Beranda / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 5 : I Will Survive

Share

Chapter 5 : I Will Survive

Penulis: Giovanna Bee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-19 20:53:06

    Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger.

    "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang.

    "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas.

    "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti."

    Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard."

    Wahyu tersedak. Matanya mendelik.

    "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?"

    Wahyu meringis sambil mengangguk samar.

    Sejuta topan badai! Aku memaki dalam hati menggunakan segala bahasa manusia yang kutahu. 

    "Kalian ngomongin saya?" kata sebuah suara berat nan seksi di belakangku.

    Mataku mencari-cari jalur tercepat untuk melarikan diri. Wahyu memasang wajah termanisnya untuk Richard. Bagus! Alihkan perhatian Richard sementara aku pergi.

    "Hazel? Mau kemana?"

    Tubuhku membeku. Aku menarik kembali kakiku yang sudah terjulur menjauh dari kursi.

    "Nggak. Lurusin kaki doang." Aku tertawa gelisah.

    "Tumben petinggi mampir ke kantin rakyat jelata. Pak Richard mencari Hazel? Silakan duduk, silakan duduk," cerocos Wahyu.

    Aku menendang tulang kering Wahyu sekuat tenaga tapi temanku itu mengaduh pun tidak. Aktingnya hebat sekali.

    "Tidak. Saya cuma lewat saja. Lanjutkan makan siang kalian." Richard melempar senyum menawan. "Hazel, jangan lupa nanti sore. Jangan sampai kemalaman lagi."

    "Iyaaa." sahutku.

    Sepasang mata Wahyu mengikuti sosok Richard dengan berbinar seperti remaja jatuh cinta. Aku geleng-geleng kepala.

    Sepeninggal Richard, Wahyu menendang kakiku. Wajahnya penuh dendam. Aku tertawa terbahak-bahak.

    "Sial lo! Mau patahin kaki gue??" gerutu Wahyu.

    "Kenapa baru sekarang berasa sakitnya?? Asli deh, akting lo pantas dapat piala Oscar!" Perutku sakit karena tertawa.

    "Gue bilangin Richard nanti! Aduhh... Gue belum asuransiin kaki gue yang indah ini Bro!"

    Aku dan Wahyu menghabiskan jam istirahat dengan tertawa habis-habisan. Aku memang butuh tertawa dan tidak ada orang yang dapat membuatku tertawa seperti Wahyu. Untung aku punya teman seperti dia.

    Kembali ke meja kami masing-masing...

    Pekerjaan kembali menyita perhatianku. Aku bahkan tidak memperhatikan Wahyu yang bernyanyi I Will Survive, padahal suaranya keras membahana. Aku juga tidak menyadari Daniel berdiri di sisi mejaku sampai dia mengeluarkan suara.

    "Sudah berapa alternatif yang kamu buat?" tanya Daniel.

    "Aduh, ampun. Kenapa semua orang hobi menyelinap dari belakang sih?" gerutuku. "Baru satu."

    Daniel mengamati layout yang terpampang di laptopku, "Coba kamu kombinasikan dengan warna yang tidak senada. Misalnya karena ini dominan silver dan hitam, kenapa nggak munculkan warna cerah di antaranya?"

    Aku mengangguk perlahan, "Oke, nanti kumasukkan di alternatif kedua."

    "Richard aman?" tanya Daniel.

    Kepala Wahyu muncul dari balik partisi. Dia menguping dengan baik.

    "Aman. Dia bahkan memberi beberapa masukan," kataku.

    "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Tanpa berkata lebih lanjut Daniel meninggalkan mejaku.

    Jam dinding menunjukkan pukul enam. Sebenarnya aku enggan melapor pada Richard karena perkembangan desainku belum terlalu banyak sejak kemarin. Namun perintah atasan tidak boleh diabaikan.

    Aku sedang mencetak beberapa halaman desain saat handphoneku berbunyi. Aku bingung, nomor siapa ini? Kok tidak ada di daftar kontakku?

    "Halo?" Rasa penasaran membuatku menjawab panggilan telepon itu.

    "Hei, kamu berencana lembur lagi?"

    "Ini siapa?" Aku seperti pernah mendengar suara ini, tapi dimana ya?

    Hening.

    "Kamu nggak simpan nomorku??"

    Aku menepuk jidat, mati aku! "Richard?"

    "Kamu kemari jam berapa? Perlu kujemput?"

    "Nggak perlu! Aku naik sekarang!" Tanpa menunggu jawaban aku memutus percakapan.

    Tergesa-gesa aku mengumpulkan kertas dan menjejalkannya di map plastik. Aku berlari secepat mungkin menuju lantai duapuluh. Tiba di depan Bernard aku kembali menyadari bahwa kakiku memakai sandal jepit.

    "Langsung ke ruangan Pak Richard saja." Bernard tersenyum.

    "Oke, terima kasih."

    Semoga pembicaraan kami tidak berlangsung lama karena aku mau melanjutkan pekerjaan. Aku mengetuk pintu ruangan Richard dengan keras.

    "Masuk!"

    Aku membuka pintu. Richard sedang mengerjakan entah apa di laptopnya. Aku melangkah sepelan mungkin dan duduk manis.

    "Laporan hari ini." Aku meletakkan map di tengah meja.

    "Hmm...sebentar." Richard bertopang dagu. Wajahnya tampak serius.

    Aku mengamati diam-diam. Ganteng sih. Menyenangkan untuk mata. Sayang dia bosku. Aku mengalihkan pandangan saat Richard melirikku.

    "Aku sedang melihat foto-foto perusahaan. Tadi pagi aku menyuruh orang untuk mengambilnya dari sudut berbeda, tapi sepertinya kurang memuaskan." Richard memutar laptopnya ke arahku, "Bagaimana menurutmu?"

    Aku memanjangkan leher. Bagiku foto-foto yang ditunjukkan terlihat hampir sama. Aku menggigit bibir, bagaimana cara menyampaikannya? Pandangan kami bertemu, Richard sedang memperhatikanku!

    "Ehm...." Aku berdehem, "Sepertinya aku harus foto sendiri."

    "Begitu  juga yang kupikirkan." Richard tersenyum.

    Seketika aku terhanyut dalam tatapannya yang berbinar. Astaga. Setelah ini aku harus meminta Wahyu membenturkan kepalaku ke tembok. Otakku mulai dicemari Richard!

    "Hello? Kok bengong?" Richard melambaikan tangan di depan wajahku.

    Refleks aku mendorong kursiku mundur. Richard terkejut dengan gerakanku yang mendadak.

    "Maaf, refleks..." Wajahku merah padam karena malu. Kupikir Richard hendak menjangkauku.

    "Kumaafkan." Richard tersenyum geli, "Bagaimana kalau besok pagi kita berkunjung ke tiga tempat ini? Bisa bawa kamera? Kalau nggak pinjam punyaku."

    "Besok pagi jam berapa?"

    "Jam sembilan tepat. Aku akan memberitahu Daniel bahwa besok aku meminjammu."

    "Oke lah. Aku nggak perlu bawa apa-apa kalau gitu."

    Richard masih membahas desain yang kubawa, diselingi obrolan tidak penting di mana dia berusaha memancingku untuk bercerita tentang kehidupan pribadi.

    Aku merasa Richard sengaja mengulur waktu supaya malam terlalu larut untukku pulang sendiri. Dia sih enak, mau istirahat tinggal naik satu lantai ke penthouse.

    "Nggak berasa sudah jam delapan lewat. Kamu pulang sendiri?" tanya Richard. Wajahnya tampak prihatin.

    "Iya. Pulang sendiri." Aku menegaskan.

    "Ayo." Richard berdiri dan berjalan ke pintu.

    "Kemana??" Aku terbengong.

    "Kuantar pulang."

    "Ehh nggak perlu! Aku bisa naik ojek!" Tergesa-gesa aku merapikan kertas di meja Richard.

    "Hazel, aku yang bertanggungjawab karena kamu pulang malam. Gimana kalau kamu bertemu penjahat di jalan?"

    Aku mendengus. Alasan saja! Sendirinya juga penjahat. Aku menahan tawa karena teringat insiden pertemuan pertama kami.

    "Aku ambil tas dulu," kataku.

    "Oke. Kutunggu di bawah."

    Mataku menipu atau aku melihat Richard mengerling? Jantungku berdebar kencang. Eit, jangan salah, bukan karena kerlingan Richard tapi karena berlari turun tangga.

    Sekejap mata aku sudah duduk manis di dalam mobil Richard. Semoga malam ini aku tidak tercekik sabuk pengaman lagi.

Bab terkait

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 6 : Kerjasama Yang Baik

    Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 7 : Melampiaskan Emosi

    Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 8 : Lantai Duapuluh

    Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 9 : Fokus Pada Pekerjaan

    Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 10 : Demi Sahabat

    Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 11 : Jangan Resign

    Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 12 : Pendekatan Halus

    Setelah ancaman resign-ku kemarin Richard tidak lagi bersikap arogan, tapi tetap saja dia membujukku untuk menerima kartu akses ke lantai duapuluh satu. Hanya karena Bernard juga memegang salah satu duplikat kartu lah aku menerimanya. "Hazel, ayo makan siang. Aku mau bicarakan sesuatu denganmu," ajak Richard. "Hah? Memangnya jam berapa...?" gumamku. "Setengah satu." Aku mengernyit, pantas saja perutku terasa lapar. "Aku tunggu di--" "Nggak usah, aku mau ke kantin saja." Aku membetulkan kacamataku yang merosot. "Oke. Sehabis makan siang kita bicara sebentar." Aku mengangguk. Otakku masih melekat di pekerjaan. Richard naik ke atas sementara aku turun ke kantin. Aku berharap masih bisa bertemu Wahyu. "HEEEEEIIIIIII PENGHUNI LANTAI DUAPULUHHH!!!" Aku menutupi wa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 13 : Hipokrit!

    Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan? Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard. "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard. "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi." Bernard mengangguk. "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran. "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal ku

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-02

Bab terbaru

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status