“Aku akan tetap begini meski kau bukan Ibundaku!” tandas Aruna. Pemuda itu sudah tak tahan lagi untuk membuka percakapan dengan kata-kata manis dan penuh rasa hormat seperti biasanya.“Oh, anak Ibu sudah banyak berubah rupanya! Siapa yang mengajarimu bertindak demikian pada Ibunda? Apa Legawa?” cecar Jenar namun masih dengan sikap dingin.“Ibunda lah yang berubah,” ucap Aruna lirih. Kini ia beranikan diri untuk menatap mata ibundanya lekat-lekat.“Ibunda? Berubah?”“Ibunda tak lagi aku kenal. Tiga tahun ini benar-benar membentuk Ibunda menjadi pembunuh berdarah dingin!” tandas Aruna mulai dihinggapi emosi.Jenar bangkit dari tempat duduknya. Ia berusaha untuk tenang namun mau tak mau emosinya keluar. Tampak dari dua tinjunya yang mengepal. Bahunya naik turun dengan cepat, pertanda napasnya telah dipenuhi amarah.“Lantas apa sebutannya untukmu yang membunuh Kertajaya dengan keji, hah?” hardik Jenar. Suaranya cukup keras hingga memenuhi seluruh ruangan. Bahkan mungkin saja terdengar hin
“Oh, jadi kini Raja kalian ingin menahanku?” seru Aruna sembari terus waspada. Sampai detik ini ia belum memasang kuda-kuda. Reaksi dari keenam pengawal raja berikutnya akan bertindak sebagai pemantik.“Maaf, Gusti Pangeran. Mohon untuk kembali ke dalam! Sungguh kami tak ingin melukai Gusti,” ucap Pitaka seolah pemuda yang ia panggil pangeran adalah orang lemah yang perlawanannya tak berarti.“Tutup mulutmu!”Amarah Aruna sudah tiba pada batasnya. Teriakannya seraya mengacungkan ujung toya dianggap sebagai pertanda, bahwa pertarungan akan pecah tak lama lagi. Senggurat merah dan jingga tiba-tiba muncul entah dari mana. Otot-otot di lengan dan kaki pemuda itu kini sudah dibaluri api.Keenam Pengawal Raja segera memasang kuda-kuda. Satu persatu mereka mencabut dan menghunuskan senjata. Pendekar setangguh apa pun akan berpikir beberapa kali sebelum melawan putra Ksatria Cundhamani yang tersohor. Meski beranggapan Aruna tak akan lebih hebat dari ayahandanya, tetap saja kekuatan api yang d
“Gah!”Aruna kembali memuntahkan darah segar. Kali ini lebih banyak dari yang pertama tadi. Darah itu bahkan sudah membasahi pakaian kebesaran dan berbagai perhiasan Pangeran-nya. Tubuhnya ditopang oleh Legawa, jika tidak ia tak akan sampai di beranda rumah gurunya itu.“Bertahan lah, Aruna! Para tabib sedang menuju kemari,” ucap Legawa dilanda kepanikan.“T-tak perlu, Guru. Aku bisa menanganinya sendiri,” ucap Aruna lirih.Seketika pemuda itu menjadi tenang. Ia duduk bersila tanpa perlu bantuan Legawa untuk menopang tubuhnya lagi. Aruna seperti tak mendapat luka parah buah anak panah kayu sarayu yang menembus dadanya. Putra Arya itu sepenuhnya dalam kendali Ki Daksa.Legawa mundur memberikan jarak. Meski tak mengerti bahwa tubuh muridnya dikendalikan sesuatu, pria paruh baya itu sudah mencium hal tak biasa dari suara Aruna yang terdengar berbeda. Legawa mengangguk-angguk menyadari sesuatu yang umum terjadi pada seorang sakti.“Memang seperti ini takdir tercipta. Tuan Sanggageni denga
Arya membuang pandangannya ke luar. Di hadapannya sang putra baru saja menceritakan peristiwa di istana. Ada amarah namun ada pula keresahan di mata lelaki 37 tahun itu. Bagaimana pun Jenar masih istrinya dan Astagina adalah warisan kakeknya. Ia tak terima bila kerajaan itu menjadi berantakan karena ulah istrinya.“Kita harus mencegah ibundamu menyerang Prastawarna, Aruna!” lirih Arya dengan sorot mata tajam. Ada tekad yang tak perlu diungkap namun Aruna sudah memahami.“Apa kau yakin, Ayahanda?” tanya Aruna ragu. Pemuda itu kini lebih berhati-hati bila ingin berhadapan dengan ibundanya.“Serangan besok dipimpin Senopati Jatiwungu, bukan?” tanya Arya meminta konfirmasi.“Ya! Mereka berencana mengepung Prastawarna dari empat sisi mata angin. Masing-masing berkekuatan 500 orang,” terang Aruna.“500 orang ya....” Arya mengusap janggutnya beberapa kali. “Kita hanya harus mencegah serangan itu. Jangan sampai ada korban. Baik dari Prastawarna atau pun Astagina.”“Apa kau punya rencana, Ayah
Seluruh mata kini tertuju pada ribuan anak panah jingga di langit Prastawarna. Semuanya menukik dengan cepat dan menyebar ke semua penjuru mata angin. Senopati Jatiwungu yang baru saja hendak memberikan komando penyerangan, segera menghentikan niatnya. Ada hal indah dan luar biasa yang mungkin hanya sekali seumur hidup ditampakkan di depan mata.Namun berbeda bagi Aruna. Tak ada waktu untuknya menikmati keindahan Sasra Sayaka-Cundhamani. Ia sibuk memindahkan orang-orang yang berada pada jalur lesatan anak-anak panah jingga itu menggunakan Lembat Brabat andalannya. Misinya hanya satu, jangan sampai ada jatuh korban.Anak-anak panah jingga menghunjam tanah nyaris bersamaan. Titik jatuhnya adalah sekira sepuluh tombak dari pagar dinding istana Prastawarna. Istana kecil itu kini sudah dikelilingi api Cundhamani. Tak ada yang bisa masuk atau keluar paling tidak sampai hari ini berakhir atau rombongan yang tadi keluar istana kembali.“Aku tak percaya kau berhasil mengeluarkan lagi Sasra Say
Pasca munculnya Sasra Sayaka-Cundhamani di Prastawarna, orang-orang mulai kembali menyadari bahwa Ksatria Cundhamani itu masih hidup dan akan terus menyeimbangkan kehidupan. Hal yang membuat Astagina dilanda euforia meski rajanya sendiri terus merasa resah. Beruntung di Girijajar tak ada yang mengetahui bahwa Arya putra Gantari-lah Ksatria itu.Di Dipa Kencana, Rara Anjani begitu bahagia mendengar berita kemunculan Seribu Panah Api itu. Ia pun mengirim orangnya ke Prastawarna demi menemui suaminya, atau pun hanya mendapat informasi tentang Arya. Jika Arya bisa dibujuk untuk tinggal di Dipa Kencana, maka ia akan lebih percaya diri terhadap serangan yang mungkin dilakukan Astagina pasca memerdekakan diri.“Ibunda, apa benar Ayahanda sudah ditemukan?” tanya Rara Sati suatu pagi. Meski sudah hilang lebih dari tiga tahun, Dipa Kencana sama sekali tak menganggap Arya mati.“Ibu masih menunggu kabar utusan dari Prastawarna, Putriku. Namun yang pasti dengan kemunculan Sasra Sayaka-Cundhamani,
“Mereka, pengawal ibundamu, Aruna?” tanya Arya begitu tenang. Ia pernah dalam kondisi lebih tak menguntungkan. Melawan enam pendekar bersama sang putra, sepertinya bukan masalah.“Ya, Ayahanda. Perempuan itu yang memanahku dengan anak panah kayu sarayu,” adu Aruna seraya menunjuk Pitaka yang berdiri paling belakang. Tetap ia kenali meski menutup wajah karena posturnya paling berbeda.“Tentu saja ibundamu tahu kelemahan kita,” bisik Arya.Keenam pengawal raja Astagina itu belum juga menyerang. Entah apa yang mereka lakukan dengan terus memasang kuda-kuda. Padahal Arya dan Aruna sama sekali tak terlihat ingin menyerang. Keduanya tampak santai dan tenang. Bahkan Arya masih menghamparkan kain dan menyembunyikan kedua tangan demi menahan dingin.“Gusti Pangeran, kami punya tawaran untukmu!” seru Pitaka dari belakang.“Aku tak peduli apa kah itu tawaran kalian atau dari ibundaku!” sahut Aruna ketus. “Lagi pula, maju lah, Pitaka! Kau terlalu jauh untuk berbincang!” ledeknya.Arya tersenyum s
Api sudah menjalari tubuh Aruna. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan amarah. Apa lagi ayahandanya terluka karena ia terlalu ceroboh dalam menggunakan serangan kombinasi Lembat Brabat. Tubuh Arya ia angkat dan rebahkan di pangkuannya.“Tidak, Aruna. Percuma!” lirih Arya menyeringai menahan sakit di pinggangnya.Kata-kata Legawa kembali terngiang di telinga Putra Mahkota Astagina itu. Berpikir dan bertindak seperti seorang pendekar. Sudah Arya contohkan langsung tadi padanya. Menghadapi enam orang pengawal, ayahandanya lebih memilih bertarung tanpa kekuatan api. Meski akhirnya kekuatan itu ia gunakan demi melindungi putranya.“Aku mengerti, Ayahanda!” bisik Aruna dan tiba-tiba tubuh mereka berdua menghilang.“Kemana mereka pergi?” tanya seorang pengawal sambil memegangi kakinya yang terhantam toya Aruna tadi. Tiga pengawal sudah dilumpuhkan. Tersisa tiga orang termasuk Pitaka.“Perempuan licik itu hanya membekali kita dengan kayu sarayu. Kita tidak disiapkan untuk menghadapi Lembat Brabat
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar