"Kamu yakin?" tanya Richard.
Aku mengangguk, "Cuma menginap semalam. Kan nggak berbuat apa-apa juga." "Baiklah." Richard tersenyum bahagia. Setelah sekian lama aku tidak bertemu Bu Ani, mendengar celoteh dan kelatahannya, sikap yang nyeleneh. Ternyata aku merindukan Bu Ani. Mudah-mudahan hari ini Bu Ani berjualan. "Aku tau kamu kangen ngobrol sama Bu Ani," celetuk Richard. Aku menoleh dengan tatapan heran, "Kok tau?" "Untuk apa ke pantai kalau bukan sekalian cari dia?" Richard melirikku sekilas. "Aduh, tebakanmu tepat banget! Aku sampai mikir jangan-jangan sekarang kamu bisa baca pikiran orang!" Aku tertawa lega. "Kamu gampang ditebak, Sayang." "Ih, sebal." Aku merajuk. "Jangan lama-lama ngobrolnya ya? Aku belum kebagian waktu berduaan nih," pinta Richard. "Iya, nTidak ada yang menyangka bahwa Bryan akan datang ke penthouse di hari Minggu. Karena Richard tidak mengunci pintu lift Bryan dapat masuk dengan mudah. Dia bahkan memergoki kami sedang bermesraan di dalam kamar. Pada akhirnya kami bertiga duduk berhadap-hadapan di sofa. Posisiku disembunyikan di belakang Richard. "Lo nggak perlu sebrutal itu kan?" Bryan duduk di sofa sambil menggosok wajahnya yang memar karena terkena pukulan Richard. Aku menahan tawa. "Ini tempat tinggal gue, suka-suka gue mau berbuat apa terhadap orang yang menerobos masuk," ketus Richard. Dia benar-benar kesal karena waktu bermesraannya diganggu oleh Bryan. "Brother! Siapa yang bisa tau kalau lo lagi berduaan sama Hazel? Lo pikir gue bisa meramal?" protes Bryan. "Apa gunanya telepon?" balas Richard. "Jangan bilang handphone lo nggak di-silent!" "Coba
Sepeninggal Bryan suasana di penthouse menjadi hening. Pandanganku terhadap kedua bersaudara ini pun berubah. Mereka bukan lagi putra konglomerat yang manja, tapi para pejuang hak asasi manusia. Aku memandangi Richard yang duduk di sebelahku. Pantas saja akhir-akhir ini wajahnya terlihat lelah. "Richard...," panggilku. "Hmm?" Richard menoleh. "Istirahatlah lebih cepat. Kamu terlihat lelah," bujukku. "Temani aku." Aku mengangguk. "Aku pasti tidur nyenyak malam ini." Richard mengecup bibirku. Aku tidak membiarkan Richard pergi. Aku bergerak maju, menggigit lembut bibir bawahnya. Richard terpaku. Sedetik kemudian dia melumat bibirku dengan penuh semangat. "Seperti ini mana bisa tidur?" keluh Richard. Aku tertawa, "Sorry, terbawa suasana." "Nggak apa-apa. Aku selalu senang kalau kamu be
"Kalau seperti ini aku teringat waktu tinggal di rumahmu," celetuk Richard. "Oh ya? Emang seperti apa?" "Berbaring berhadapan, ngobrol, saling menatap." Richard mencolek hidungku. "Hmm...." Aku pura-pura mengingat. "Aku menikmati saat-saat itu. Seolah-olah hidup cuma ada kita berdua," desah Richard. "Aku juga. Sayangnya itu cuma ilusi." Richard terdiam sesaat. Sayap putihnya bergetar lembut. Kok hatiku berdebar? "Kamu mikirin apa?" tanyaku. "Cara melamar." Richard tersenyum. Aku tertegun. "Aku tau kamu butuh waktu, tapi pikiran itu nggak bisa kusingkirkan." "Richard, kamu yakin mau bersamaku seumur hidup?" Begitulah, rasa tidak percaya diriku meluap ke permukaan. "Aku yakin, Hazel. Aku belum pernah seyakin ini dalam hal apa pun." &nb
Kopi membuat kami berdua terjaga sampai pagi. Untuk berjaga-jaga pagi-pagi sebelum kami terlelap Richard mengunci pintu lift supaya tidak ada orang yang mendadak masuk. Alhasil hingga matahari tinggi kami belum terjaga. Dering handphone yang kelewatan nyaring membuatku terbangun. Aku melihat sekeliling dengan bingung. Handphone Richard? "Richard, handphonemu bunyi." Aku mengguncang Richard untuk membangunkannya. "Hmmm...." Richard meraih dan menjatuhkanku ke dalam pelukannya. Aku terbengong sesaat. "Bangun dong, ada yang telepon tuh," bujukku. "Hmm...." Richard hanya menggumam. Aku berusaha meraih handphone yang tergeletak di nakas tapi Richard tidak mengendurkan pelukannya. Orang ini sudah bangun! Aku menggeliat seperti cacing kepanasan. "Lepasin, bangun woi," gerutuku. "Sebentar lagi...." guma
Sore hari aku tiba di rumah. Richard mengantarku sampai ke depan Elisabet. Aku tersentuh, pacarku memang lelaki yang bertanggung jawab. Kami bertiga duduk berhadapan di sofa. Elisabet menatap kami dengan tajam. "Kenapa harus menginap?" tanya Elisabet. "Udah kemalaman untuk pulang, Ma...." Aku melirik takut-takut. Meskipun sehari-hari Elisabet adalah wanita yang lembut, tapi sekalinya marah aku juga takut. "Iya Bu, mohon maaf, saya yang meminta Hazel untuk tinggal," sambung Richard. Aku melirik Richard. Dia menerima semua kesalahan. "Richard, kamu pikir bisa berbohong di depan saya?" Elisabet menatap Richard dalam-dalam. Richard pun tidak bersuara lagi. "Mama harap ini kali terakhir kamu bermalam di tempat Richard. Meskipun sebelumnya Richard pernah tinggal di sini, tapi kalian nggak cuma berdua, ada Mama yang mengawasi," ujar Elisabet.
Malam mengantarku pada mimpi yang aneh. Aku memakai gaun pengantin dan kurasa aku terlihat sangat cantik. Alunan lagu mengiringi langkahku menuju altar. Aku hampir tiba, tapi begitu tanganku nyaris berada dalam genggaman tangan mempelai pria, semua gambaran itu tersapu bersih bagaikan cat yang luntur tersiram thinner. Aku terkesiap. Semua orang menghilang. Tinggallah aku sendiri berdiri terpaku di tengah altar. Semuanya lenyap. Perasaan bahagia di hati pun menguap begitu saja. Aku melihat sekeliling. Kosong. 'Malaikat Kecil, Papa nggak akan berhenti mencintai kamu.' 'Iya, Papa??' 'Iya. Papa janji akan selalu di sisimu, Nak.' 'Papa! Hazel juga sayang Papa!' 'Hazel kesayangan Papa...' Adegan berganti seperti ombak. Suara sirine ambulans memekakkan telinga. Semuanya serba putih. Airmata mengalir deras di wajahku. Aku berlari kencang di korid
Perasaanku yang sedang buruk bertambah buruk karena melihat wajah Abram. Tepat sebelum aku mengusir lelaki tua itu, Elisabet muncul dan mengundangnya masuk ke rumah. Maka jadilah kami duduk berhadapan seperti hendak adu panco. Huh, adu panco? Tidak ada perumpamaan yang lebih bagus? Sabung ayam misalnya? "Aku tidak menyangka, kamu masih punya keberanian bertemu dengan Richard." Abram memecah keheningan. "Anda ini siapa? Kenapa tanpa perkenalan yang benar Anda langsung memojokkan putri saya?" tanya Elisabet. Aku salut pada Elisabet. Pada saat dibutuhkan dia pemberani seperti singa betina yang melindungi anaknya. "Oh, maaf, aku terlalu bersemangat dalam menghadapi generasi muda. Aku Abram, ayah Richard." Abram tersenyum lebar. Matanya menilai Elisabet. "Ayah Richard? Ada perlu apa sebenarnya sampai membawa orang banyak ke rumah saya?" Elisabet menatap dengan b
"Ternyata ayahnya Richard cuma segitu." Elisabet memperhatikan sekelompok lelaki tersebut meninggalkan pekarangan rumahnya. "Bukannya cuma segitu, tapi Mama yang terlalu hebat." Aku menyeringai. "Nggak sia-sia kan jadi anak Mama?" Elisabet tersenyum. "Iya, tapi jangan sering-sering interogasi aku kayak gitu ya? Bisa semaput," ujarku. "Kamu mah nggak usah diinterogasi. Apa yang kamu pikirin Mama udah tau semua. Tinggal tunggu waktu aja kapan kamu cerita sendiri sama Mama." Aku merasa kalah perang. "Perlu kasih tau Richard nggak? Ayahnya datang dengan kekuatan besar loh?" kata Elisabet. "Nggak perlu, Ma. Nanti dia khawatir berlebihan." "Pantas lah kalau dia khawatir. Mama aja khawatir sama kamu yang labil." Aku terbelalak, "Labil dari mana? Aku udah dewasa loh, seharusnya udah nggak ada kelabilan?
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe