Hari pertama menghabiskan waktu di apartemen Richard...
Belum banyak yang bisa kulakukan. Atas permintaan Richard hari ini aku memakai kemeja. Dia mengajakku meeting dengan seorang klien baru. Pukul sembilan tepat kami berangkat. "Nanti begitu topik pembicaraan mengarah ke promosi, aku serahkan sama kamu ya." "Oke. Atur aja." Aku tersenyum. "Kupikir mencari klien yang nggak berhubungan dengan Yilmaz Group akan sulit, tapi untungnya nggak." "Kamu asal cari?" "Beberapa kenalan lama, beberapa lagi kudapat dari media sosial perusahaan mereka." "Ooo..." Richard melajukan mobil ke sebuah gedung perkantoran. Saat turun dari mobil diam-diam aku memperhatikan Richard. Tidak ada lagi stelan jas mahal di tubuhnya, begitu juga dengan sepatu. Tampaknya dia benar-benar ingin melepas identitas sebagai putra konglomerat. &nSatu minggu maraton meeting bersama Richard cukup melelahkan. Aku juga mulai bosan karena setiap hari melihat wajahnya. Sepertinya aku butuh perubahan suasana. Karena besok adalah hari Sabtu, sore ini aku mencoba mengirim pesan singkat pada Wahyu. Ingat Wahyu kan? Mantan teman sekantorku yang sedikit gila, sedikit heboh, sedikit dramatis. Pada intinya dia adalah gabungan dari 'sedikit'-nya banyak hal. 'Woi, masih hidup nggak lo?' bunyi pesan singkat yang kukirim untuk Wahyu. 'Broooooo kemane aje looooo?? Gue kangennnnnnn!!!!!!' balas Wahyu dengan kelimpahan tanda baca. 'Hahaha lo yang nggak ada kabar! Besok libur nggak? Main yuk?' ajakku. 'Boleh!! Besok gue ke apartemen lo!' Wahyu membalas dengan antusias. 'Gue udah pindah balik ke rumah nyokap.' 'WHAT?? Gue harus keluar kota gitu?' 'Sekalian nginap sini! Sepi banget gu
Richard bersikeras ikut menjemput Wahyu meskipun aku melarang sekuat tenaga bahkan sampai mengancam. Dasar kepala batu. Dia belum merasakan kehebohan maksimalnya Wahyu. Aku merengut bersungut-sungut, membuat suasana di dalam mobil keruh seperti selokan mampet. Sesekali Richard melirik tak berdaya. Rasain! Siapa suruh memaksakan kehendak! Sudah tahu aku juga kepala batu. Handphoneku berdering memecah keheningan yang mencekam. "Gue udah sampai! Lo di mana?" Suara Wahyu begitu keras tanpa memakai speaker. "Tunggu di gerbang utama, ntar gue ke sana," jawabku singkat. "Oke, Bro!" Aku bisa membayangkan Wahyu sedang berlari-lari kecil menuju lokasi yang kusebutkan. "Perlu ditemani?" tanya Richard. "Nggak usah... Nanti malah bikin heboh di dalam...." gerutuku. Turun dari mobil aku langsung menuju bangunan uta
Mobil Richard melaju ke sebuah taman kota. Lokasinya lumayan jauh dari rumah jadi aku tidak bisa kabur meninggalkan Richard sendiri. Nanti dia nyasar. Karena hari belum terlalu siang suasana masih sepi. Kami berjalan beriringan tanpa suara. Aku bisa merasakan kekecewaan Richard. Aku terhenyak. Apa? Sejak kapan aku bisa merasakan perasaan orang lain, khususnya Richard? Alisku bertaut. Pasti ada yang salah. "Hazel, mau ke mana?" panggil Richard. Aku tersadar dari lamunan. Ternyata Richard sudah duduk di bangku taman sementara aku terus berjalan. Cepat-cepat aku duduk di sebelahnya. "Aku benar-benar menyukaimu." Richard memecah keheningan. Apa yang harus kukatakan? Aku sudah pernah mengatakan hal yang sama kok. Hanya saja saat itu situasinya berbeda. "Bisakah kamu katakan alasan sebenarnya yang membuatmu sulit memberi jawaban?" tanya Richard.  
"Ha ha ha dari muka lo gue udah tau!" Wahyu memicingkan mata. "Udah deh, jangan macam-macam. Orangnya masih di depan loh." Aku mengingatkan. "Nggak usah lo kasih tau, gue bisa cium dari baunya." Wahyu mengendus-endus seperti anjing pelacak. Aku mundur selangkah. Ini temanku sedang kerasukan siluman anjing atau kenapa ya? "Bro, kalian baru ciuman kan?" Wahyu menyeringai horor. "Berisik!" Wajahku langsung memanas. Wahyu tertawa ngakak, "Padahal gue asal nebak, Bro! Beneran ya? Kalian udah jadian dong? Wah, lo harus berterima kasih sama gue!" "Kenape lo? Kebetulan aja kali?" Aku merengut tidak rela. "Kan gara-gara obrolan kita tadi makanya Richard, eh, pacar lo--" "Kecilin suara!" Aku melotot. "Kenapa harus bisik-bisik? Udah bukan rahasia, kan?" "Ah, terserah l
Dua minggu berlalu. Aku dan Richard sudah menemukan ritme dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Aku bekerja dari rumah dengan nyaman sementara bagian Richard adalah meeting dengan klien. Setiap sore Richard akan mampir untuk mengecek pekerjaan sekaligus ngobrol. Akhir minggu kami akan berkeliaran berdua menjelajahi kota. Hidup tampaknya berjalan normal. Hari ini pun adalah salah satu dari hari-hari normal tersebut. Seperti kebiasaannya jam empat sore Richard sudah berada di rumahku. Laptop kami berjejer di meja ruang tamu yang agak pendek, jadi kami duduk di lantai. "Menurutmu itu oke?" Aku mengernyit. "Kenapa nggak? Seleranya emang begitu. Tinggal dirubah sedikit kan?" Richard duduk begitu dekat denganku. "Sana dikit, panas ih." Aku mendorongnya menjauh. "Apa?" "Jauh dikit. Gerah." Aku merengut. "Kamu manis kalau lagi ngambek," goda
"What? Kejam banget bapak mertua lo?" seru Wahyu begitu kerasnya sampai handphoneku bergetar. "Woi, bapak mertua dari Hong Kong! Sembarangan ngomong lo!" sergahku. "Lo kan jadian sama anaknya? Dia jadi bapak mertua dong? Nggak salah kan gue?" Wahyu tertawa bahagia. Aku melirik Richard yang sedang membaca sesuatu di laptop. Mudah-mudahan dia tidak salah paham lagi dengan percakapan ini. "Udah ah, topiknya nggak banget. Menurut lo usul gue tadi gimana? Prospeknya oke nggak?" Aku mengalihkan topik pembicaraan yang memanas. "Lo coba aja, Bro. Langsung berhubungan sama Creative Director kita. Siapa tau bisa lolos jadi freelancer." "Oke. Alamat emailnya udah benar ya?" "Benar dong. Doi kan atasan gue! Kalau jadi ketemuan ngomongin yang baik-baik tentang gue yaaaa??" "Hah? Kenapa? Lo pingin naik gaji?" Wahyu
Kuakui selera Wahyu akan lelaki bertambah baik. Pagi ini aku meeting secara virtual dengan Creative Director atasan Wahyu dan berhadapan dengan seorang lelaki muda yang gantengnya tidak kalah dari Richard. Untung Richard masih belum turun dari loteng, kalau tidak dia pasti berjaga-jaga di sampingku. "Saya lihat portfolio kamu bagus. Tidak masalah untuk bekerja sama karena kami tidak membatasi diri pada desainer in house saja. Sudah ada beberapa freelancer juga yang bekerja sama dengan kami." tutur Irwan, si Creative Director. "Bagus. Saya juga bisa mulai kapan saja." Sebuah senyum manis terkembang di wajahku. "Kalau besok pagi datang ke head office kami untuk membicarakan fee sekaligus tanda tangan kontrak bagaimana?" "Tidak masalah. Jam berapa?" "Jam sepuluh." "Oke, bisa." "Lokasi kantornya sudah tahu?" "Saya akan tany
Ayam jantan Mak Endah berkokok nyaring di atas pagar rumah. Aku membuka mata. Otakku langsung mengingatkan akan meeting pagi ini. Aku menyambar handuk dan menghambur ke kamar mandi. Ternyata sudah ada yang mendahuluiku. Sambil menguap aku membuat segelas es teh manis. Aku penggemar berat es teh manis. Kapan pun, di mana pun, minumanku pasti es teh manis. Saat aku tengah menyeruput minuman, Richard keluar dari kamar mandi. Aku nyaris menyemburkan minumanku. "Pagi, Hazel," sapa Richard dengan tampilan super seksinya. Rambut ikal yang masih basah, kemeja yang belum terkancing, tatapan sayu. "Pagi...." Aku terbatuk-batuk dengan hebat. "Minumnya pelan-pelan dong." Richard menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Habis pagi-pagi lihat penampakan." "Penampakan? Mana?" Richard mengernyit. Aku tidak menjawab. Sebelum Richard bertanya lagi aku sege
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe