Beranda / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 3 : Proyek Dari Bos

Share

Chapter 3 : Proyek Dari Bos

Penulis: Giovanna Bee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-19 15:46:36

    Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker?

    Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan.

    Maaf Bang, aku mengecewakanmu!

    Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. 

    "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?"

    Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini."

    "Makanya," cetus Wahyu.

    "Makanya apa?"

    "Nggak apa-apa."

    "Asem! Gue pikir lo mau kasih solusi!"

    "Lo baru kenal gue? Masalah sendiri aja nggak bisa gue pecahin apalagi masalah lo!" Wahyu tertawa terbahak-bahak.

    Kepalaku pening didera logika Wahyu. Aku pergi ke pantry untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi dengan perlahan aku memejamkan mata mencuri waktu tidur. 

    Suara pintu dibuka dengan keras membuatku terbangun. Sendok yang kupegang terlontar, mendarat dengan manis di celana Daniel. Aku ternganga melihatnya muncul di pantry. Tumben.

    "Kamu tidur? Saya potong bonus kamu loh!" sergah Daniel. Dia mengambil sendok kopi dari lantai dan melemparnya ke wastafel.

    Aku meringis, "Nggak. Eh, iya."

    "Kamu ke ruangan saya ya. Ada yang mau saya beritahu."

    "Oke."

    Daniel bergegas keluar dari pantry. Aku mengikuti jejaknya. Cangkir kopi kuletakkan di mejaku lalu aku beranjak ke ruangan Daniel.

    "Sini, sini." Daniel memanggilku.

    "Ada apa?"

    "Ehm... Ada proyek baru untuk kamu kerjakan. Company profile untuk tiga perusahaan," kata Daniel.

    "Oke. Saya minta data-datanya ya."

    "Kukirimkan lewat email karena agak banyak."

    "Nanti saya cek."

    "Ini proyek khusus dari Richard. Dia menunjukmu langsung." Wajah Daniel tampak bersimpati.

    "Wah, aku merasa terhormat dong?" Aku tertawa sinis.

    "Yang penting kamu kerjakan dengan baik. Jangan tunjukkan celah sedikit pun. Aku tidak dapat menunjuk orang untuk membantu karena instruksi Richard sangat spesifik, hanya untuk Hazel."

    Aku menganga. Apanya yang tidak membalas? Ini mah praktek hukum Hammurabi, mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Aku mengeluh dalam hati. Pantas saja aku mengalami kesialan bertubi-tubi sejak pagi, rupanya untuk mempersiapkanku menghadapi kesialan utama.

    Sebenarnya proyek ini tidak sulit, hanya tingkat kerumitannya sangat tinggi. Ditambah lagi aku harus membuat company profile untuk tiga perusahaan sekaligus! Tiga perusahaan ini bernaung di bawah grup perusahaan milik keluarga Richard.

    "Bro, dapat proyek besar?" Wahyu penasaran melihatku mencetak berlembar-lembar data.

    "Proyek balas dendam."

    "Maksud lo?"

    Aku menceritakan semuanya pada Wahyu, dari awal sampai akhir tidak ada yang ketinggalan. Tawa Wahyu membahana di akhir cerita. Orang yang baru kenal dengan Wahyu akan mengira kalau dia kesurupan.

    "Aduhhh Hazel, lo apes banget sih??" Wahyu mengusap airmata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Tapi orangnya ganteng kan?"

    "Biasa aja!"

    Wahyu tertawa, "Muka lo kayak habis kejebur comberan!"

    "Sial."

    "Tenang Bro, jadilah diri lo yang seperti biasa. Cuek, adem, dan bekerja dengan cepat. Gue yakin kalo dinikmati stres lo akan berkurang."

    "Tumben nasihat lo benar." Aku tertawa.

    "Wahyu gitu loh! Ngomong-ngomong nanti mau ke mal sebentar nggak?"

    "Mau ngapain?"

    "Cuci mata. Udah lama nggak kesana kan?"

    Aku berpikir sejenak. Mal yang dimaksud Wahyu lokasinya sangat dekat dengan gedung kantor kami. 

    "Naik apa kesana?" tanyaku memastikan.

    "Gue bawa motor, Bro." Wahyu mengacungkan serenceng kunci.

    "Pinjam apa ngerampok?" Otakku segera menghitung cepat. Dengan motor jarak tempuh hanya butuh waktu lima menit, "Boleh lah."

    Jam istirahat tiba.

    Sumpah. Aku menyesal menyetujui ajakan Wahyu. Slide kehidupanku melintas di depan mata saat motor yang dibawa Wahyu ngesot tajam dan nyaris beradu dengan sebuah truk pembawa sampah. 

    Kenapa harus truk sampah?? Tidak bisakah beradu dengan kendaraan yang lebih bagus semacam Mercedes Benz atau BMW?? Setidaknya aku bisa berkhayal pengemudi Mercedes Benz itu adalah seorang lelaki ganteng. Yah, itu pun kalau masih ada waktu untuk berkhayal.

    Kakiku lemas saat menjejak tanah. Wahyu merangkulku untuk berjalan lebih cepat.

    "Aman. Kita sudah tiba dengan selamat," cetus Wahyu dengan gembira.

    "HAMPIR!"

    Wahyu tertawa, "Yang penting udah sampai kan?"

    "Gila! Belajar bawa motor dari siapa lo? Nyawa gue cuma satu Bro, dan gue belum nikah!"

    Kami menuju food court. Aku dan Wahyu berpisah untuk memesan makanan masing-masing, kemudian bertemu kembali di meja.

    "Tadi gue sempat browsing tentang Richard. Penasaran," kata Wahyu sambil makan.

    "Mmmm." Aku hanya menggumam karena mulutku penuh.

    "Most wanted bachelor, Bro! Udah ganteng, punya banyak perusahaan, belum punya pacar lagi! Lo beruntung bisa sering ketemu sama dia!" Wahyu mencondongkan tubuh ke depan, "Dengar-dengar dia tinggal di lantai duapuluh satu. Gue pingin lihat penthouse-nya kayak apa."

    Aku mengernyit. Beruntung? Kok aku merasa sebaliknya ya?

    "Gue mau banget kalo dia kasih proyek." Wahyu cekikikan genit.

    "Sadar Bro. Banyak lelaki yang jauh lebih baik dari Richard!" cetusku kesal.

    Mata Wahyu melebar. Dia melirikku lalu melirik ke satu arah di belakangku. Perasaanku sangat buruk.

    "Kalian ngobrol apa?"

    Meskipun sudah menduga tapi tetap saja aku terlompat kaget mendengar suara Richard. Perlahan aku menoleh ke belakang. Lelaki itu terlihat menonjol di tengah keramaian. Sosoknya seperti foto model kelas atas.

    Richard melihat jam tangan, "Jam istirahat sepuluh menit lagi. Apakah cukup waktu bagi kalian untuk kembali ke kantor?"

    Aku dan Wahyu berpandangan dan tertawa.

    Richard mengerutkan alis melihat kelakuan kami. Seandainya dia tahu apa yang terjadi dalam perjalanan kemari.

    "Kami cuma butuh waktu lima menit perjalanan kok," kata Wahyu.

    "Lima menit? Kalian ngebut?" Richard takjub.

    "Ngebut kayak pembalap Formula One!" Aku tertawa.

    "Hati-hatilah di jalan." Usai bicara Richard pun meninggalkan kami.

    Wahyu menendang kakiku, "Wow, aslinya lebih ganteng Bro! Gue mau jadi sekretarisnya bos dooonngg."

    Aku menggerutu tidak senang. Tulang keringku protes jadi sasaran ujung sepatu Wahyu.

    Perjalanan kembali ke kantor sama brutalnya dengan perjalanan pergi. Aku berpegangan erat-erat pada apa pun yang bisa kuraih. Wahyu menunjukkan keahlian maksimalnya sebagai pembalap amatir. Kami tiba dalam waktu empat menit tigapuluh detik.

    Begitu kembali ke meja, Daniel langsung memanggilku ke ruangannya. Ada apa lagi nih? Seolah pekerjaanku belum cukup ribet.

    "Ehm... Richard minta kamu melaporkan progress kerja setiap sore, ke ruangannya di lantai duapuluh," kata Daniel.

    "Apa?? Mulai kapan??"

    "Hari ini." 

    Mulutku ternganga. Itu berarti setiap hari aku harus bertemu dengan Richard. Ya Tuhan. Ini adalah kesialan maksimal.

    Rohku melayang. Aku kembali ke mejaku seperti zombie. Mataku menatap layar laptop tapi pikiranku berkeliaran. Sore ini aku harus naik ke lantai duapuluh. Aku tidak mempermasalahkan lembur, karena di biro iklan ini hampir semua orang lembur. Masalahnya adalah aku akan bertemu dengan Richard setiap hari.

    Aku tidak takut lelaki itu berbuat macam-macam.  Aku hanya takut diriku tidak tahan godaan.

    Tunggu dulu!!! Kenapa aku berpikir seperti itu?? Apakah itu berarti aku mau tergoda? Membuka kemungkinan bahwa aku akan tergoda?

    Aku melepas kacamata. Tanganku menggosok mata kuat-kuat. Sadar Hazel!! Richard adalah orang yang tidak boleh kamu sentuh!!

    ****

    Jam dinding membuatku gelisah. Jarumnya telah menunjukkan pukul lima sore. Aku tahu seharusnya aku sudah berada di lantai duapuluh, tapi kenapa tubuh ini sulit diajak kompromi.

    Daniel berjalan cepat ke mejaku.

    "Hazel?? Sudah jam berapa ini?? Kenapa kamu masih disini??" tukas Daniel tidak sabar.

    "Sabar, aku kumpulkan tenaga dulu," kataku.

    "Cepat! Saya nggak mau diteror Richard!" Daniel kembali ke ruangannya.

    Aku menghela nafas berkali-kali. Hari ini belum banyak yang bisa dilaporkan karena aku masih butuh waktu untuk mengenal ketiga perusahaan yang jadi proyekku. Aku memutuskan untuk tidak membawa apa-apa. Daripada menunggu lift aku memilih untuk naik tangga.

    "Selamat sore, sudah ada janji dengan Pak Richard?" tanya resepsionis.

    "Emm...aku cuma disuruh melapor."

    "Mari ikut."

    Aku membuntuti resepsionis menuju ruangan Richard. Dia segera merespon begitu pintu diketuk. Resepsionis membukakan pintu untukku. Aku masuk. Sepatu kets yang kupakai membuat langkah kakiku seringan kucing. Richard memperhatikanku dengan geli.

    "Silakan duduk," kata Richard.

    "Hari ini belum ada laporan. Aku masih pengenalan."

    "Tidak apa. Aku mengerti. Ada kesulitan untuk mengerjakannya?"

    "Nggak sih."

    "Besok kamu langsung saja ke ruanganku. Aku akan memberitahu Bernard supaya dia nggak kaget. Anggap saja kantor sendiri."

    Aku tertawa gelisah, "Baiklah." Rupanya nama si resepsionis adalah Bernard.

    "Kenapa kemarin kabur?" tanya Richard. Matanya menatapku tajam.

    "Refleks." jawabku singkat.

    Richard tersenyum seolah berkata bahwa aku tidak akan bisa kabur lagi. 

Bab terkait

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 4 : Kesibukan Luar Biasa

    Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong. Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline. "Woi!" Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial. "Apaan??" bentakku kesal. "Pulang yuk?" ajak Wahyu. "Kerjaan lo udah selesai?" "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang." "Emang jam berapa sih sekarang?

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-19
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 5 : I Will Survive

    Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger. "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang. "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas. "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti." Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard." Wahyu tersedak. Matanya mendelik. "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?" Wahyu meringis sambil mengangguk samar. Sejuta topan badai! Ak

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-19
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 6 : Kerjasama Yang Baik

    Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 7 : Melampiaskan Emosi

    Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 8 : Lantai Duapuluh

    Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 9 : Fokus Pada Pekerjaan

    Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 10 : Demi Sahabat

    Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 11 : Jangan Resign

    Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01

Bab terbaru

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status