Aku terheran melihat nama Richard di layar handphone. Pagi sekali dia menelepon? Ini bukannya baru hari Rabu, masih hari kerja? Apakah orang ini terlalu banyak waktu senggang?
"Halo?" sapaku. "Hai, Hazel. Kamu lagi ngapain?" Suara Richard terdengar secerah matahari pagi. "Baru bangun. Kamu lagi ngapain? Tumben pagi banget nelponnya?" "Nanti temani aku ya?" "Ke mana?" "Cari apartemen." Otakku bekerja keras tapi tidak menemukan jawaban yang pas. Richard cari apartemen? Bukannya dia tinggal di penthouse? Untuk apa dia cari lagi? Pindah tempat tinggalkah? "Bingung ya? Nanti aja kuceritakan." Richard tertawa. "Oke deh. Eehh kamu mau ke sini?" "Iya. Aku udah di mobil nih, siap jalan." "Hah?" "Tunggu ya. See you." Percakapan terputusMelihat Richard melangkah maju dengan hidupnya aku merasa ketinggalan. Aku memang bisa menghasilkan uang dengan melukis, tapi apakah bisa mengalami peningkatan taraf hidup? Bagaimana kalau nanti aku sudah berkeluarga? Apakah Richard... Tunggu! Stop! Kenapa malah dia yang muncul dalam pikiranku?? Memangnya aku mau membangun keluarga bersama Richard?? Kalau benaran, mana tahan setiap hari harus melihat wajah ayah mertua seperti Abram?? Tidakkk... Aku mengeluh panjang lebar. Hasilnya kuas yang kupegang membuat coretan panjang di lukisanku yang sudah rampung sembilanpuluh persen. Sontak aku menjerit histeris. Kerjaku sia-sia! "Apa sih, Hazel? Kamu bikin Mama jantungan," gerutu Elisabet. "Mamaaaa...," tangisku menyayat hati. Elisabet melihat kecelakaan yang terjadi pada lukisanku, "Ya udah, anggap aja hasil akhirnya begitu. Kamu tambahkan ini sedikit, terus ini juga... Oh, sedikit
Hari pertama menghabiskan waktu di apartemen Richard... Belum banyak yang bisa kulakukan. Atas permintaan Richard hari ini aku memakai kemeja. Dia mengajakku meeting dengan seorang klien baru. Pukul sembilan tepat kami berangkat. "Nanti begitu topik pembicaraan mengarah ke promosi, aku serahkan sama kamu ya." "Oke. Atur aja." Aku tersenyum. "Kupikir mencari klien yang nggak berhubungan dengan Yilmaz Group akan sulit, tapi untungnya nggak." "Kamu asal cari?" "Beberapa kenalan lama, beberapa lagi kudapat dari media sosial perusahaan mereka." "Ooo..." Richard melajukan mobil ke sebuah gedung perkantoran. Saat turun dari mobil diam-diam aku memperhatikan Richard. Tidak ada lagi stelan jas mahal di tubuhnya, begitu juga dengan sepatu. Tampaknya dia benar-benar ingin melepas identitas sebagai putra konglomerat. &n
Satu minggu maraton meeting bersama Richard cukup melelahkan. Aku juga mulai bosan karena setiap hari melihat wajahnya. Sepertinya aku butuh perubahan suasana. Karena besok adalah hari Sabtu, sore ini aku mencoba mengirim pesan singkat pada Wahyu. Ingat Wahyu kan? Mantan teman sekantorku yang sedikit gila, sedikit heboh, sedikit dramatis. Pada intinya dia adalah gabungan dari 'sedikit'-nya banyak hal. 'Woi, masih hidup nggak lo?' bunyi pesan singkat yang kukirim untuk Wahyu. 'Broooooo kemane aje looooo?? Gue kangennnnnnn!!!!!!' balas Wahyu dengan kelimpahan tanda baca. 'Hahaha lo yang nggak ada kabar! Besok libur nggak? Main yuk?' ajakku. 'Boleh!! Besok gue ke apartemen lo!' Wahyu membalas dengan antusias. 'Gue udah pindah balik ke rumah nyokap.' 'WHAT?? Gue harus keluar kota gitu?' 'Sekalian nginap sini! Sepi banget gu
Richard bersikeras ikut menjemput Wahyu meskipun aku melarang sekuat tenaga bahkan sampai mengancam. Dasar kepala batu. Dia belum merasakan kehebohan maksimalnya Wahyu. Aku merengut bersungut-sungut, membuat suasana di dalam mobil keruh seperti selokan mampet. Sesekali Richard melirik tak berdaya. Rasain! Siapa suruh memaksakan kehendak! Sudah tahu aku juga kepala batu. Handphoneku berdering memecah keheningan yang mencekam. "Gue udah sampai! Lo di mana?" Suara Wahyu begitu keras tanpa memakai speaker. "Tunggu di gerbang utama, ntar gue ke sana," jawabku singkat. "Oke, Bro!" Aku bisa membayangkan Wahyu sedang berlari-lari kecil menuju lokasi yang kusebutkan. "Perlu ditemani?" tanya Richard. "Nggak usah... Nanti malah bikin heboh di dalam...." gerutuku. Turun dari mobil aku langsung menuju bangunan uta
Mobil Richard melaju ke sebuah taman kota. Lokasinya lumayan jauh dari rumah jadi aku tidak bisa kabur meninggalkan Richard sendiri. Nanti dia nyasar. Karena hari belum terlalu siang suasana masih sepi. Kami berjalan beriringan tanpa suara. Aku bisa merasakan kekecewaan Richard. Aku terhenyak. Apa? Sejak kapan aku bisa merasakan perasaan orang lain, khususnya Richard? Alisku bertaut. Pasti ada yang salah. "Hazel, mau ke mana?" panggil Richard. Aku tersadar dari lamunan. Ternyata Richard sudah duduk di bangku taman sementara aku terus berjalan. Cepat-cepat aku duduk di sebelahnya. "Aku benar-benar menyukaimu." Richard memecah keheningan. Apa yang harus kukatakan? Aku sudah pernah mengatakan hal yang sama kok. Hanya saja saat itu situasinya berbeda. "Bisakah kamu katakan alasan sebenarnya yang membuatmu sulit memberi jawaban?" tanya Richard.  
"Ha ha ha dari muka lo gue udah tau!" Wahyu memicingkan mata. "Udah deh, jangan macam-macam. Orangnya masih di depan loh." Aku mengingatkan. "Nggak usah lo kasih tau, gue bisa cium dari baunya." Wahyu mengendus-endus seperti anjing pelacak. Aku mundur selangkah. Ini temanku sedang kerasukan siluman anjing atau kenapa ya? "Bro, kalian baru ciuman kan?" Wahyu menyeringai horor. "Berisik!" Wajahku langsung memanas. Wahyu tertawa ngakak, "Padahal gue asal nebak, Bro! Beneran ya? Kalian udah jadian dong? Wah, lo harus berterima kasih sama gue!" "Kenape lo? Kebetulan aja kali?" Aku merengut tidak rela. "Kan gara-gara obrolan kita tadi makanya Richard, eh, pacar lo--" "Kecilin suara!" Aku melotot. "Kenapa harus bisik-bisik? Udah bukan rahasia, kan?" "Ah, terserah l
Dua minggu berlalu. Aku dan Richard sudah menemukan ritme dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Aku bekerja dari rumah dengan nyaman sementara bagian Richard adalah meeting dengan klien. Setiap sore Richard akan mampir untuk mengecek pekerjaan sekaligus ngobrol. Akhir minggu kami akan berkeliaran berdua menjelajahi kota. Hidup tampaknya berjalan normal. Hari ini pun adalah salah satu dari hari-hari normal tersebut. Seperti kebiasaannya jam empat sore Richard sudah berada di rumahku. Laptop kami berjejer di meja ruang tamu yang agak pendek, jadi kami duduk di lantai. "Menurutmu itu oke?" Aku mengernyit. "Kenapa nggak? Seleranya emang begitu. Tinggal dirubah sedikit kan?" Richard duduk begitu dekat denganku. "Sana dikit, panas ih." Aku mendorongnya menjauh. "Apa?" "Jauh dikit. Gerah." Aku merengut. "Kamu manis kalau lagi ngambek," goda
"What? Kejam banget bapak mertua lo?" seru Wahyu begitu kerasnya sampai handphoneku bergetar. "Woi, bapak mertua dari Hong Kong! Sembarangan ngomong lo!" sergahku. "Lo kan jadian sama anaknya? Dia jadi bapak mertua dong? Nggak salah kan gue?" Wahyu tertawa bahagia. Aku melirik Richard yang sedang membaca sesuatu di laptop. Mudah-mudahan dia tidak salah paham lagi dengan percakapan ini. "Udah ah, topiknya nggak banget. Menurut lo usul gue tadi gimana? Prospeknya oke nggak?" Aku mengalihkan topik pembicaraan yang memanas. "Lo coba aja, Bro. Langsung berhubungan sama Creative Director kita. Siapa tau bisa lolos jadi freelancer." "Oke. Alamat emailnya udah benar ya?" "Benar dong. Doi kan atasan gue! Kalau jadi ketemuan ngomongin yang baik-baik tentang gue yaaaa??" "Hah? Kenapa? Lo pingin naik gaji?" Wahyu