“Nona, kau mau ke mana?”
Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meski masih dalam kondisi yang memprihatinkan.
“A-aku, aku mau keluar sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.
“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalam kamar. Silakan kembali ke sana, Nona.” Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsal VVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanya dan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantas mendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanya kemarin malam. “Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku ingin menghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harus melawan sekarang. “Baik, Nona.” Amira tidak mendengar jelas ucapan pria tadi. Indera pendengarannya sudah lebih dulu di penuhi suara derap langkah yang cukup banyak. Reflesk kepalanya memutar guna melihat ada apa di sana. Sejumlah perawat juga dokter dan beberapa petugas lainnya sedang menangani pasien yang urgent. Mereka mendorong brankar yang sempat melintas dari depan mata Amira yang transparan. Sosok laki-laki yang berbaring di sana sempat menjadi objek utama matanya memandang. Dalam dua detik terakhir, sebelum benar-benar mengenali sosok di sana, dia masih sempat akan berbalik sebelum akhirnya potrait pasien laki-laki itu kembali memenuhi otaknya. Tiba-tiba saja dunia seolah berjalan lambat. Seakan ada efek slomotion di mana Amira kembali memutar tubuh dan melihat ke arah sana tepat di mana brankar itu di ajak berlari sampai hilang ditikungan lorong rumah sakit. “Kak Sagha?” Kaki yang lemah itu segera berlari menghampri. Tenaga yang belum kembali utuh, harus kembali terkuras. Sisa air mata yang belum juga mengering, harus kembali menerpa membasahi wajah. Rasa sakit yang hendak dibagi, seolah ditumpuk dua kali setelah alam mengungkap alasannya.Tubuh Almira seketika meluruh kala mendengar petugas yang mendorong brankar menyatakan waktu kematian Sagha, kakaknya.
Almira meraung.“Tidak ....”
**
“Aku akan melakukan apa pun untukmu. Tapi tolong, bantu aku mencari kebenaran mengapa kakakku tewas? Aku bersumpah akan menjadi budakmu yang paling menjaga serta mengawasimu bahkan saat kau tertidur.”
Potrait Amira yang bersimpuh di depan Ramon benar-benar merebut seluruh pandangan pria itu. Rambut panjang, seragam rumah sakit, wajah lebam, juga mata merah yang tersimpan banyak luka, benar-benar disuguhkan sepenuhnya pada Ramon. “Apa Tuhan memaafkan manusia yang sudah mati?” gumam Ramon, bertanya. Dia duduk dengan gaya khasnya-satu kakinya menaik di atas kakinya yang lain. Amira mencoba menahan segala terjangan rasa yang campur aduk. Marah, kecewa, dendam, luka, tangis, lelah, semuanya menumpuk di dalam dada yang akhirnya menyebabkan sesak tiada tara. Meski masih dalam pengobatan karena kepalanya dan juga beberapa anggota tubuhnya lebam, Amira tetap memaksakan diri untuk bersimpuh di hadapan Ramon hanya untuk meminta bantuan agar mencari tahu bagaimana bisa kakaknya tewas begitu saja tanpa alasan yang kuat. “Tuhan akan meringankan siksa manusia, ketika salah satu anggota keluarga yang ditinggalkan melakukan kebaikan atas namanya. Aku akan melakukan kebaikan itu padamu, tapi tolong cari penyebab kematian Sagha, kakakku.” Ramon sejenak membisu. Tiba-tiba saja penggalan insiden di atap gedung pagi itu, melintas cepat dalam ingatannya. “Amira itu anak yang baik. Jika kau menatap matanya, tidak akan kau menemukan penderitaan apa pun di sana. Jika kau mendapatkan senyumannya, kau akan merasakan euforia yang bergelut dalam dada. Saat kau dapat merasakan belaiannya, maka kau tidak akan mencari alasan lagi, mengapa Tuhan merebut sosok yang harusnya berada di sampingmu.” Ramon hanya menatap nanar hamparan langit biru di depannya sambil memahami kata-kata Sagha. Dia melipat tangan di depan dada, masih meragu jika Sagha memang berani melakukan hal yang dia perintahkan. Dia tahu, bahwa mencintai orang memang sesakit itu, tapi untuk melakukan hal ‘konyol’ seperti yang dia suruh, mungkin akan mustahil dilakukan siapa pun itu, bahkan dia sendiri ragu apakah dia sanggup melakukan hal yang saat ini sedang Sagha hadapi untuk putranya. “Jika setelah nanti kau sadar bahwa Amira memang sebaik itu, tolong berjanjilah untuk menjaganya. Dia sudah kehilangan orang tuanya bahkan sebelum dia mengenalnya. Aku akan pergi dengan tenang, jika kau mau berjanji akan melakukan hal itu.” Ramon menoleh, menyadari wajah Sagha mulai memucat. Dia menangkap tatap laki-laki di sana, dan sungguh tidak ada tersirat keraguan apa pun. Namun, kebutaan yang di alami Ramon dalam sudut mana pun, menutup rapat-rapat fakta itu. “Aku akan berjanji, setelah kau melompat,” kata Ramon, tanpa beban. Brug!Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya. Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired. “Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi. “Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab. Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini. “Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi. “No-Nona A-Amira,” aku pria itu. Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadi
“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m
Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya. “Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak! Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam, “Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!” Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat. “Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sin
“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela
Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur
“Kau mau pergi?” tanya Ramon. Amira bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya mendengar pertanyaan Ramon. Sebelumnya dia sudah pernah terjebak oleh kata-kata perintah laki-laki itu, dan kali ini Amira harus benar-benar menelaah baik-baik. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Buru-buru Amira menggeleng. “Tidak, Pak. Aku tidak berniat kabur atau pun pergi tanpa perintah darimu. Aku hanya ....” Ucapan Amira tak berlanjut, saat lembar uang yang baru saja di ambil dari dompet Ramon terhempas tepat di wajahnya.“Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Ramon, tak punya hati. Amira sejenak bergeming lalu meneguk ludah, kemudian tersenyum miris. Kepalanya perlahan mendongak ke atas, guna menahan terjangan air mata yang entah datang dari mana.Baru saja akan bersujud di hadapan Ramon untuk memohon, laki-laki itu sudah lebih dulu melongos melewatinya. Amira mengikuti dengan pasang mata ke mana Ramon melangkah. Tak pernah dibayangkan Amira se
Tepat saat Ramon meninggalkan Amira sendirian, saat itu juga Amira bergegas menemui Farah. Satu-satunya manusia yang masih ingin dimintai pernyataan, adalah perempuan itu. Amira tetap meneguhkan pendirian, kalau kematian Dired tetap Farahlah penyebabnya. Entah kebetulan, atau memang dia dikirim untuk membantu Ramon yang sedang dalam jeratan Farah. Di dalam bar yang tak lagi asing untuknya, Amira menyaksikan bagaimana terpuruknya Ramon dan bagaimana cara Farah menenangkan laki-laki itu. Amira sengaja untuk tidak langsung menghampiri Farah, karena dia yakin perempuan yang sudah dia kenal selama lebih sepuluh tahun itu, pasti tidak akan tinggal diam kalau menyerangnya sekarang. Amira sesekali mendengus merasa miris, melihat aksi Farah yang menyuruh salah satu pelayan untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Ramon. Rendah! Kata itulah yang tercetak dalam dada Amira menggambarkan Farah. Amira juga segera menyembunyikan diri, saat sadar kalau Farah menyuruh anak buahnya untuk mencarin
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny