Richard bersikeras ikut menjemput Wahyu meskipun aku melarang sekuat tenaga bahkan sampai mengancam. Dasar kepala batu. Dia belum merasakan kehebohan maksimalnya Wahyu.
Aku merengut bersungut-sungut, membuat suasana di dalam mobil keruh seperti selokan mampet. Sesekali Richard melirik tak berdaya. Rasain! Siapa suruh memaksakan kehendak! Sudah tahu aku juga kepala batu. Handphoneku berdering memecah keheningan yang mencekam. "Gue udah sampai! Lo di mana?" Suara Wahyu begitu keras tanpa memakai speaker. "Tunggu di gerbang utama, ntar gue ke sana," jawabku singkat. "Oke, Bro!" Aku bisa membayangkan Wahyu sedang berlari-lari kecil menuju lokasi yang kusebutkan. "Perlu ditemani?" tanya Richard. "Nggak usah... Nanti malah bikin heboh di dalam...." gerutuku. Turun dari mobil aku langsung menuju bangunan utaMobil Richard melaju ke sebuah taman kota. Lokasinya lumayan jauh dari rumah jadi aku tidak bisa kabur meninggalkan Richard sendiri. Nanti dia nyasar. Karena hari belum terlalu siang suasana masih sepi. Kami berjalan beriringan tanpa suara. Aku bisa merasakan kekecewaan Richard. Aku terhenyak. Apa? Sejak kapan aku bisa merasakan perasaan orang lain, khususnya Richard? Alisku bertaut. Pasti ada yang salah. "Hazel, mau ke mana?" panggil Richard. Aku tersadar dari lamunan. Ternyata Richard sudah duduk di bangku taman sementara aku terus berjalan. Cepat-cepat aku duduk di sebelahnya. "Aku benar-benar menyukaimu." Richard memecah keheningan. Apa yang harus kukatakan? Aku sudah pernah mengatakan hal yang sama kok. Hanya saja saat itu situasinya berbeda. "Bisakah kamu katakan alasan sebenarnya yang membuatmu sulit memberi jawaban?" tanya Richard.  
"Ha ha ha dari muka lo gue udah tau!" Wahyu memicingkan mata. "Udah deh, jangan macam-macam. Orangnya masih di depan loh." Aku mengingatkan. "Nggak usah lo kasih tau, gue bisa cium dari baunya." Wahyu mengendus-endus seperti anjing pelacak. Aku mundur selangkah. Ini temanku sedang kerasukan siluman anjing atau kenapa ya? "Bro, kalian baru ciuman kan?" Wahyu menyeringai horor. "Berisik!" Wajahku langsung memanas. Wahyu tertawa ngakak, "Padahal gue asal nebak, Bro! Beneran ya? Kalian udah jadian dong? Wah, lo harus berterima kasih sama gue!" "Kenape lo? Kebetulan aja kali?" Aku merengut tidak rela. "Kan gara-gara obrolan kita tadi makanya Richard, eh, pacar lo--" "Kecilin suara!" Aku melotot. "Kenapa harus bisik-bisik? Udah bukan rahasia, kan?" "Ah, terserah l
Dua minggu berlalu. Aku dan Richard sudah menemukan ritme dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Aku bekerja dari rumah dengan nyaman sementara bagian Richard adalah meeting dengan klien. Setiap sore Richard akan mampir untuk mengecek pekerjaan sekaligus ngobrol. Akhir minggu kami akan berkeliaran berdua menjelajahi kota. Hidup tampaknya berjalan normal. Hari ini pun adalah salah satu dari hari-hari normal tersebut. Seperti kebiasaannya jam empat sore Richard sudah berada di rumahku. Laptop kami berjejer di meja ruang tamu yang agak pendek, jadi kami duduk di lantai. "Menurutmu itu oke?" Aku mengernyit. "Kenapa nggak? Seleranya emang begitu. Tinggal dirubah sedikit kan?" Richard duduk begitu dekat denganku. "Sana dikit, panas ih." Aku mendorongnya menjauh. "Apa?" "Jauh dikit. Gerah." Aku merengut. "Kamu manis kalau lagi ngambek," goda
"What? Kejam banget bapak mertua lo?" seru Wahyu begitu kerasnya sampai handphoneku bergetar. "Woi, bapak mertua dari Hong Kong! Sembarangan ngomong lo!" sergahku. "Lo kan jadian sama anaknya? Dia jadi bapak mertua dong? Nggak salah kan gue?" Wahyu tertawa bahagia. Aku melirik Richard yang sedang membaca sesuatu di laptop. Mudah-mudahan dia tidak salah paham lagi dengan percakapan ini. "Udah ah, topiknya nggak banget. Menurut lo usul gue tadi gimana? Prospeknya oke nggak?" Aku mengalihkan topik pembicaraan yang memanas. "Lo coba aja, Bro. Langsung berhubungan sama Creative Director kita. Siapa tau bisa lolos jadi freelancer." "Oke. Alamat emailnya udah benar ya?" "Benar dong. Doi kan atasan gue! Kalau jadi ketemuan ngomongin yang baik-baik tentang gue yaaaa??" "Hah? Kenapa? Lo pingin naik gaji?" Wahyu
Kuakui selera Wahyu akan lelaki bertambah baik. Pagi ini aku meeting secara virtual dengan Creative Director atasan Wahyu dan berhadapan dengan seorang lelaki muda yang gantengnya tidak kalah dari Richard. Untung Richard masih belum turun dari loteng, kalau tidak dia pasti berjaga-jaga di sampingku. "Saya lihat portfolio kamu bagus. Tidak masalah untuk bekerja sama karena kami tidak membatasi diri pada desainer in house saja. Sudah ada beberapa freelancer juga yang bekerja sama dengan kami." tutur Irwan, si Creative Director. "Bagus. Saya juga bisa mulai kapan saja." Sebuah senyum manis terkembang di wajahku. "Kalau besok pagi datang ke head office kami untuk membicarakan fee sekaligus tanda tangan kontrak bagaimana?" "Tidak masalah. Jam berapa?" "Jam sepuluh." "Oke, bisa." "Lokasi kantornya sudah tahu?" "Saya akan tany
Ayam jantan Mak Endah berkokok nyaring di atas pagar rumah. Aku membuka mata. Otakku langsung mengingatkan akan meeting pagi ini. Aku menyambar handuk dan menghambur ke kamar mandi. Ternyata sudah ada yang mendahuluiku. Sambil menguap aku membuat segelas es teh manis. Aku penggemar berat es teh manis. Kapan pun, di mana pun, minumanku pasti es teh manis. Saat aku tengah menyeruput minuman, Richard keluar dari kamar mandi. Aku nyaris menyemburkan minumanku. "Pagi, Hazel," sapa Richard dengan tampilan super seksinya. Rambut ikal yang masih basah, kemeja yang belum terkancing, tatapan sayu. "Pagi...." Aku terbatuk-batuk dengan hebat. "Minumnya pelan-pelan dong." Richard menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Habis pagi-pagi lihat penampakan." "Penampakan? Mana?" Richard mengernyit. Aku tidak menjawab. Sebelum Richard bertanya lagi aku sege
Selesai urusan dengan Irwan. Aku mengirim pesan singkat pada Richard. Dia memberitahu untuk mencari sebuah rumah makan di dekat sana. Aku menemukan tempat yang dimaksud Richard dengan mudah, letaknya sederet dengan kantor Wahyu hanya berselisih enam ruko. Satu lelaki ganteng saja menarik perhatian orang, apalagi dua, kembar identik pula! Aku sampai merasa tidak percaya diri untuk duduk di samping Richard di bawah tatapan mata orang-orang. "Gimana hasilnya?" tanya Richard. Secara sengaja dia meletakkan lengan di sandaran kursiku. "Bagus. Aku udah tanda tangan kontrak." Aku menyeringai. "Hebat, Hazel-ku," puji Richard. Aku pura-pura sibuk dengan sesuatu dalam tasku untuk menyembunyikan wajah yang merona. "Huh, kalian manis sekali," ledek Bryan. "Iri? Carilah pacar tetap," tukas Richard. "Tunggu temanku ya, tadi dia ngajak
Peluit berbunyi tanda kereta akan segera berangkat. Aku teringat akan lagu anak-anak jaman dulu tentang kereta api. Naik kereta api, tut tut tut... "Jangan bengong," ledek Richard. "Nggak kok, cuma melamun," balasku. "Bedanya apa?" "Dari bentuk hurufnya aja udah beda," sahutku asal. Richard tersenyum geli tanpa bermaksud memperpanjang masalah. "Ngomong-ngomong tadi ngobrol apa aja sama Bryan?" tanyaku. "Pekerjaan." "Oh, ada masalah di kantornya?" "Bukan masalah besar, cuma meneruskan proyek yang kupegang dulu." "Hmm...." Richard menatapku, "Ada yang aneh?" "Kamu merasa aneh nggak?" "Tentang apa?" Richard tampak berusaha mencerna pembicaraan dengan baik dan sabar. "Ayahmu begitu mudah membiarkanmu pergi dan m