Di tengah keheningan mencekam di kantorku saat semua orang sedang sibuk dengan deadline masing-masing.
"Hazeeeeell!! Mana staples gueee??" seru Wahyu, teman akrab sekantorku. "Gue nggak pinjam, Bro!" Aku balas berseru meskipun meja kami berhadapan dan hanya dipisahkan oleh partisi setinggi satu meter. "Sial... Mana benda satu itu...," gerutu Wahyu. Tanpa melihat pun aku tahu Wahyu sedang menggeledah setiap sudut di mejanya. Temanku ini memang selalu kehilangan barang padahal hanya lupa letaknya. "Yes ketemu!" Wahyu mengangkat staples pink-nya tinggi-tinggi seolah merayakan kemenangan perang. "Yeay, horeee," timpalku tanpa semangat. "Kenapa gue selalu kehilangan barang ya, Bro? Apa gue harus melatih barang-barang gue supaya bisa nyahut kalau dipanggil?" cerocos Wahyu. "Bukannya begitu, Bro. Lo aja yang pelupa." Aku tidak bisa memberikan jawaban yang lebih intelijen karena pikiranku terfokus pada pekerjaan di layar laptop. Detik berikutnya Wahyu sudah bernyanyi-nyanyi ala Whitney Houston lengkap dengan cengkoknya yang meliuk-liuk. Aku meremas selembar kertas dan melempar sekenanya. Tidak kusangka gumpalan kertas itu malah mengenai jidatku. Secepat itu Wahyu membalas? Aku mengangkat wajah dan melihat Daniel, Creative Director kami. Wajahnya tampak tegang seperti biasa. "Hazel, nanti jam sebelas ikut meeting dengan saya," kata Daniel. "Di mana? Perlu bawa apa?" tanyaku heran. "Portfolio perusahaan selama tiga bulan terakhir. Kamu bisa tarik dari server saya kalau tidak punya." "Oh, oke. Di mana?" Aku mengulangi satu pertanyaan yang belum terjawab. "Lantai duapuluh." "Hah? Lantai duapuluh? Di atas?" "Yes, betul." "Gedung ini?" Aku memperjelas. Daniel menggeram. "Aku ikut nggak?" Wajah Wahyu muncul dari balik partisi. "No. You stay." Daniel meninggalkan meja kami. "Huh, dingin sekali jadi lelaki." Wahyu menggigil. Aku tergelak, "Lagian lo nyosor aja kayak bebek. Udah jelas-jelas nama lo nggak disebut, Bro!" ledekku. "Ah, gue udah nggak dibutuhkan lagi di perusahaan ini." Wahyu meletakkan satu tangan di kepala dengan dramatis. Aku dan Wahyu sudah berteman sejak hari pertama bekerja di biro iklan ini. Meskipun sama-sama wanita tapi kami saling memanggil 'Bro'. Sikap Wahyu yang cuek dan dramatis selalu membuatku tergelak. Saat yang lain sedang down yang satu lagi akan menghibur. Sesuai instruksi Daniel aku mengumpulkan file desain selama tiga bulan terakhir. Lumayan banyak. Tidak sampai satu jam dua bundel buku hardcover sudah tersusun rapi di mejaku. Inilah enaknya punya percetakan in house. Aku tidak perlu pontang-panting lari ke luar kantor untuk mencari tempat penjilidan. Pukul sebelas kurang limabelas menit Daniel memanggilku dari ujung ruangan. Aku bergegas dengan segenap bawaanku. Kami berdampingan di depan lift. "Meeting dengan siapa sih?" tanyaku penasaran. "Rekanan baru perusahaan." "Oh. Jabatannya apa? Bos besar?" Daniel terkekeh, "Bos besar itu yang punya gedung. Ini anaknya." "Orangnya seperti apa?" "Kamu lihat saja nanti." Aku mengangguk paham. Perjalanan kami menuju lantai duapuluh memakan waktu tiga menit karena hanya berselisih lima lantai. Daniel mendahuluiku berjalan ke meja resepsionis. Aku membuntuti dengan ketat. Resepsionis mengantarkan kami ke sebuah ruang meeting berukuran besar. Daniel dan aku duduk berjejer. Dua bundel portfolio perusahaan kuletakkan di atas meja. Tidak lama terdengar suara langkah kaki. Pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki tinggi berwajah blasteran masuk. Seulas senyum terkembang di bibirnya. Mataku melebar. Jantungku berhenti berdetak. Lelaki itu melihat ke arahku dan senyumnya sirna. Sorot matanya berubah penuh emosi. "Selamat siang, Pak Richard." Daniel menyalami lelaki itu. "Daniel," sapa Richard. "Ini salah satu desainer kami, Hazel," kata Daniel. Richard menyodorkan tangan ke arahku. Aku menyalami dengan canggung. "Hazel." Richard menyebut namaku dengan lambat. Sorot matanya seolah melemparkan belati ke antara mataku. Tangannya meremas tanganku kuat-kuat. Aku memaksakan senyum. Syukurlah meeting berjalan dengan lancar. Sebagai rekanan baru Richard hanya ingin mengenal biro iklan yang berada di bawah pimpinannya. Daniel memberikan presentasi dengan jelas dan baik, sementara aku lebih banyak menundukkan kepala. "Baiklah. Tidak ada masalah bagi saya," kata Richard. "Kalau begitu kami kembali dulu." Daniel melirikku sebagai tanda untuk pergi. Aku bernafas lega. Meeting penuh tekanan ini akhirnya selesai. Sialnya baru saja aku bangkit dari kursi Richard berbicara. "Hazel, boleh bicara empat mata denganmu?" Suara Richard menusuk. Hatiku menciut. Mau apa dia? Daniel menatapku, lalu menatap Richard. "Kamu tidak keberatan Hazel kupinjam sebentar?" tanya Richard pada Daniel. "Oh, tidak. Silakan. Kalau begitu saya turun duluan." Daniel keluar dari ruang meeting. "Ya, nanti saya menyusul," kataku, padahal dalam hati aku menjerit supaya Daniel jangan pergi tanpaku. Aku melihat Richard tersenyum. "Mari ke ruanganku." Richard membuka pintu ruang meeting mempersilakanku keluar. "Oke." Aku membuntuti Richard ke sebuah ruangan besar. Tampaknya ini adalah ruang tempatnya bekerja. Richard duduk di belakang meja. Matanya mengamati gerak-gerikku. "Duduklah," kata Richard. Aku duduk di kursi berhadapan dengannya. "Nggak kusangka bisa bertemu disini." Gaya bicara Richard menjadi lebih santai. "Iya. Sama." Aku meringis. "Kamu sering ke pantai?" "Lumayan." "Sendirian?" Aku menghela nafas, "Iya." "Taekwondo?" Aku mengangkat alis, Richard menebak dengan tepat! Aku menyahut, "Kok tahu?" Richard tersenyum, "Deol chagi itu tendangan khas taekwondo. Teknikmu boleh juga. Sayang aku masih sedikit hangover, kalau tidak kita bisa sparring dengan lebih baik." "Maaf karena aku kasar. Kemarin kamu terlihat seperti lelaki brengsek sih," tukasku. "Aku tahu. Kapan kita bisa ketemu di pantai lagi?" "Nggak tahu. Aku nggak suka beramai-ramai." "Pacarmu?" Pipiku terasa hangat, "Ehm... Rasanya pertanyaan itu nggak pantas." "Aku cuma ingin tahu apa yang kuhadapi." Aku memalingkan wajah, percakapan ini mulai membuatku kesal. Ingin marah, dia bosku. Ingin sopan, jiwa pemberontakku..., yah memberontak. Keheningan mencekam saat tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Aku bisa merasakan Richard sedang mengamatiku. Tanganku meremas kursi. "Baiklah. Kurasa cukup untuk hari ini. Kamu boleh kembali," kata Richard. "Oke. Aku permisi." Aku cepat-cepat berdiri. "Oh, Hazel? Boleh minta nomormu?" "Nggak boleh." Tanpa menunggu reaksi Richard aku bergegas keluar. Aku berlari turun lewat tangga darurat. Toh cuma lima lantai ke bawah. Daniel berdiri di meja resepsionis. Jarinya mengetuk meja dengan gelisah. Aku tahu dia menungguku. Begitu melihatku Daniel memepet. "Hazel, tadi itu apa? Kalian sudah saling kenal?" desis Daniel. "Ceritanya panjang," keluhku. "Maka sebaiknya kamu mulai bercerita." Aku menceritakan insiden di pantai dalam waktu sesingkatnya dan tanpa menyembunyikan apa pun. Alis Daniel berkerut dalam. "Menurutmu apa dia akan membalas?" tanyaku. "Aku nggak tahu, Haze, tapi sebaiknya kamu berhati-hati," kata Daniel. "Aku nggak mau harus memilih antara kamu dan dia." "Aku mengerti." Job desc-ku kini bertambah, menghindari pertemuan dengan Richard semaksimal mungkin.Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker? Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan. Maaf Bang, aku mengecewakanmu! Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?" Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini." "Makanya," cetus Wahyu. "Makanya apa?"
Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong. Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline. "Woi!" Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial. "Apaan??" bentakku kesal. "Pulang yuk?" ajak Wahyu. "Kerjaan lo udah selesai?" "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang." "Emang jam berapa sih sekarang?
Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger. "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang. "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas. "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti." Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard." Wahyu tersedak. Matanya mendelik. "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?" Wahyu meringis sambil mengangguk samar. Sejuta topan badai! Ak
Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb
Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?
Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat
Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe