Keesokan paginya.
Aranjo selesai menyiapkan ramuan dan hendak berangkat ke istana, tetapi langkahnya terhenti saat melihat rombongan kereta kuda yang berbaris datang ke depan gerbang kediaman Kim. Aranjo menatap ke keramaian itu. Kehadiran rombongan dari istana menarik perhatian warga sekitar.
Begitu juga dengan pelayan kediamannya termasuk ibunya, Nyonya Kim segera berlari ke depan gerbang dan berdiri di sampingnya, ikut menatap ke rombongan itu.
Kereta kuda berhenti tepat di hadapan mereka dan Selir Qi turun bersama dengan putranya, Go Wei Heng.
"Selamat pagi, Nyonya Kim! Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kalian, mau menerima putraku untuk tinggal di kediaman ini untuk beberapa saat," ujar Selir Qi sopan.
"Ah, itu bukan masalah besar, Selir Qu. Aku melakukan ini, karena Wei Heng sudah aku anggap sebagai putra sendiri. Wei Heng adalah putra yang sangat pengertian dan baik hati, walaupun begitu sering direpotkan oleh tingka
Seperti itulah, Aranjo memperlakukan kedua pelayan itu. Mereka yang tidak terbiasa diperlakukan begitu baik, merasa sangat bahagia dan mengabaikan semua kewajiban mereka. Apalagi, Aranjo memerintahkan beberapa pelayan untuk melayani kedua pelayan istana itu. Jadi, tidak ada masalah dalam mengganti ramuan yang hendak diminum oleh Wei Heng dan itu adalah hal yang amat bagus.Namun, yang tidak disadari Aranjo adalah sang putra mahkota, mencari tahu di mana keberadaan pangeran ketiga dan hal itu, membawanya ke depan kediaman Keluarga Kim."Salam hormat, Putra Mahkota," sapa penjaga gerbang kediaman Kim, dengan begitu ketakutan. Kenyataan yang membawa putra mahkota datang ke kediaman Kim tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, membuat sang penjaga ketakutan.Jia Zhen melompat turun dari punggung Khan, kuda hitam kesayangannya dan berjalan ke depan pintu kediaman Kim. Lalu berkata, "Aku hendak bertemu dengan Nona Muda kalian."Tentu kehadiran Jia Zhen tidak
Di perbatasan, Jenderal Kim dan para prajurit mulai melakukan persiapan."Jenderal! Pasukan tambahan dari istana sudah bergerak kemari. Mereka dipimpin langsung oleh Putra Mahkota!" jelas salah seorang prajurit yang berlari masuk kedalam tenda."Bagus! Itu bagus!" seru sang Jendral.Lalu, prajurit itu pun keluar dari tenda."Aranjo, besok subuh kamu harus kembali ke Kerajaan Qinshan terlebih dahulu. Sebab, situasi akan semakin memanas dan itu akan berbahaya!" jelas sang Jenderal."Ayah, biarkan aku terlibat! Aku ingin membantu!" seru Aranjo."Cukup untuk bermain-main! Tidakkah kamu melihat situasi sekarang ini cukup genting?" tegur sang Jenderal dengan suara mulai meninggi."Tapi Ayah, aku benar-benar ingin membantu!" Aranjo kembali mencoba meyakinkan sang ayah."Cukup! Ayah tidak meminta pendapatmu! Turuti perkataan Ayah. Besok subuh ikut rombongan kembali ke istana!""Ayah, buk
Jia Zhen menatap, bagaimana seriusnya gadis itu membersihkan dan membalut lukanya. Memang sejak awal bertemu dengan gadis ini, Jia Zhen tahu Aranjo istimewa."Terima kasih," seru Jia Zhen saat lengannya selesai dibalut.Aranjo menatap ke arah pria itu dan berkata, "Bukankah seharusnya Paduka menawarkan hadiah kepadaku?""Ya, kamu menyelamatkan nyawaku dan yang pasti akan terlibat masalah, jika Jenderal Kim mengetahui keberanianmu ini!" balas Jia Zhen."Makanya, Paduka harus memberikan hadiah untukku!" anjur Aranjo.Jia Zhen terdiam sejenak, masih menatap Aranjo, lalu berkata, "Tiga tahun! Ya, tiga tahun lagi, aku akan membiarkan dirimu masuk ke dalam istana!""Mengapa harus menunggu tiga tahun?" tanya Aranjo, yang mengira sang putra mahkota akan mengangkatnya masuk ke jajaran menteri atau penasehat kerajaan."Karena, saat ini kamu masih berusia 15 tahun!" tegas Jia Zhen dan menyerahkan tempat minum
"Mengapa?" tanya Jia Zhen."Apa alasanmu ingin masuk ke dalam istana, dengan menjadi seorang penasehat?" Jia Zhen penasaran. Ya, apa yang membuat gadis 15 tahun memiliki keinginan besar seperti ini? batinnya.Aranjo menendang tanah dan menunduk menatap ke arah itu. Otaknya berpikir mencari alasan yang tepat. Sebab tidak mungkin bagi Aranjo mengatakan alasan sebenarnya. Alasannya agar dapar membuat Lee Wang Yong, Raja Kerjaan Fuyan, membencinya."Aku ingin membuat ayahku merasa bangga. Aku anak tunggal dan seorang gadis. Tentu aku tidak mungkin memiliki kesempatan menjadi jenderal, menggantikan ayahku. Jadi, aku butuh bantuan Paduka, setidaknya izinkan aku membuat prestasi. Aku sudah mempelajari strategi perang dan ilmu bela diri sejak kecil. Aku yakin, aku tidak kalah jauh dari ayahku!" Aranjo mencoba meyakinkan sang putra mahkota.Jia Zhen mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Anak yang berbakti, itu bagus! Baiklah, datang ke i
"Setelah kembali dari perbatasan, aku terus menunggu kedatanganmu di istana," ujar Jia Zhen."Apakah janjimu masih berlaku?" tanya Aranjo.Jia Zhen mengangguk. Bahkan dirinya akan dengan senang hati membuat janji lain untuk gadis ini."Paduka tahu, sakitku ini tidak ada hubungannya dengan perjalanan. Aku baik-baik saja, bahkan tubuhku terasa sangat bertenaga," jelas Aranjo antusias.Jia Zhen tersenyum mendengar penjelasannya. Ya, Aranjo khawatir sang putra mahkota tidak lagi mengijinkan dirinya menjadi penasehat, hanya karena masalah kesehatan."Namun, kamu harus mematuhi ucapanku saat berada di istana. Apakah kamu bisa?" tanya Jia Zhen.Aranjo mengangguk cepat.Lalu, Jia Zhen berdiri dan berjalan ke arah meja, mengambil secangkir air. Kemudian, berjalan kembali ke arah ranjang. Aranjo mengulurkan tangan untuk menerima cangkir itu, tetapi bukan itu yang dilakukan Jia Zhen. Jia Zhen tidak menye
Aranjo patuh dan duduk di sudut itu, memperhatikan bagaimana sang putra mahkota bekerja. Saat bekerja, ternyata pria itu terlihat begitu berbeda. Begitu tegas dan tidak ada senyuman di wajah tampan itu. Walaupun Raja masih berkuasa, tetapi banyak hal yang sudah diputuskan oleh Go Jia Zhen, calon raja berikutnya.Setelah para pejabat meninggalkan ruangan ini, permaisuri datang menemui suaminya itu."Salam, Paduka," sapa sang permaisuri begitu lembut.Go Jia Zhen hanya mengangguk dingin, bahkan tidak repot menjawab sapaan itu."Aku menyiapkan sup herbal untuk Paduka, silakan diminum selagi hangat," ujar permaisuri lemah lembut dan mengambil sebuah mangkuk dari atas nampan, yang dipegang seorang pelayannya.Melangkah dengan anggun, menghampiri meja kerja suaminya dan meletakkan mangkuk itu."Silakan diminum, Paduka," ujar sang permaisuri perlahan."Nanti!" jawab Jia Zhen dingin, tanpa menatap ist
Hari-hari berlalu begitu cepat, sudah satu minggu Aranjo datang ke istana."Apakah kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Jia Zhen.Aranjo yang duduk di tempatnya terkantuk-kantuk, mengangguk cepat. Seharian hanya duduk dan tidak berbuat apa-apa, membuatnya merasa bosan dan mengantuk."Ini!" seru Jia Zhen dan menjatuhkan setumpuk buku tebal di atas meja, di hadapan Aranjo."Pelajari dan pahami, hukum dasar Kerajaan Qinshan. Setelah kamu mengerti, aku akan libatkan kamu dalam beberapa hal!" ujar Jia Zhen."Benarkah?" tanya Aranjo antusias dan langsung menatap setumpuk buku itu, seakan melihat harta karun yang begitu berharga.Jia Zhen mengangguk dan berkata, "Aku harus menghadap Raja. Kamu tetap di sini!"Aranjo kembali mengangguk dan langsung mengambil satu buku, membalikkan halaman buku itu.Satu minggu ini, Aranjo bertingkah menyebalkan. Tentu tidak bertindak kasar terhadap sang putra m
"Baguslah,"desah Wei Heng merasa tenang. Dirinya mengenal Aranjo dari kecil dan dapat membedakan jika gadis itu berbohong. Namun, apa yang dikatakan Aranjo benar apa adanya dan itu bagus."Lalu, katakan padaku tentang kondisi kesehatanmu!" tuntut Aranjo.Wei Heng melangkah ke arah meja bulat. Di atas meja itu ada baskom kuningan berisi air. Wei Heng membasuh wajahnya, lalu mengeringkannya dengan kain. Kemudian, berbalik dan menatap Aranjo.Aranjo tersenyum lebar dan melompat girang, lalu berlari menghampiri Wei Heng."Warna wajahmu sudah begitu bagus dan tubuhmu mulai berotot!" seru Aranjo senang dan menepuk lengan atas Wei Heng, merasakan otot-otot kencang itu."Terima kasih," ujar Wei Heng tulus. Jika bukan karena gadis ini, maka dirinya mungkin sudah mati. Belakangan ini, dirinya tidak lagi sesak napas atau kelelahan, bahkan saat dirinya melatih tubuhnya. Semua itu dilakukannya di dalam kamar ini. Wei Heng tidak ing
Archer berlumuran darah dan sama sekali tidak melawan. Ia hanya berharap perasaan Aranjo dapat tergerak, melihatnya seperti ini. Sedangkan Asmodus semakin menggila dan memukul, membabi buta.Aranjo berteriak, histeris. Namun, ia tidak mampu menggerakkan tubuh. Ya, dalam hatinya, ia berteriak melihat bagaimana Archer babak belur. Apalagi, tidak ada yang dapat dilakukan.Sampai pada satu titik, Asmodus mencengkeram leher Archer dan mengangkatnya tinggi. Tawa puas, menggema, melihat betapa banyak darah yang membasahi tubuh Dewa Agung itu."Hmmm, tidak menarik, karena kamu tidak melawan. Namun, itu bagus. Aku dapat memusnahkanmu, lebih cepat."Cengkeraman semakin kuat dan membuat Aranjo, semakin panik.'Aku mohon, jika Surga memang ada, maka dengarkan doaku. Aku mencintai Archer dan Dewa itu juga mencintaiku, aku mohon biarkan aku terlepas dari belenggu ini, agar dapat menolongnya. Aku tidak peduli, walaupun jiwaku menjadi taruh
"Para Dewa Agung, aku butuh kekuatan kalian untuk menyegel gerbang alam bawah ini. Jadi, saat Asmodus musnah, kerusakan cukup terjadi di alam bawah dan tidak menyebabkan kerusakan di luar itu!" ujar Kaisar Langit dengan tegas."Baik, Yang Mulia Kaisar Langit!" seru para Dewa Agung terkuat di Alam Langit.Para Dewa melompat turun dari atas punggung Pegasus yang masih terbang. Membentuk formasi di sekitar gerbang alam bawah dan mulai menyalurkan energi kekuatan sihir mereka."TUNGGU!"Para Dewa Agung dan Kaisar Langit menatap ke sosok yang berani bersuara.Robert Gao melangkah maju, tepat ke hadapan sang Kaisar Langit. Ia keluar bersama dengan semua mahluk dari alam bawah dan tetap berada di dekat gerbang, untuk melihat apa yang terjadi."Bagaimana dengan Archer? Ia masih berada di dalam dan kalian menyegel gerbang ini. Bagaimana ia dapat keluar dan bagaimana jika ia membutuhkan bantuan?" seru Robert Gao, yang mer
Robert berusaha bernapas, tetapi itu begitu sulit. Tidak lagi berusaha melawan, Robert merogoh sesuatu dari saku pakaiannya. Berhasil, walaupun dengan susah payah. Dengan wajah yang sudah memerah karena kehabisan napas, Robert berhasil mengangkat kalung dengan leontin darah suci ke hadapan Griffin.Seketika tangan yang mencengkeram leher, dilepaskan dan membuat tubuh Robert terhempas kuat ke tanah.Berusaha keras mengisi paru-paru dengan oksigen, Robert benar-benar kesulitan. Sedikit lebih lama lagi, maka ia akan musnah.Griffin berdiri mematung dan menatap ke tangan manusia abadi yang menggenggamnya leontin itu. Griffin tahu itu adalah bagian dari dirinya, tetapi bagaimana itu bisa ada di tangan manusia abadi itu?"Dari mana kamu mendapatkan itu?" tanya Griffin dingin."A-Anda menitipkan kepadaku! Dan berpesan, untuk mengembalikannya saat ini," ujar Robert dengan suara yang begitu lemah.Griffin menunduk dan menatap
Tangan Aranjo terulur, mendekati artefak itu. Ujung jari telunjuk, menyentuh benda itu dan seketika cahaya terang menyelimuti Aranjo. Ia menghilang bersama dengan benda itu, kembali kepada sang pemilik.***Keesokan harinya, Griffin keluar dari paviliun dan tetap berada di sana untuk beberapa saat. Menunggu, menunggu Aranjo keluar dari paviliun.Setelah menunggu beberapa saat, Leander datang menghampirinya."Ayo, kita harus segera pergi ke alam bawah. Lentera cahaya sudah ada padaku," ajak Leander.Diam dan tidak menanggapi ucapan Leander."Kamu menunggu Aranjo?" tanya Leander.Griffin mengangguk."Dia sudah kembali ke Alam Iblis," ujar Leander. Ya, ia tidak berbohong, memang benar Aranjo telah kembali ke Alam Iblis, walaupun bukan ke istana. Namun, Leander yakin Griffin tidak akan bertanya lebih jauh, sebab mengira Aranjo kembali ke istana.Ragu sejenak, tetapi pada akhirnya Gri
"Bagus, jika kamu menyukainya," balas Griffin dan merasa lega, tidak harus merubah warna rambutnya ini.Seketika, kesadaran akan cincin ilusi miliknya yang belum dikembalikan, membuat Aranjo langsung duduk. Gerakannya itu membuat rambut Griffin yang berada dalam genggamannya, tertarik.Griffin langsung memalingkan wajah dan menatap ke arah Aranjo, yang sudah dalam posisi duduk."M-Maaf," ujar Aranjo dan segera melepaskan rambut itu."Tapi..., Hei! Kembalikan cincin ilusi, milikku!" ujar Aranjo lantang, saat teringat akan cincin itu."Ini?" tanya Griffin, sambil mengangkat tangannya tepat di hadapan Aranjo, perlahan membuka kepalan tangan dan cincin ilusi itu ada di atas telapaknya.Melihat cincin itu, Aranjo langsung hendak mengambil. Namun, Griffin memindahkan tangannya, sehingga tangan Aranjo hanya menggapai angin."Kembalikan!" seru Aranjo yang mulai kesal. Mabuk, membuat otaknya tidak dapat berp
Perjamuan makan diadakan oleh Kaisar Langit. Kembali mereka diundang ke aula, untuk mengikuti perjamuan itu.Aranjo mengagumi keindahan Alam Langit dan matanya, tidak henti melihat-lihat.Perjamuan yang cukup meriah dan dihadiri oleh begitu banyak Dewa, serta Dewi.Aranjo duduk di balik meja rendah, yang berada tepat di antara meja Leander dan Griffin. Alunan musik dari harpa, mengiringi tarian indah yang dipertontonkan di tengah-tengah aula. Tarian yang isisipkan dengan kekuatan sihir, membuat apa yang dilihat begitu menakjubkan.Aranjo menatap dengan mulut menganga, akan keajaiban tarian yang ada di hadapannya.Leander memalingkan wajah dan menatap ke arah Griffin. Seperti perkiraannya, siku Griffin diletakkan di atas meja, dengan tangan menopang wajahnya. Ya, Griffin menatap ke arah Aranjo. Mahluk agung itu terlihat jelas seperti sedang jatuh cinta.Leander menghela napas, ia khawatir akan apa yang akan
Tiba di aula utama, semua mata para Dewa tertuju pada Griffin dan sosok iblis muda yang ada dalam gandengan mahluk agung itu.Langkah kaki Aranjo berhenti, saat Griffin menghentikan langkahnya. Aranjo melihat ke sekeliling dan mendapati, tatapan yang begitu dingin. Tanpa sadar, ia bergeser dan menempelkan tubuh pada lengan kokoh, sang Griffin.Kaisar Langit, turun dari singgasana dengan raut wajah yang tidak terbaca. Para dewa yang berkumpul di singgasana langsung mundur, dengan kepala menunduk.Leander yang baru tiba di aula, langsung memberi hormat."Hormat, Yang Mulia Kaisar Langit."Setelah memberi salam, Leander langsung melangkah maju dan berdiri di samping Griffin, serta Aranjo."Alasan kedatangan kami, terkait dengan salah satu benda spiritual. Kami ingin memohon izin kepada Kaisar Langit, agar dapat memberikan kepada kami, lentera cahaya. Itu–"Ucapan Leander terhenti, saat sang Kaisar Langit men
Griffin melepaskan cengkeramannya dan segera mahluk itu melayang agak jauh, ketakutan."Buka matamu," ujar Griffin dan menurunkan tangannya dari depan wajah Aranjo.Patuh, Aranjo membuka mata dan menatap ke arah mahluk yang sudah berada cukup jauh, darinya."Tuanku berkata, tiket masuk kalian adalah lentera cahaya! Bawa benda spiritual itu dan kalian, diizinkan masuk!" seru mahluk itu, sebelum melayang kembali ke balik gerbang.KLANG!Gerbang kembali menutup dengan suara yang memekakkan telinga.Griffin memalingkan wajah, menatap Leander. Ia tidak keberatan untuk menghancurkan alam bawah ini, tetapi mereka memiliki tanggung jawab, jadi keputusan tidak dapat diambil oleh satu pihak."Kita kembali setelah mendapatkan lentera cahaya!" ujar Leander, lalu memutar kudanya, meninggalkan alam bawah.Semua berbalik dan meninggalkan tempat mengerikan itu.Aranjo menatap ke pung
Seulas senyum licik, muncul di wajah cantik Aranjo. Ia yakin dapat menghentikan langkah mahluk sombong, yang mengabaikan kehadirannya begitu saja.Namun, saat ia yakin dapat menangkap mahluk itu, kenyataannya angin yang tergapai oleh tangannya.Kedua kaki Aranjo menapak kembali ke tanah dan menatap tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mahluk sombong itu sudah berpindah tepat di belakangnya, begitu cepat. Bahkan, mata Aranjo tidak menangkap gerakan mahluk tersebut.Berputar, dengan tangan kembali menggapai.SIAL!SIAL!!SIAL!!!Aranjo memaki dalam hati, saat serangan yang diluncurkan tidak mampu mengenai mahluk tersebut.Leander baru saja keluar dari paviliun dan disambut dengan perkelahian. Tidak tepat disebut perkelahian, sebab hanya satu pihak yang menyerang dengan pihak lain, terus berhasil menghindar.Ini kali pertama baginya melihat, Griffin tidak melawan. Bias