"Aku cuma mau ambil barang-barang yang masih ketinggalan di apartemen kok. Habis itu langsung pulang." Aku bersiap pergi dengan ransel kosong.
"Oke, hati-hati di jalan," ujar Elisabet. "Mama mau titip apa?" "Ah, percuma titip sama kamu. Kalau baliknya sama Richard pasti lupa. Kayak tempo hari, Mama titip air mata pengantin aja nggak dibeliin." "Nggak sengaja Ma, itu gara-gara...." Wajahku merona teringat saat berduaan dengan Richard di kincir ria. Tidak mungkin aku menceritakan alasanku kan? "Sorry, Ma...," lirihku. "Yang penting pulang dengan selamat. Dah sana, buruan pergi." Aku pun memulai perjalananku menuju ibukota. Kemarin aku sudah janjian dengan Richard untuk bertemu di apartemenku. Kami akan menghabiskan hari Minggu ini bersama dan Richard bersedia mengantarku pulang. Dua setengah jam kemudian aku tiba di apart"Ini Ma, titipannya." Aku menyerahkan dua buah pot bibit air mata pengantin. "Taruh aja di depan," sahut Elisabet tanpa menyentuh kedua pot itu. Kedengarannya dia sedang berada di halaman belakang. "Oke deh." Aku meletakkan kedua pot di teras. Richard membawakan ranselku yang penuh dengan pakaian, "Ini taruh di mana?" tanyanya. "Di kamarku. Ayo." Aku berjalan mendahului ke kamar. Richard meletakkan ransel di tempat tidur. Dia melihat sekeliling. Aku berlagak cuek. Kalau Richard mau melihat-lihat silakan saja, tidak ada yang melarang kok. "Rapi juga," puji Richard. "Iya dong. Aku kan cewek," sahutku. "Aku lelaki pertama masuk kamarmu ya?" "Iya," jawabku tanpa berpikir. "Baguslah," desah Richard. Aku menatapnya. Apa yang dia pikirkan? Lelaki pertama yang masuk ke ka
Tepat jam duabelas kami bertiga sudah duduk di meja makan. Sepiring besar sayuran rebus, telur rebus, saus kacang, juga krupuk udang tersaji dengan cantik di tengah meja. "Ayo makan, jangan malu-malu," ajak Elisabet. "Dia mah udah nggak malu-malu, Ma," cetusku. Richard hanya bisa meringis. "Benar juga. Kalau malu-malu mana bisa dapat anak Mama," goda Elisabet. Aku mendelik. Pipiku terasa hangat. "Richard kalau pulang kemalaman kamu boleh nginap di sini. Kebetulan ada satu kamar kosong," kata Elisabet. "Mama...." Aku mendadak pusing. Kenapa mamaku seperti ini? "Terima kasih, Bu, tapi kurang baik kalau saya menginap di sini. Saya bisa cari hotel." Richard menolak dengan halus. "Pemikiranmu bagus," puji Elisabet. "Harus lah. Umurnya aja udah berapa," ledekku. Richard
Malam hari yang mencekam di kediaman Abram Yilmaz... Tadi siang Abram sudah memerintahkan kedua putranya untuk datang makan malam bersama. Ada hal penting yang harus dibicarakan khususnya dengan Richard. Kini ketiga lelaki itu sudah duduk mengelilingi meja makan yang dipenuhi berbagai hidangan lezat. Bryan makan dengan lahap sementara Richard kebalikannya, cara makannya tenang dan cenderung anggun. "Richard, kenapa kamu masih berhubungan dengan wanita muda itu?" Abram membuka suara. Bryan mengangkat wajah. Richard tersenyum, "Karena aku menyukai Hazel, Ayah." "Masih bisa memanggilku 'ayah'? Segera putuskan hubungan kalian." Abram menatap tajam. "Ayah, ada hal-hal yang tidak bisa diatur dalam hidup ini, salah satunya adalah relasi percintaan." Richard tetap tenang. "Kamu tidak peduli bagaimana pandangan orang terhadap ke
Aku terheran melihat nama Richard di layar handphone. Pagi sekali dia menelepon? Ini bukannya baru hari Rabu, masih hari kerja? Apakah orang ini terlalu banyak waktu senggang? "Halo?" sapaku. "Hai, Hazel. Kamu lagi ngapain?" Suara Richard terdengar secerah matahari pagi. "Baru bangun. Kamu lagi ngapain? Tumben pagi banget nelponnya?" "Nanti temani aku ya?" "Ke mana?" "Cari apartemen." Otakku bekerja keras tapi tidak menemukan jawaban yang pas. Richard cari apartemen? Bukannya dia tinggal di penthouse? Untuk apa dia cari lagi? Pindah tempat tinggalkah? "Bingung ya? Nanti aja kuceritakan." Richard tertawa. "Oke deh. Eehh kamu mau ke sini?" "Iya. Aku udah di mobil nih, siap jalan." "Hah?" "Tunggu ya. See you." Percakapan terputus
Melihat Richard melangkah maju dengan hidupnya aku merasa ketinggalan. Aku memang bisa menghasilkan uang dengan melukis, tapi apakah bisa mengalami peningkatan taraf hidup? Bagaimana kalau nanti aku sudah berkeluarga? Apakah Richard... Tunggu! Stop! Kenapa malah dia yang muncul dalam pikiranku?? Memangnya aku mau membangun keluarga bersama Richard?? Kalau benaran, mana tahan setiap hari harus melihat wajah ayah mertua seperti Abram?? Tidakkk... Aku mengeluh panjang lebar. Hasilnya kuas yang kupegang membuat coretan panjang di lukisanku yang sudah rampung sembilanpuluh persen. Sontak aku menjerit histeris. Kerjaku sia-sia! "Apa sih, Hazel? Kamu bikin Mama jantungan," gerutu Elisabet. "Mamaaaa...," tangisku menyayat hati. Elisabet melihat kecelakaan yang terjadi pada lukisanku, "Ya udah, anggap aja hasil akhirnya begitu. Kamu tambahkan ini sedikit, terus ini juga... Oh, sedikit
Hari pertama menghabiskan waktu di apartemen Richard... Belum banyak yang bisa kulakukan. Atas permintaan Richard hari ini aku memakai kemeja. Dia mengajakku meeting dengan seorang klien baru. Pukul sembilan tepat kami berangkat. "Nanti begitu topik pembicaraan mengarah ke promosi, aku serahkan sama kamu ya." "Oke. Atur aja." Aku tersenyum. "Kupikir mencari klien yang nggak berhubungan dengan Yilmaz Group akan sulit, tapi untungnya nggak." "Kamu asal cari?" "Beberapa kenalan lama, beberapa lagi kudapat dari media sosial perusahaan mereka." "Ooo..." Richard melajukan mobil ke sebuah gedung perkantoran. Saat turun dari mobil diam-diam aku memperhatikan Richard. Tidak ada lagi stelan jas mahal di tubuhnya, begitu juga dengan sepatu. Tampaknya dia benar-benar ingin melepas identitas sebagai putra konglomerat. &n
Satu minggu maraton meeting bersama Richard cukup melelahkan. Aku juga mulai bosan karena setiap hari melihat wajahnya. Sepertinya aku butuh perubahan suasana. Karena besok adalah hari Sabtu, sore ini aku mencoba mengirim pesan singkat pada Wahyu. Ingat Wahyu kan? Mantan teman sekantorku yang sedikit gila, sedikit heboh, sedikit dramatis. Pada intinya dia adalah gabungan dari 'sedikit'-nya banyak hal. 'Woi, masih hidup nggak lo?' bunyi pesan singkat yang kukirim untuk Wahyu. 'Broooooo kemane aje looooo?? Gue kangennnnnnn!!!!!!' balas Wahyu dengan kelimpahan tanda baca. 'Hahaha lo yang nggak ada kabar! Besok libur nggak? Main yuk?' ajakku. 'Boleh!! Besok gue ke apartemen lo!' Wahyu membalas dengan antusias. 'Gue udah pindah balik ke rumah nyokap.' 'WHAT?? Gue harus keluar kota gitu?' 'Sekalian nginap sini! Sepi banget gu
Richard bersikeras ikut menjemput Wahyu meskipun aku melarang sekuat tenaga bahkan sampai mengancam. Dasar kepala batu. Dia belum merasakan kehebohan maksimalnya Wahyu. Aku merengut bersungut-sungut, membuat suasana di dalam mobil keruh seperti selokan mampet. Sesekali Richard melirik tak berdaya. Rasain! Siapa suruh memaksakan kehendak! Sudah tahu aku juga kepala batu. Handphoneku berdering memecah keheningan yang mencekam. "Gue udah sampai! Lo di mana?" Suara Wahyu begitu keras tanpa memakai speaker. "Tunggu di gerbang utama, ntar gue ke sana," jawabku singkat. "Oke, Bro!" Aku bisa membayangkan Wahyu sedang berlari-lari kecil menuju lokasi yang kusebutkan. "Perlu ditemani?" tanya Richard. "Nggak usah... Nanti malah bikin heboh di dalam...." gerutuku. Turun dari mobil aku langsung menuju bangunan uta
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe