“Gah!”Aruna kembali memuntahkan darah segar. Kali ini lebih banyak dari yang pertama tadi. Darah itu bahkan sudah membasahi pakaian kebesaran dan berbagai perhiasan Pangeran-nya. Tubuhnya ditopang oleh Legawa, jika tidak ia tak akan sampai di beranda rumah gurunya itu.“Bertahan lah, Aruna! Para tabib sedang menuju kemari,” ucap Legawa dilanda kepanikan.“T-tak perlu, Guru. Aku bisa menanganinya sendiri,” ucap Aruna lirih.Seketika pemuda itu menjadi tenang. Ia duduk bersila tanpa perlu bantuan Legawa untuk menopang tubuhnya lagi. Aruna seperti tak mendapat luka parah buah anak panah kayu sarayu yang menembus dadanya. Putra Arya itu sepenuhnya dalam kendali Ki Daksa.Legawa mundur memberikan jarak. Meski tak mengerti bahwa tubuh muridnya dikendalikan sesuatu, pria paruh baya itu sudah mencium hal tak biasa dari suara Aruna yang terdengar berbeda. Legawa mengangguk-angguk menyadari sesuatu yang umum terjadi pada seorang sakti.“Memang seperti ini takdir tercipta. Tuan Sanggageni denga
Arya membuang pandangannya ke luar. Di hadapannya sang putra baru saja menceritakan peristiwa di istana. Ada amarah namun ada pula keresahan di mata lelaki 37 tahun itu. Bagaimana pun Jenar masih istrinya dan Astagina adalah warisan kakeknya. Ia tak terima bila kerajaan itu menjadi berantakan karena ulah istrinya.“Kita harus mencegah ibundamu menyerang Prastawarna, Aruna!” lirih Arya dengan sorot mata tajam. Ada tekad yang tak perlu diungkap namun Aruna sudah memahami.“Apa kau yakin, Ayahanda?” tanya Aruna ragu. Pemuda itu kini lebih berhati-hati bila ingin berhadapan dengan ibundanya.“Serangan besok dipimpin Senopati Jatiwungu, bukan?” tanya Arya meminta konfirmasi.“Ya! Mereka berencana mengepung Prastawarna dari empat sisi mata angin. Masing-masing berkekuatan 500 orang,” terang Aruna.“500 orang ya....” Arya mengusap janggutnya beberapa kali. “Kita hanya harus mencegah serangan itu. Jangan sampai ada korban. Baik dari Prastawarna atau pun Astagina.”“Apa kau punya rencana, Ayah
Seluruh mata kini tertuju pada ribuan anak panah jingga di langit Prastawarna. Semuanya menukik dengan cepat dan menyebar ke semua penjuru mata angin. Senopati Jatiwungu yang baru saja hendak memberikan komando penyerangan, segera menghentikan niatnya. Ada hal indah dan luar biasa yang mungkin hanya sekali seumur hidup ditampakkan di depan mata.Namun berbeda bagi Aruna. Tak ada waktu untuknya menikmati keindahan Sasra Sayaka-Cundhamani. Ia sibuk memindahkan orang-orang yang berada pada jalur lesatan anak-anak panah jingga itu menggunakan Lembat Brabat andalannya. Misinya hanya satu, jangan sampai ada jatuh korban.Anak-anak panah jingga menghunjam tanah nyaris bersamaan. Titik jatuhnya adalah sekira sepuluh tombak dari pagar dinding istana Prastawarna. Istana kecil itu kini sudah dikelilingi api Cundhamani. Tak ada yang bisa masuk atau keluar paling tidak sampai hari ini berakhir atau rombongan yang tadi keluar istana kembali.“Aku tak percaya kau berhasil mengeluarkan lagi Sasra Say
Pasca munculnya Sasra Sayaka-Cundhamani di Prastawarna, orang-orang mulai kembali menyadari bahwa Ksatria Cundhamani itu masih hidup dan akan terus menyeimbangkan kehidupan. Hal yang membuat Astagina dilanda euforia meski rajanya sendiri terus merasa resah. Beruntung di Girijajar tak ada yang mengetahui bahwa Arya putra Gantari-lah Ksatria itu.Di Dipa Kencana, Rara Anjani begitu bahagia mendengar berita kemunculan Seribu Panah Api itu. Ia pun mengirim orangnya ke Prastawarna demi menemui suaminya, atau pun hanya mendapat informasi tentang Arya. Jika Arya bisa dibujuk untuk tinggal di Dipa Kencana, maka ia akan lebih percaya diri terhadap serangan yang mungkin dilakukan Astagina pasca memerdekakan diri.“Ibunda, apa benar Ayahanda sudah ditemukan?” tanya Rara Sati suatu pagi. Meski sudah hilang lebih dari tiga tahun, Dipa Kencana sama sekali tak menganggap Arya mati.“Ibu masih menunggu kabar utusan dari Prastawarna, Putriku. Namun yang pasti dengan kemunculan Sasra Sayaka-Cundhamani,
“Mereka, pengawal ibundamu, Aruna?” tanya Arya begitu tenang. Ia pernah dalam kondisi lebih tak menguntungkan. Melawan enam pendekar bersama sang putra, sepertinya bukan masalah.“Ya, Ayahanda. Perempuan itu yang memanahku dengan anak panah kayu sarayu,” adu Aruna seraya menunjuk Pitaka yang berdiri paling belakang. Tetap ia kenali meski menutup wajah karena posturnya paling berbeda.“Tentu saja ibundamu tahu kelemahan kita,” bisik Arya.Keenam pengawal raja Astagina itu belum juga menyerang. Entah apa yang mereka lakukan dengan terus memasang kuda-kuda. Padahal Arya dan Aruna sama sekali tak terlihat ingin menyerang. Keduanya tampak santai dan tenang. Bahkan Arya masih menghamparkan kain dan menyembunyikan kedua tangan demi menahan dingin.“Gusti Pangeran, kami punya tawaran untukmu!” seru Pitaka dari belakang.“Aku tak peduli apa kah itu tawaran kalian atau dari ibundaku!” sahut Aruna ketus. “Lagi pula, maju lah, Pitaka! Kau terlalu jauh untuk berbincang!” ledeknya.Arya tersenyum s
Api sudah menjalari tubuh Aruna. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan amarah. Apa lagi ayahandanya terluka karena ia terlalu ceroboh dalam menggunakan serangan kombinasi Lembat Brabat. Tubuh Arya ia angkat dan rebahkan di pangkuannya.“Tidak, Aruna. Percuma!” lirih Arya menyeringai menahan sakit di pinggangnya.Kata-kata Legawa kembali terngiang di telinga Putra Mahkota Astagina itu. Berpikir dan bertindak seperti seorang pendekar. Sudah Arya contohkan langsung tadi padanya. Menghadapi enam orang pengawal, ayahandanya lebih memilih bertarung tanpa kekuatan api. Meski akhirnya kekuatan itu ia gunakan demi melindungi putranya.“Aku mengerti, Ayahanda!” bisik Aruna dan tiba-tiba tubuh mereka berdua menghilang.“Kemana mereka pergi?” tanya seorang pengawal sambil memegangi kakinya yang terhantam toya Aruna tadi. Tiga pengawal sudah dilumpuhkan. Tersisa tiga orang termasuk Pitaka.“Perempuan licik itu hanya membekali kita dengan kayu sarayu. Kita tidak disiapkan untuk menghadapi Lembat Brabat
"Ya, apa kau tak bertanya mengapa tujuh pengawal raja yang tersohor itu hanya ada enam?” tutur Danapati dengan sejumput senyum sinis di tepi bibir.Aruna tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Pun Arya meski kini ia lebih banyak menyeringai menahan sakit. Ia teringat salah satu dari tujuh pengawal kakeknya yang berhasil selamat, Sokha. Ia menyamar menjadi pedagang untuk mendapatkan pasokan senjata Baka Nirdaya. Arya sendiri baru mengetahuinya setelah pertempuran Padang Kalaha dari ayahandanya.“Kau pengawal ketujuh. Benar?” tanya Arya tak kalah sinis.“Bukan hanya itu, aku lah pimpinan mereka!” seru Danapati merasa jumawa. Sekian lama berpura-pura menjadi sekutu sebagai mantan Patih Astagina, mengetahui keberadaan Aruna dan menemukan Arya. Kinerjanya layak mendapatkan hadiah besar dari Jenar.“Kau ... masih sepupu Jenar, Danapati! Aku tak menyangka kau bersekongkol dengannya untuk membunuhku!” sesal Arya.“Dan kau ingin tahu sebabnya, Ksatria Cundhamani yang digjaya?” ledek Danapat
Sebuah ancaman yang ditanggapi dingin oleh ketujuh pengawal raja. Dalam kasus seperti ini mereka memilih untuk bereaksi. Atau tepatnya tak memiliki rencana bila ternyata rencana utama tak berjalan dengan baik. Danapati sendiri memilih untuk tak mendengarkan ancaman putra Jenar itu. Ia masih ingin melihat apakah Aruna akan meninggalkan ayahandanya untuk bertarung.Mendengar tak ada jawaban dari Danapati, dan melihat tak ada yang dilakukan musuh, Aruna memutuskan untuk bergerak. Pemuda berselubung api itu memejamkan mata. Entah apa yang ia pikirkan dan rencanakan. Aruna hanya mencoba berpikir sebagai seorang pendekar sekarang.“Dia akan pergi! Siapkan tabirnya!” seru Danapati setelah melihat Aruna terpejam. Seperti ingin memulai Lembat Brabat yang ia tak sukai itu.Keenam pengawal raja mengangguk. Mereka segera menyebar ke beberapa titik sekitar rumah itu dan memulai sebuah prosesi, kecuali Pitaka. Perempuan itu berjalan mendekati Danapati. Di tangan kirinya masih ada sebuah busur yang