~Nia~
“Apa kau pikir ada orang yang mau menikah dengan perempuan macam kau ini?!” ucap Namboru* yang memaksaku untuk duduk. “Masih syukur ada orang kaya yang mau kawinkan anaknya sama kau. Ngga usah sombong dengan mukamu itu. Ngga ada gunanya cantik kalau ngga laku.”
“Laki-laki itu sakit, Bou* bilang, aku seharusnya bersyukur?” Aku mendengus tidak percaya. “Aku tidak meminta untuk dinikahkan. Aku sudah bekerja dan hidup mandiri, aku bisa cari suamiku sendiri. Mengapa aku malah dipaksa untuk menikah begini?”
“Heh, aku sudah membesarkan kau, berterima kasih sedikit. Apa kau pikir biaya hidup dan kuliahmu itu ngga mahal?” Dia menekan kedua bahuku saat aku berusaha untuk berdiri. Dia menatapku dengan garang dari cermin yang ada di hadapan kami. “Kalau kau macam-macam dan pernikahan ini batal, aku patahkan kedua kaki kau itu!”
Tidak ada satu sen pun yang dia berikan untukku sejak dia mengambil aku secara paksa dari rumah Ompung** untuk tinggal bersamanya dan keluarganya di rumah ini. Saat itu aku sudah berumur dua puluh tahun, hampir tamat dari kampusku. Aku berjuang sendiri untuk mendapatkan beasiswa agar bisa membiayai kuliahku, sekaligus bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Enak saja dia bilang aku harus berterima kasih.
“Aku tidak punya utang budi kepada siapa pun, termasuk Bou,” ucapku dengan tegas.
Dia selalu memukul bila aku berani melawan. Tetapi tidak selama beberapa hari ini. Dia tahu bahwa aku harus tampil sempurna pada hari pertunanganku atau keluarga calon tunanganku akan curiga dan bisa jadi akan membatalkan perjanjian di antara mereka. Aku bisa melihat rahangnya menegang karena menahan amarah.
“Mak.” Pintu kamar itu terbuka dan seorang laki-laki muda masuk. “Bapak memanggil. Ada yang mau didiskusikan. Cepat, katanya.”
“Kau tunggu di sini. Penata rias akan datang sebentar lagi.” Perempuan separuh baya itu menatapku tajam untuk terakhir kalinya sebelum keluar dari ruangan dan mengunci pintunya dari luar. Apa dia pikir aku bodoh dan tidak bisa melarikan diri dari kamar ini? Apa gunanya ada jendela kalau tidak bisa digunakan dengan baik?
Aku tidak menemukan alas kaki di mana pun di kamar ini, maka aku mengambil dua buah kaus dari dalam lemari dan mengikatkannya di kakiku. Paku pada jeruji yang membingkai jendela diam-diam telah aku longgarkan selama satu minggu ditahan di kamar ini. Aku membukanya dengan mudah, lalu aku mengayunkan kursi kayu sekuat tenaga untuk memecahkan kaca jendela bergembok itu.
Waktuku tidak banyak, jadi aku segera memanjat bingkai jendela dan melompat ke kebun samping. Keadaan rumah sedang ramai, tetapi tidak bisa meredam bunyi kaca pecah tersebut. Aku tidak terkejut melihat ada yang menangkap basah aku yang sedang beraksi. Aku berlari secepat mungkin menuju pagar samping dan memanjatnya. Meskipun aku sudah terbiasa kabur lewat tembok rendah itu, aku kesulitan untuk mengangkat badanku sendiri karena sekujur tubuhku gemetar.
Seorang pria hampir saja menangkap kakiku. Tetapi aku berhasil naik, jauh dari jangkauannya. Aku belum bisa bernapas lega. Dia mengumpat pelan dan berusaha mengejarku dengan menaiki tembok juga. Aku bergegas melompat turun. Melihat sebuah sepeda motor sudah menunggu, aku segera duduk di jok belakang, memeluk pengemudinya, dan kendaraan itu pun melaju.
Aku tertawa bahagia melihat tidak ada seorang pun yang bisa mengejarku di belakang. Akhirnya, aku bebas juga! Jika mereka menggunakan sepeda motor untuk mengejar, aku sudah tidak ada di depan mata mereka lagi. Sahabatku sengaja memilih jalan secara zig-zag agar tidak ada yang tahu gang mana yang kami lewati.
Jantungku berdebar dengan kencang sambil sesekali melihat ke arah belakang. Dasar orang jahat tidak tahu malu. Hanya karena aku malas berurusan dengan pihak yang berwajib yang tidak akan bisa melindungiku, mereka terus berbuat semena-mena kepadaku. Mereka akan merasakan malu yang luar biasa karena pertunangan hari ini gagal dilangsungkan padahal mereka sudah mengundang banyak orang.
Ishana mengurangi kecepatan sepeda motornya di sebuah taman. Lalu berhenti di belakang sebuah mobil. Seorang pria mendekati kami kemudian memberikan sesuatu kepadanya. Dia melihat ke arah kakiku yang masih memakai kaus oblong. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menerima helmnya kembali dari sahabatku kemudian pergi.
Kami berjalan mendekati mobil. Dua bunyi singkat terdengar, pertanda kunci pintu mobil terbuka secara automatis. Ishana mempersilakan aku masuk ke mobilnya. Aku menoleh sekali lagi ke sekitar kami untuk memastikan bahwa aku sudah aman sebelum membuka pintu. Ada pakaian bersih di atas jok di samping pengemudi, aku mengambilnya, duduk, lalu menutup pintu.
Aku membuka kemeja yang aku pakai, lalu mengenakan dress berwarna hitam tersebut melalui kepalaku. Kemudian aku melepaskan celana panjang yang aku kenakan. Kedua pakaian itu aku masukkan ke sebuah kantong plastik dan aku letakkan di atas tas di jok belakang.
“Aku tidak pernah melihat kerabat sejahat yang kamu miliki,” ucap Ishana sembari berdecak tidak percaya. “Mereka mengambilmu secara paksa dari rumah nenekmu pada hari ibumu dimakamkan, membatasi gerak-gerikmu sampai kamu tamat kuliah, lalu memaksamu menikah dengan laki-laki keterbelakangan mental dengan dalih balas budi?”
“Sudah, tidak usah dibahas. Yang penting aku sudah bebas dari mereka. Biar tahu rasa.” Namboru mendapatkan banyak uang dari rencana pernikahanku dengan laki-laki itu. Orang tuanya ingin anak mereka menikah agar ada yang mengurusnya saat mereka sudah tidak ada nanti. Aku tidak peduli mereka sekaya apa, aku tidak sudi menikah tanpa cinta dengan laki-laki mana pun.
“Maaf, aku butuh waktu yang sangat lama untuk datang menjemputmu. Aku tidak tahu bagaimana menghubungi kamu karena ponselmu mati. Untung saja aku dengar kabar pertunanganmu dengan pria itu hari ini, jadi aku bisa menggunakan orang yang mondar-mandir ke rumah kerabatmu itu untuk mengirim pesan rahasia.” Ishana melirik ke arahku sesaat sebelum kembali menatap ke depan.
“Dan aku sangat berterima kasih, Nana.” Aku menyentuh lengannya. Dia tersenyum. “Aku tahu bahwa kamu akan menemukan cara untuk membebaskan aku.”
“Semua keperluanmu ada di dalam dasbor di depanmu.” Aku membuka lacinya dan menemukan sebuah tas sandang di dalamnya. Ada paspor, dompet dengan berbagai kartu kredit dan debit, tanda pengenal, juga ponsel baru. Aku memeriksa alat komunikasi tersebut. “Itu hadiah dariku.”
“Terima kasih. Punyaku ditahan oleh Bou.” Pasti anaknya sudah memakai semua pulsa yang ada pada kartu SIM lamaku. Untung saja aku menggunakan kartu prabayar. Aku bisa rugi total jika memakai kartu pascabayar.
Aku tersenyum melihat isi galeri pada ponselku. Dia benar-benar sudah mengurus segalanya dengan baik. Tiba di bandara, aku melepas kaus pada kedua kakiku, lalu mengenakan sepatu berhak tinggi berwarna hitam bertali di pergelangan kaki. Aku tersenyum puas melihat tidak ada lecet sedikit pun pada kaki, betis, atau lututku.
Ishana memberikan koperku kepadaku saat aku mengambil tas dari jok belakang. Kedua kaus tadi aku masukkan ke kantong plastik di mana pakaianku tadi berada. Aku menutup pintu, meletakkan tas dan kantong di atas koper, lalu tersenyum kepada sahabatku.
“Kamu yakin ingin melakukan ini?” tanyanya khawatir. Hanya ada satu orang di dunia ini yang peduli kepadaku tanpa syarat. Aku bersyukur mengenalnya sejak kami bekerja di kantor yang sama. Atau lebih tepatnya, aku bekerja untuknya. Dia adalah atasanku.
“Kita sudah sampai di sini, aku tidak akan mundur sekarang, Nana. Terima kasih sudah memberiku dukungan sampai akhir.”
“Aku akan menyelesaikan semua urusanku di tempat ini, lalu menunggumu di tempat janji kita. Kapan pun urusan pribadimu selesai, temui aku di sana. Jangan pernah lupa, aku menunggumu.” Dia memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya.
“Aku tidak akan lupa.” Aku melepaskan pelukanku, kemudian berjalan sambil menyeret koperku. Ishana mengelilingi mobilnya dan pergi.
Kantong plastik berisi pakaian itu aku masukkan ke tempat sampah terdekat. Lalu dengan langkah ringan, aku memasuki tempat pemeriksaan untuk memasuki bagian dalam bandara. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di kota ini lagi. Kota yang telah merenggut segalanya dariku.
–––
*Sapaan untuk saudara perempuan dari pihak ayah pada suku Batak.
**Sapaan untuk kakek dan nenek pada suku Batak.
Terima kasih sudah membaca~ Jika menyukai cerita ini, bantu vote, ya. Terima kasih atas dukungannya. ♡
Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass. Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan. “Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya. “Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya. Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk me
“Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?” “Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?” “Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak. “Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak. Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku. Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain meme
“Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya. “Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti. “Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung. “Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku. “Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat men
Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut. Tiba di de
~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir
~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j
Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark