tampak bergerak-gerak. Terdengar pula suara bergemeletuk keras, pertanda giginya beradu menahan amarah.Sedangkan yang dipanggil 'bekel keparat' justru menyeringai lebar. Meski setelah itu ia meringis dan tangannya cepat meraba bagian pangkal leher."Ah, ternyata kau pun belum modar setelah aku hajar di gua kemarin, Triguna," balas lelaki paruh baya itu dengan nada sinis."Keparat rendah!" geram Triguna lagi. "Kau sejenis binatang hina yang tak tahu balas budi, Kridapala. Aku bersumpah bakal menguliti sekujur tubuhmu di sini!"Orang yang barusan datang memang Kridapala. Lelaki paruh baya itu memaksakan diri mengikuti arah lari Tumanggala yang mengejar Triguna. Ia beruntung dua orang yang dibuntuti berhenti berlari karena terhalang jurang.Sambil melipat kedua tangannya di pinggang, Kr
"BERHENTI!" Rakryan Tumenggung sontak menghentikan langkah. Sebelah tangannya terangkat ke udara, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.Seluruh anggota pasukan ikut menghentikan langkah dan seketika diam membeku. Para prajurit paling depan yang bertugas membabati sesemakan dan dedaunan juga langsung berhenti menyabetkan senjata di tangan mereka.Semua kepala menoleh ke arah Rakryan Tumenggung. Sang panglima terlihat tegang."Kalian juga mendengar suara jeritan itu?" tanyanya kemudian.Semua anggota pasukan lantas menajamkan pendengaran, dengan kepala mendongak miring ke arah mana sang pemimpin menghadap. Mereka menduga dari arah sanalah asal suara yang ditanyakan tadi.Setelah memusatkan perhatian, mereka memang mendengar gema jeritan di kejauhan. Lamat-lamat saja, nyaris tenggelam ditindih desau angin dan suara gemerisik dedaunan.Kembali semua orang yang ada di tempat itu saling berpandangan dengan paras menegang."Itu suara jeritan seorang perempuan," ujar bekel yang berdiri
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski