Ayam jantan Mak Endah berkokok nyaring di atas pagar rumah. Aku membuka mata. Otakku langsung mengingatkan akan meeting pagi ini. Aku menyambar handuk dan menghambur ke kamar mandi. Ternyata sudah ada yang mendahuluiku.
Sambil menguap aku membuat segelas es teh manis. Aku penggemar berat es teh manis. Kapan pun, di mana pun, minumanku pasti es teh manis. Saat aku tengah menyeruput minuman, Richard keluar dari kamar mandi. Aku nyaris menyemburkan minumanku. "Pagi, Hazel," sapa Richard dengan tampilan super seksinya. Rambut ikal yang masih basah, kemeja yang belum terkancing, tatapan sayu. "Pagi...." Aku terbatuk-batuk dengan hebat. "Minumnya pelan-pelan dong." Richard menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Habis pagi-pagi lihat penampakan." "Penampakan? Mana?" Richard mengernyit. Aku tidak menjawab. Sebelum Richard bertanya lagi aku segeSelesai urusan dengan Irwan. Aku mengirim pesan singkat pada Richard. Dia memberitahu untuk mencari sebuah rumah makan di dekat sana. Aku menemukan tempat yang dimaksud Richard dengan mudah, letaknya sederet dengan kantor Wahyu hanya berselisih enam ruko. Satu lelaki ganteng saja menarik perhatian orang, apalagi dua, kembar identik pula! Aku sampai merasa tidak percaya diri untuk duduk di samping Richard di bawah tatapan mata orang-orang. "Gimana hasilnya?" tanya Richard. Secara sengaja dia meletakkan lengan di sandaran kursiku. "Bagus. Aku udah tanda tangan kontrak." Aku menyeringai. "Hebat, Hazel-ku," puji Richard. Aku pura-pura sibuk dengan sesuatu dalam tasku untuk menyembunyikan wajah yang merona. "Huh, kalian manis sekali," ledek Bryan. "Iri? Carilah pacar tetap," tukas Richard. "Tunggu temanku ya, tadi dia ngajak
Peluit berbunyi tanda kereta akan segera berangkat. Aku teringat akan lagu anak-anak jaman dulu tentang kereta api. Naik kereta api, tut tut tut... "Jangan bengong," ledek Richard. "Nggak kok, cuma melamun," balasku. "Bedanya apa?" "Dari bentuk hurufnya aja udah beda," sahutku asal. Richard tersenyum geli tanpa bermaksud memperpanjang masalah. "Ngomong-ngomong tadi ngobrol apa aja sama Bryan?" tanyaku. "Pekerjaan." "Oh, ada masalah di kantornya?" "Bukan masalah besar, cuma meneruskan proyek yang kupegang dulu." "Hmm...." Richard menatapku, "Ada yang aneh?" "Kamu merasa aneh nggak?" "Tentang apa?" Richard tampak berusaha mencerna pembicaraan dengan baik dan sabar. "Ayahmu begitu mudah membiarkanmu pergi dan m
Aku memperhatikan wajah Richard. Tidak ada luka atau lebam sama sekali. Cedera dari mananya? Richard menjepit hidungku dengan gemas. "Lihat apa?" Richard terlihat keki. "Tadi kurang keras kali ya?" sahutku asal. "Tega sekali kamu...," gerutu Richard. Aku terkekeh, "Sorry, nggak sengaja. Lampu nggak nyala aku kan nggak bisa lihat apa-apa." "Coba matikan lagi lampunya." Mata Richard berkilat penuh makna. Aku merasakan bahaya mengancam, "Nggak!" "Kenapa? Takut gelap?" "Apa sih?" Aku beringsut menjauh. Sebelum berhasil kabur Richard sudah mendorongku jatuh dan menahan tanganku di kasur. Aku sedikit panik melihat wajahnya mendekat. Richard mengamatiku. "Hazel, kenapa panik begitu?" tanya Richard dengan lembut. Aku mengatur nafas, "Nggak tau." "Kamu a
Pagi-pagi Richard sudah bangun dan bersiap untuk berangkat ke galeri. Aku juga harus bertemu Bu Sukma, tapi tidak sepagi Richard. Elisabet sudah menyiapkan sarapan sederhana, beberapa tangkup roti lapis. "Aku berangkat dulu, sampai nanti sore." Richard mengecup pipiku. "Oke, bye. Nanti aku mampir," sahutku singkat. "Oke." Richard pun pergi. Aku termenung. Kami berdua kok seperti suami istri yang berpisah ke tempat kerja masing-masing ya? Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran aneh yang mampir itu. "Pusing? Iya sih, dulu Mama juga pusing waktu masih pacaran," sambar Elisabet seperti kilat di siang bolong. "Mama jahil." Aku menjulurkan lidah. "Paling enak memang jahilin anak sendiri. Nggak bisa ngelawan kan?" Elisabet tertawa puas. "Mama dulu ditentang orangtua nggak?" tanyaku. "Kebetulan hubungan Ma
Sore hari ketika Richard tiba di rumah, aku sedang sibuk memotong bawang merah untuk membuat tempe bacem. Mataku sudah mulai terasa pedas. "Udah belum? Jangan digosok matanya, tanganmu kan habis pegang bawang!" seru Elisabet. Terlambat. Mataku perih sekali. Aku cepat-cepat mencuci muka di wastafel. Kubiarkan air yang dingin mengalir di kelopak mataku. "Nanti juga hilang sendiri." Elisabet tertawa. "Richard udah pulang tuh." "Apa hubungannya? Mata lagi kepedasan gini malah disuruh cari Richard," keluhku. "Sana, pergi." Elisabet menghalauku. Dia melanjutkan sendiri proses memotong bahan masakan. Aku menggerutu panjang lebar tapi akhirnya kakiku melangkah naik tangga. Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku sudah mengetuk pintu kamar Richard. "Masuk." Pintu mengeluarkan suara berderit halus saat kudorong. Aku berjinjit masuk
"Ma," panggilku. "Apa?" Elisabet menoleh. Tangannya yang memegang kuas tergantung di udara. "Hmm...." Aku menyusun kalimat dalam pikiran. Elisabet mengembalikan fokus pada lukisan yang sedang dikerjakannya, sebuah replika dari lukisan Basoeki Abdullah. "Ngomong aja, jangan malu-malu," kata Elisabet. "Emmm...." Aku menggumam panjang tanpa berhasil menemukan kata-kata yang tepat. Atau lebih tepatnya aku malu. "Apa hayo?" pancing Elisabet. "Itu, ada sedikit masalah...." "Pacar?" "Iya, semacam itu." "Kalo kamu nggak kasih tau Mama nggak bakal ngerti loh." "Itu... Kata Richard aku ada masalah." "Oh? Yang punya masalah kamu, kenapa Richard yang kasih tau?" "Habisnya dia yang ngerasain." Aku tersipu. "Ayo jangan be
"Richard, gimana kalau ayahmu tiba-tiba muncul dan menyuruhmu pulang?" tanyaku mendadak. "Firasat buruk?" Richard menatapku. "Kepikiran aja. Kan nggak lucu kalau serombongan orang mendadak muncul di depan rumah." Aku masih mengingat dengan jelas usaha Abram untuk menculikku dari apartemen. "Lihat situasi, nggak bisa dibicarakan sekarang." Richard tampak serius. Aku termenung. Ya betul, pada saatnya nanti Richard pasti akan kembali pada keluarganya. Tidak mungkin dia menjadi orang biasa sepertiku. Sial. Aku langsung merasa tidak percaya diri. Pagi ini Richard membantuku memotong rumput di pekarangan rumah yang mulai tinggi. Memakai baju kemeja lusuh peninggalan papa membuatnya terlihat seperti seorang suami yang baik. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir imajinasi liar yang mampir di otakku. Bukan salahku, hanya saja Richard terlalu ganteng untuk ukuran s
Richard menetap di kamarku sementara aku sibuk dengan desain. Dia memperhatikan setiap gerakanku. Mulanya aku merasa tertekan, tapi lama kelamaan perilaku aneh Richard dapat kuabaikan. Kuanggap saja seperti seekor kucing yang sedang bergelung malas di tempat tidur. Sesekali aku melirik Richard. Lama-lama aku merasa dia semakin mirip dengan kucing. Aku menggigit bibir untuk menahan tawa. Fokus kerjaku buyarlah sudah. "Ada yang lucu?" Dengan enaknya Richard menarik kursiku hingga beradu dengan tempat tidur. "Nggak! Apa sih? Ganggu orang kerja ih," seruku pura-pura galak. "Makin dilihat kamu makin manis." Richard mulai merayu. "Lagi nggak ada kerjaan jadi mengkhayal ya? Bikinin teh manis dong?" Aku menyeringai. "Hmm...." Richard memutar kursiku seperti mainan. Melihat tingkah Richard yang semakin manja aku bangkit. Biar saja dia mengambil ku