Beranda / Romansa / Api Dendam Brianna / Bab 2 - Pertemuan

Share

Bab 2 - Pertemuan

Penulis: Meina H.
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass.

Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan.

“Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya.

“Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya.

Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk menuju bagian imigrasi. Saat tiba giliranku, seorang petugas mengatakan bahwa aku perlu mengisi secarik kertas di tempat yang telah tersedia, baru bisa datang ke konter lagi.

Birokrasi. Biasanya kertas itu bisa diisi di dalam pesawat setelah dibagi-bagikan oleh pramugari. Mengapa hari ini harus diisi sebelum melewati pemeriksaan imigrasi? Tetapi aku tidak bisa melawan petugas. Bila aku masih ingin terbang, maka aku harus menuruti peraturan.

“Penerbangan pertama keluar negeri?” kata seorang pria yang berdiri di sisiku. Dia sedang mengisi sesuatu pada secarik kertas. Dia memberikan kertas yang sama yang masih kosong kepadaku. Saat melihat kertas itu, aku tidak sengaja membaca nama pada formulir yang dia isi. Damian Yunadi.

“Terima kasih.” Aku memilih salah satu meja, membaca kertas tersebut, dan mengisi setiap titik dengan benar. Melihat barisan pada konter imigrasi, aku mendesah pelan harus mengantri lagi.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata pria tadi yang ikut mengantri di belakangku. Padahal antrian lain masih ada yang lebih pendek.

“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” tolakku dengan sopan. Dia mengulurkan tangannya dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Aku harus mengacungkan jempol untuk usahanya itu.

“Damian.” Dia memperkenalkan dirinya. Aku menerima tangannya yang masih terulur.

“Nia.” Kami berjabatan tangan sesaat.

“Sekarang kita sudah bukan orang asing lagi.” Dia mengerutkan keningnya saat melihat wajahku dari dekat. Aku menarik tanganku dari genggamannya.

“Ini bukan perjalanan pertamaku.” Aku memamerkan salah satu halaman pasporku yang penuh dengan stempel dari berbagai negara yang sudah aku kunjungi. “Sebelumnya mereka tidak meminta formulir itu diisi di sini. Biasanya itu dilakukan di dalam pesawat sebelum mendarat.”

“Kamu pasti sudah lama tidak melakukan perjalanan keluar negeri.” tebaknya dengan cepat. Aku mengangguk. “Peraturan ini sudah lama diberlakukan.” Ah, begitu. Aku mengangguk mengerti.

Aku maju untuk diperiksa, kemudian diizinkan untuk melewati konter. Aku menuju gerbang yang tertera pada boarding pass dan duduk di kursi kosong yang barisannya tidak terlalu dipadati orang. Hanya beberapa menit lagi sebelum panggilan, tetapi aku tidak mau berdiri mengantri. Lebih baik duduk sejenak dan berdiri setelah antrian berkurang.

Karena mendapat kursi yang berada pada deretan depan di kelas ekonomi, aku dan beberapa penumpang melewati bagian kelas satu. Aku tidak akan pernah punya cukup uang untuk duduk di kursi itu dan menikmati penerbangan yang nyaman. Aku hanya bisa mengaguminya saja.

Hari ini sepertinya bukan hari baikku karena pria yang tadi salah mengambil wadah di bagian pemeriksaan sedang duduk di kursi yang bukan miliknya. Aku melihat boarding pass di tanganku. Benar. Akulah yang mendapat bagian di dekat jendela.

“Maaf, Pak. Itu tempat duduk saya.” Yang duduk di dekat lorong adalah seorang pria, aku tidak akan nyaman bila mereka mengapit aku. Akan lebih baik bila aku tetap duduk pada kursi di dekat jendela.

“Duduk di mana pun sama saja, Bu. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman. Ibu duduk di tempat yang kosong saja.” Dia menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya.

“Tetapi itu bukan tempat duduk saya. Tolong pindah ke nomor kursi Bapak.” Aku bersikeras. Pria yang duduk di dekat lorong berdiri agar aku bisa masuk. Tetapi aku bergeming, menunggu sampai pria yang mencuri kursiku itu berdiri.

“Ada apa, Bu?” tanya seorang pramugari dari arah belakangku.

“Saya yang duduk di dekat jendela, tetapi bapak ini tidak mau pindah.” Aku menunjukkan boarding pass yang aku pegang kepadanya.

“Ibu ini benar. Mohon pindah ke kursi sesuai nomor Bapak.” Wanita itu tersenyum tetapi nada suaranya sangat serius dan tegas. Pria itu menelan ludah dan akhirnya menurut. Dia berdiri sambil , keluar dari barisan kursi agar aku bisa masuk.

“Oh. Sebentar,” kata pramugari itu sambil menyentuh sesuatu di telinganya. “Kursi Ibu dipindah ke kelas satu. Mari, ikut dengan saya.” Aku menatapnya dengan bingung. Tetapi menyadari betapa panjang antrian di belakangku, aku segera mengikutinya agar semua orang bisa lewat. Tiba-tiba saja terdengar suara sorakan dan tepuk tangan dari mereka. Aku menunduk malu.

Orang-orang yang aku lewati tidak marah karena harus berdiri lama akibat ulahku. Sebaliknya, mereka malah tersenyum dan mengucapkan kata-kata pujian penuh kekaguman. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa mereka mengatakan bahwa aku hebat, keren, dan sebagainya?

“Silakan duduk di sini, Bu.” Pramugari itu berhenti di sebuah kursi kosong di bagian tengah. Aku menoleh dan melihat ada seorang pria yang duduk di sebelah kursi tersebut. Kami bertemu pandang, lalu aku tertawa kecil begitu mengenalinya.

“Terima kasih atas bantuannya. Silakan duduk, Nia. Aku harap kamu tidak keberatan aku panggil kamu dengan nama itu.” Aku melihat pramugari itu pergi tetapi dia sesekali menoleh ke arah pria bernama Damian tersebut. Aku duduk dan memasang sabuk pengamanku.

“Aku tidak keberatan. Maaf, atas kehormatan apa kamu menaikkan kelas tiketku?” tanyaku tidak mengerti. Aku baru saja mengkhayalkan bisa duduk di sini dan impian itu terwujud? Wow.

“Kamu wanita yang menarik, Nia. Kamu menerima sebuah pemberian terlebih dahulu baru bertanya.” Dia tertawa kecil “Aku tadi mendengar dan melihat perdebatanmu dengan pria keras kepala itu. Aku tidak mau kamu duduk bersama dua laki-laki di tempat duduk serapat itu, jadi ini solusi yang terbaik.”

“Pertama, hanya orang bodoh yang menolak kesempatan sekali seumur hidup untuk bisa duduk di sini. Kedua, posisi di dekat jendela adalah dambaan hampir semua penumpang pesawat. Wajar saja jika menjadi rebutan. Aku hanya memperjuangkan hakku,” kataku dengan santai. “Oh. Satu lagi. Tempat duduknya tidak sesempit itu.”

“Setelah kamu merasakan sendiri dalam empat jam penerbangan kita nanti, kamu akan segera setuju denganku ketika kamu kembali duduk di kelas ekonomi.” Dia menatapku penuh arti.

“Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak terbiasa dengan kenyamanan ini,” balasku. Dia tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ini, tetapi terima kasih banyak sudah berbaik hati mengundangku ke kelas ini.”

“Jangan berpikir bahwa ucapan terima kasih saja sudah cukup, Nia.” Dia mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya sambil mengamati tubuhku. Aku menelengkan kepalaku. “Tawaran terbaik apa yang bisa kamu berikan kepadaku sebagai ungkapan terima kasihmu?”

Bab terkait

  • Api Dendam Brianna   Bab 3 - Manusia Biasa

    “Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?” “Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?” “Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak. “Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak. Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku. Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain meme

  • Api Dendam Brianna   Bab 4 - Ketahuan

    “Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya. “Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti. “Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung. “Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku. “Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat men

  • Api Dendam Brianna   Bab 5 - Terpesona

    Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut. Tiba di de

  • Api Dendam Brianna   Bab 6 - Pertanda

    ~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir

  • Api Dendam Brianna   Bab 7 - Surga

    ~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena

  • Api Dendam Brianna   Bab 8 - Selamat

    “Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j

  • Api Dendam Brianna   Bab 9 - Langit

    Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk

  • Api Dendam Brianna   Bab 10 - Bujukan

    ~Damian~ Aku sangat terkejut dengan dorongan yang begitu kuat yang aku rasakan saat kami berdiri di pagar pembatas bar di atap hotel tadi. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Berapa kali pun wanita menggoda dan memberikan diri mereka secara rela kepadaku, aku tidak tertarik. Apa yang ada pada diri seorang Nia sehingga aku begitu terpesona kepadanya? Aku seperti terbius tidak bisa membuang dia dari kepalaku. Wajah cantik, senyum manis, sikap yang sedikit menjaga jarak, dan suara indahnya selalu menghiasi benakku. Ini tidak mungkin. Apa iya aku sedang jatuh cinta? Secepat ini? Kami baru bertemu beberapa jam saja. Ini bahkan belum genap empat puluh delapan jam dan aku sudah menciumnya seperti remaja puber yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun tetapi tidak bisa menahan keinginanku sendiri. Seandainya saja dia marah atau menamparku dengan keras, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, dia hanya marah sesaat dan

Bab terbaru

  • Api Dendam Brianna   Bab 92 - Sayangku untuk Selamanya

    ~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.

  • Api Dendam Brianna   Bab 91 - Pulang

    ~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga

  • Api Dendam Brianna   Bab 90 - Penebusan Dosa

    ~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb

  • Api Dendam Brianna   Bab 89 - Keputusan yang Berat

    Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka

  • Api Dendam Brianna   Bab 88 - Tidak Sehati

    Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam

  • Api Dendam Brianna   Bab 87 - Apa Adanya

    Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.

  • Api Dendam Brianna   Bab 86 - Menjadi Satu

    ~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se

  • Api Dendam Brianna   Bab 85 - Kejutan

    ~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec

  • Api Dendam Brianna   Bab 84 - Terlalu Baik

    Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark

DMCA.com Protection Status