Pagi-pagi Richard sudah bangun dan bersiap untuk berangkat ke galeri. Aku juga harus bertemu Bu Sukma, tapi tidak sepagi Richard. Elisabet sudah menyiapkan sarapan sederhana, beberapa tangkup roti lapis.
"Aku berangkat dulu, sampai nanti sore." Richard mengecup pipiku. "Oke, bye. Nanti aku mampir," sahutku singkat. "Oke." Richard pun pergi. Aku termenung. Kami berdua kok seperti suami istri yang berpisah ke tempat kerja masing-masing ya? Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran aneh yang mampir itu. "Pusing? Iya sih, dulu Mama juga pusing waktu masih pacaran," sambar Elisabet seperti kilat di siang bolong. "Mama jahil." Aku menjulurkan lidah. "Paling enak memang jahilin anak sendiri. Nggak bisa ngelawan kan?" Elisabet tertawa puas. "Mama dulu ditentang orangtua nggak?" tanyaku. "Kebetulan hubungan MaSore hari ketika Richard tiba di rumah, aku sedang sibuk memotong bawang merah untuk membuat tempe bacem. Mataku sudah mulai terasa pedas. "Udah belum? Jangan digosok matanya, tanganmu kan habis pegang bawang!" seru Elisabet. Terlambat. Mataku perih sekali. Aku cepat-cepat mencuci muka di wastafel. Kubiarkan air yang dingin mengalir di kelopak mataku. "Nanti juga hilang sendiri." Elisabet tertawa. "Richard udah pulang tuh." "Apa hubungannya? Mata lagi kepedasan gini malah disuruh cari Richard," keluhku. "Sana, pergi." Elisabet menghalauku. Dia melanjutkan sendiri proses memotong bahan masakan. Aku menggerutu panjang lebar tapi akhirnya kakiku melangkah naik tangga. Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku sudah mengetuk pintu kamar Richard. "Masuk." Pintu mengeluarkan suara berderit halus saat kudorong. Aku berjinjit masuk
"Ma," panggilku. "Apa?" Elisabet menoleh. Tangannya yang memegang kuas tergantung di udara. "Hmm...." Aku menyusun kalimat dalam pikiran. Elisabet mengembalikan fokus pada lukisan yang sedang dikerjakannya, sebuah replika dari lukisan Basoeki Abdullah. "Ngomong aja, jangan malu-malu," kata Elisabet. "Emmm...." Aku menggumam panjang tanpa berhasil menemukan kata-kata yang tepat. Atau lebih tepatnya aku malu. "Apa hayo?" pancing Elisabet. "Itu, ada sedikit masalah...." "Pacar?" "Iya, semacam itu." "Kalo kamu nggak kasih tau Mama nggak bakal ngerti loh." "Itu... Kata Richard aku ada masalah." "Oh? Yang punya masalah kamu, kenapa Richard yang kasih tau?" "Habisnya dia yang ngerasain." Aku tersipu. "Ayo jangan be
"Richard, gimana kalau ayahmu tiba-tiba muncul dan menyuruhmu pulang?" tanyaku mendadak. "Firasat buruk?" Richard menatapku. "Kepikiran aja. Kan nggak lucu kalau serombongan orang mendadak muncul di depan rumah." Aku masih mengingat dengan jelas usaha Abram untuk menculikku dari apartemen. "Lihat situasi, nggak bisa dibicarakan sekarang." Richard tampak serius. Aku termenung. Ya betul, pada saatnya nanti Richard pasti akan kembali pada keluarganya. Tidak mungkin dia menjadi orang biasa sepertiku. Sial. Aku langsung merasa tidak percaya diri. Pagi ini Richard membantuku memotong rumput di pekarangan rumah yang mulai tinggi. Memakai baju kemeja lusuh peninggalan papa membuatnya terlihat seperti seorang suami yang baik. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir imajinasi liar yang mampir di otakku. Bukan salahku, hanya saja Richard terlalu ganteng untuk ukuran s
Richard menetap di kamarku sementara aku sibuk dengan desain. Dia memperhatikan setiap gerakanku. Mulanya aku merasa tertekan, tapi lama kelamaan perilaku aneh Richard dapat kuabaikan. Kuanggap saja seperti seekor kucing yang sedang bergelung malas di tempat tidur. Sesekali aku melirik Richard. Lama-lama aku merasa dia semakin mirip dengan kucing. Aku menggigit bibir untuk menahan tawa. Fokus kerjaku buyarlah sudah. "Ada yang lucu?" Dengan enaknya Richard menarik kursiku hingga beradu dengan tempat tidur. "Nggak! Apa sih? Ganggu orang kerja ih," seruku pura-pura galak. "Makin dilihat kamu makin manis." Richard mulai merayu. "Lagi nggak ada kerjaan jadi mengkhayal ya? Bikinin teh manis dong?" Aku menyeringai. "Hmm...." Richard memutar kursiku seperti mainan. Melihat tingkah Richard yang semakin manja aku bangkit. Biar saja dia mengambil ku
Hari ini aku bertekad menemani Richard ke studio. Satu minggu ini dia bekerja tanpa mengeluh. Tidak ada keluhan, hanya rasa lelah dan luka lecet di tangan. Aku tahu Richard tidak akan berkata jujur tentang kondisi pekerjaannya. Aku harus melihat sendiri. Aku sudah sering menemani Elisabet ke galeri, jadi jalur perjalanan ke sana sudah kuhafal luar kepala. Kami naik kendaraan umum selama setengah jam dan dilanjutkan berjalan kaki selama lima belas menit, tibalah kami di galeri. "Kamu mau temani seharian?" tanya Richard ragu. "Boleh kan?" Aku mengulum bibir. "Aku sih boleh aja, entah Pak Gatot." "Aku kenal dia kok." Kami berjalan masuk ke bagian belakang galeri. Ada sebuah bangunan terpisah dengan pekarangan luas. Aroma kayu menyambut indera penciuman. "Hei, lama nggak ketemu, Hazel! Nggak sama Elisabet?" sapa Pak Gatot.
Tiba di rumah aku dikejutkan dengan penampakan sebuah motor sport yang parkir dalam pekarangan. Richard terlihat cuek dan langsung melenggang masuk rumah. Aku mengikuti dengan was-was. "Jadi sekarang kamu full time kompetisi?" "Iya, Tante. Kadang dikirim ke luar negeri. Ini aja baru pulang dari Korea Selatan." "Ohh wah hebat ya. Semoga sukses terus ke depannya." Aku berusaha membuat diriku transparan, tapi Richard tidak. Dia menyapa tamu yang sedang duduk di sofa. "Bertemu lagi," sapa Richard dengan ramah. "Nah, ini orangnya pulang. Hazel? Teman lamamu nih, Hendri," kata Elisabet. Aku meringis, "Tempo hari udah ketemu." "Kok nggak cerita? Oya, Hendri, ini Richard pacarnya Hazel." Elisabet memperkenalkan. "Kami udah kenalan, Tante." Hendri tersenyum. "Kalian anak-anak muda ngobrollah
"Whaaattt?? Richard ketemu siapa? Di mana? Bagaimana? Coba lo jelasin lebih pelan sedikit?" Suara Wahyu terdengar nyaring. Aku mengernyit menjauhkan handphone dari telinga. "Hazel? Ayo cerita! Mumpung lagi nggak ada orang di sini!" desak Wahyu. "Bacot lo kayaknya tambah gede, Bro. Budeg kuping gue!" sergahku. "Hahahaha sorry, sorry. Oke, gue kalem. Lembut. Cerita yang lengkap dong?" "Kita berdua ketemu sama cowok yang gue taksir waktu SMA." "Ih, CLBK! Langsung dihajar dong sama Richard?" "Dari Hong Kong. Teman gue instruktur taekwondo, Bro! Gue nggak tau siapa yang bakal menang kalau berantem." Aku menghela nafas. "Tapi pada intinya sekarang kan lo pacarnya Richard. Temen lo udah nggak ada hubungan apa-apa kan, Bro?" "Ya nggak lah! Baru sekarang ketemu lagi kok." "Kayak drama korea
Sapuan kuas di tangan Richard sedikit tidak stabil. Wajahnya begitu serius, kedua alis bertaut. Aku tersenyum geli melihat keseriusannya belajar melukis. Elisabet pun turut mengawasi dari sebelah sana. Richard mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Aku benar-benar menahan tawa sampai terbungkuk. Cat bewarna kuning melintang di dahi Richard. Aku mengusap cat nyasar itu dengan sepotong kain. "Melihat cara kerja kalian satu lukisan pun nggak akan selesai," ledek Elisabet. "Mama...." Wajahku merah padam. Richard meringis, "Ternyata melukis nggak semudah yang terlihat." "Betul sekali. Perlu latihan dan kesabaran," ujar Elisabet. "Aku akan coba selesaikan lukisan ini di waktu luang," kata Richard. "Bagus. Kalau selesai akan kubawa ke galeri," kata Elisabet. "Lumayan kalau terjual," timpalku. R