Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya.
“Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak!Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam,“Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!”Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat.“Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sini secepatnya. Aku bahkan bisa bertindak lebih dari pada ini,” lanjut Amira, mengancam.Riko tak terima. Matanya menyorot tajam wajah tegas di atas kepala Amira. Dendam yang sedari dulu memang sudah tertanam, kembali tumbuh. Kali ini, bukan karena pencapaian, juga tentang kekuasaan. Namun ... Perempuan. Riko tidak bisa menerima begitu saja, jika harus kalah lagi dari Ramon.“Apa yang kau pikirkan? Kau takut kalau kali ini kau kalah lagi?” ujar Ramon sadar akan tatapan Riko. Riko mendesis pelan. “Bawa saja dia. Kali ini aku tidak akan mempertahankan apa yang kau inginkan dariku,” lanjut Ramon, sambil mendorong lagi tubuh Amira.“Pak!” Suara gadis itu menekan. Ramon tak menanggapi.“Kenapa kau hanya diam? Segera bawa sampah ini bersamamu dan jangan pernah kembali lagi.”Riko segera merambat tangan Amira, mencoba membawa perempuan itu mengikuti langkahnya. Namun, lagi-lagi Amira menepis, merasa muak.“Pak Ramon, tolong jangan seperti ini. Aku salah! Aku tidak memahamimu sejak awal. Aku minta maaf,” sergah Amira, menatap penuh wajah Ramon.“Baiklah. Anggap aku memberimu satu kesempatan. Ini perintah dariku. Pergi bersamanya dan lakukan apa yang dia mau. Jelas?”Kerutan dahi Amira benar-benar tercetak sempurna. Dadanya kembali terasa sesak, merasa dilecehkan berkali-kali oleh laki-laki yang tadinya akan menjadi ayah mertuanya. Tanpa sadar, air mata itu menjejaki wajah Amira, sambil terus menatap begitu dalam pahatan wajah Ramon.“Baiklah. Kalau itu memang perintah untukku, akan kulakukan.”Di belakang sana, ada Riko yang merasa menang. Amira sudah dia incar sejak malam itu. Bukan apa-apa, kecantikan Amira menjadi alasan Riko mengenyahkan kebenciannya terhadap Ramon, dan menginjakkan kaki lagi di lantai milik musuhnya ini.“Kenapa tidak dari tadi saja? Kau bahkan tidak harus menerima perkataan buruk dari Ramon kalau sejak awal kau mau pergi denganku,” celetuk Riko.“Tunggulah di luar. Aku akan keluar sebentar lagi,” sahut Amira, memberitahu.Riko menurut. Kini ruangan itu hanya diisi dua orang yang sedang menatap dengan dendam masing-masing. Amira belum bisa terima, bagaimana cara Ramon memperlakukan juga menuduhnya sebagai pembunuh.“Pak, sebenarnya apa alibimu sampai yakin kalau aku yang membunuh putramu? Dari mana kau memastikan hal itu, Pak?” tanya Amira, meminta penjelasan.“Jangan mengungkit hal yang sudah selesai. Sebaiknya kau pergi, atau kulenyapkan kau di sini!” Ramon masih tetap kukuh pada pendirian.“Selesai katamu? Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu Dired? Kau tahu bagaimana caraku memperlakukannya?! Kau tahu seberapa besar impian kamu berdua di masa depan? Apa kau tahu semua itu, Pak?! Dired banyak bercerita tentangmu padaku. Tentang seberapa besar kasih sayangmu, cintamu, dan juga perhatianmu padanya. Tapi satu hal yang sangat kusayangkan, aku lupa bertanya apakah ayahnya sungguh-sungguh menyayanginya atau hanya terobsesi semata karena kenyataan ayahnya seorang laki-laki yang angkuh itu tidak alibi semata!” cerca Amira, sambil berderai air mata.Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Tangannya bergetar. Membahas tentang mendiang sang kekasih, rupanya masih menyayat hatinya.“Sudah cukup omong kosongmu? Sekarang keluar! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!” hardik Ramon.“Aku tidak akan pergi, sebelum kau –”Plak!Ego menutup logika, hingga tangan kekar itu lagi-lagi menyakiti perempuan yang sama. Ini kedua kalinya tangan Ramon menyakiti Amira. Gadis itu bahkan terpental, tersungkur. Dahinya kembali berbekas, terbentur sudut meja yang tumpul.“Aku sudah memberimu kesempatan untuk hidup. Aku sudah memperlambat ajalmu. Tapi lihat caramu bicara dan mengajari bagaimana harusnya aku mencintai anakku. Seolah-olah kaulah yang paling mengerti dia. Apa kau sadar? Kau hanya benalu yang tidak tahu malu. Kau lebih mirip wanita jalang! Caramu merayu dan membawa Riko ke sini, sudah cukup membuktikan kalau putraku juga terobsesi pada tubuhmu!” caci Ramon, tanpa filter. Wajahnya memerah dengan urat-urat leher yang tercetak.Rasa sakit di pukul, di cambuk, juga dicampakkan, ternyata tidak sebanding dengan ucapan Ramon kali ini. Sesak di tenggorokan juga dalam dadanya, benar-benar tidak ada obatnya. Jangankan menyangkal untuk membela diri lagi, tenaganya sudah lebih dulu habis sebab perkataan yang melebihi tikaman.Amira hanya bisa menangis sambil berdiri. Dia sesekali tersenyum miris. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, Amira menatap nanar sebentar wajah Ramon seakan merutuk laki-laki itu lewat tatapan, lalu berlalu pergi. Sementara Ramon yang sedari tadi sudah mengepal tangannya, beralih menghempaskan semua barang-barang yang ada di atas meja kerjanya. Entah kenapa, dadanya ikut sesak tepat saat melepas tatapan nanar Amira.Ramon seolah bisa merasakan kepedihan yang Amira rasakan. Sejenak dia sadar, tentang ucapannya yang benar-benar di luar batas.Namun, kenyataan bahwa ada orang yang berdalil, mengaku kaki tangan Amira, menjadi satu-satunya alasan laki-laki itu tidak akan mengubah keputusan meski rasa simpati itu muncul begitu saja.**“Terbanglah ke Nepal. Aku sudah menyiapkan pasport juga uang tambahan,” ucap Farah seraya meletakkan amplop di atas meja.“Kau bilang ini hanya sebatas pengakuan bohong saja. Tapi lihat sekarang, si brengsek itu merebut satu kakiku. Dan sekarang kau menyuruhku kabur? Apa kau sedang bercanda denganku, Farah?”Farah mendesis, muak. “Jack, jangan mulai lagi. Kita sudah sepakat untuk membuat semua ini sederhana.”Laki-laki itu mendengus. “Ini tidak sederhana, Farah! Aku kehilangan kakiku! Apa kau pikir aku akan hidup tenang setelah ini?”Fara memukul meja di depannya. Mata hazel bergores abu-abu itu menatap nyalang pada sosok laki-laki yang duduk di depannya berbeda meja bundar.“Jack, aku sudah memberimu keringanan. Kau tahu? Kau bisa saja kehilangan satu kakimu lagi kalau akhirnya Ramon tahu kau hanya orang suruhan. Aku berbuat ini demi kau, Jack. Jadi turuti apa yang kukatakan, jika kau masih mencintai dirimu juga ... keluargamu,” tegas Farah, lalu tersenyum miring.“Jangan ganggu keluargaku! Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai itu terjadi!” Pria itu balik mengancam.“Baiklah, aku tidak akan menyentuh mereka, asal kau menyepakati perjanjian ini. Pergi dan hilanglah dari kota ini sebentar, setelah semuanya aman kau bisa kembali dan berbuat sesukamu. Apa kau paham?”Jack hanya bisa mendesah, tak ada pilihan. Jika pun berontak, semua itu akan sia-sia. Anak dan istrinya bisa saja jadi sasaran Farah, oknum yang sudah menyuruhnya berbohong di hadapan Ramon.Jack akhirnya meraih amplop berisi uang juga paspor di atas meja. Namun, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu yang janggal.“Tapi, Farah, siapa pelakunya? Aku bahkan tidak tahu yang mana korbannya di sana.”Farah juga ikut bingung. Dia mengerutkan dahi, memikirkan hal yang sama. Jika bukan dia yang membunuh Dired, lantas siapa?“Aku juga sedang mencari tahu itu. Aku yakin, ada satu orang lagi yang menciptakan api setelah dipanaskan oleh Ramon dan Dired. Tapi siapa?” gumam Farah.**Pesan singkat mengambang di jendela pemberitahuan. Ramon yang terlihat ogah-ogahan menatap layar persegi itu, memilih mengabaikan. Tidak akan dia bebani kepalanya dengan sesuatu yang tidak penting lagi. Dired sudah tidak ada, jadi tidak ada hal-hal yang harus merebut atensinya termasuk pesan singkat barusan.Memilih abai dan melanjutkan aktivitasnya yang tengah membaca perkembangan perusahaannya, kali ini aktivitas itu dijeda oleh panggilan video yang masuk.Mau tak mau, tangannya meraih ponsel dan mendapati nama Riko di sana.Sebelum menggulir untuk menjawab, Ramon tiba-tiba saja teringat akan Amira. Bagaimana gadis itu pergi dari hadapan, juga bagaimana dia melayangkan kata-kata kacau itu.“Halo, Ramon. Kenapa kau tidak membaca pesanku? Padahal aku sudah sangat antusias untuk menunjukkan padamu betapa indahnya sesuatu yang baru saja aku berikan. Ah ... aku jadi lupa berterima kasih padamu tadi pagi. Kalau begitu, terima kasih, Teman Lamaku.”Panggilan itu terputus. Ramon hanya mendengar tanpa membalas. Detik kemudian, pesan itu pun merebut penuh atensinya. Meski ragu, namun ibu jarinya tetap membuka.Pesan itu berisikan beberapa foto. Setelah mengunduh, dan meninjaunya, tiba-tiba saja Ramon melemparkan ponselnya sambil mendesis,“Riko Brengsek!”Foto yang baru saja di kirim adalah foto Amira yang sudah dibuat setengah sadar. Entah apa yang Riko lakukan pada gadis itu, namun Amira sudah tergeletak di atas ranjang dengan dress yang tersingkap separuhnya.“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela
Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur
“Kau mau pergi?” tanya Ramon. Amira bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya mendengar pertanyaan Ramon. Sebelumnya dia sudah pernah terjebak oleh kata-kata perintah laki-laki itu, dan kali ini Amira harus benar-benar menelaah baik-baik. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Buru-buru Amira menggeleng. “Tidak, Pak. Aku tidak berniat kabur atau pun pergi tanpa perintah darimu. Aku hanya ....” Ucapan Amira tak berlanjut, saat lembar uang yang baru saja di ambil dari dompet Ramon terhempas tepat di wajahnya.“Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Ramon, tak punya hati. Amira sejenak bergeming lalu meneguk ludah, kemudian tersenyum miris. Kepalanya perlahan mendongak ke atas, guna menahan terjangan air mata yang entah datang dari mana.Baru saja akan bersujud di hadapan Ramon untuk memohon, laki-laki itu sudah lebih dulu melongos melewatinya. Amira mengikuti dengan pasang mata ke mana Ramon melangkah. Tak pernah dibayangkan Amira se
Tepat saat Ramon meninggalkan Amira sendirian, saat itu juga Amira bergegas menemui Farah. Satu-satunya manusia yang masih ingin dimintai pernyataan, adalah perempuan itu. Amira tetap meneguhkan pendirian, kalau kematian Dired tetap Farahlah penyebabnya. Entah kebetulan, atau memang dia dikirim untuk membantu Ramon yang sedang dalam jeratan Farah. Di dalam bar yang tak lagi asing untuknya, Amira menyaksikan bagaimana terpuruknya Ramon dan bagaimana cara Farah menenangkan laki-laki itu. Amira sengaja untuk tidak langsung menghampiri Farah, karena dia yakin perempuan yang sudah dia kenal selama lebih sepuluh tahun itu, pasti tidak akan tinggal diam kalau menyerangnya sekarang. Amira sesekali mendengus merasa miris, melihat aksi Farah yang menyuruh salah satu pelayan untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Ramon. Rendah! Kata itulah yang tercetak dalam dada Amira menggambarkan Farah. Amira juga segera menyembunyikan diri, saat sadar kalau Farah menyuruh anak buahnya untuk mencarin
Ramon terusik. Matanya mengerjap-erjap sembari meringis kecil. Tubuh kekar yang masih cukup kuat itu, memaksa bangun dari baring yang tak dia sadari kapan dan bagaimana dia bisa berada di sini. Sensasi nyeri di kepalanya, mengundang tangan untuk memijat pelipis. Ini bukan efek alkohol. Ramon sangat tahu itu. Ingatan datang membelah kepala Ramon. “Ternyata kau belum berubah, Farah,” desisnya.Tubuh itu beranjak dari atas ranjang beralih ke atas nakas yang terpatri air di atasnya. Ramon segera meneguk separuh gelas, berusaha menetralisir pusing yang masih menggerogoti. Tapi tunggu? Kalau Farah berniat lain padanya lalu siapa yang membawanya ke istananya?Kerutan dahi Ramon tercetak dalam pahatan wajahnya. Dia heran bagaimana bisa dia sampai ke sini, dan tidak terjadi apa-apa. Kakinya segera melangkah, mengikis jarak dari dalam kamar. Satu anak buah berjaga tepat saat dia keluar. “Apa yang terjadi? Siapa yang membawaku pulang?” tanya Ramon. “Amira, Pak. Dia juga menyuruh kami untuk
“Kau mengenalinya?” Amira ikut menatap. Ada laki-laki dengan gerak-gerik mencurigakan. Berpakaian hitam, topi hitam, juga kacamata hitam. Sebenarnya, sebelum Ramon menghampiri Amira tadi, dia sudah lebih dulu memerhatikan pria tersebut. Amira mengerutkan dahi. Sudut bibirnya terangkat, berdecak sebal, “Dia suruhan Farah. Perempuan itu benar-benar. Kapan dia selesai dengan dendamnya? Aku sudah muak!”Ramon menoleh sambil tersadar kalau jarinya masih terangkat. Tangan itu langsung turun, seraya bertanya, “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Farah? Kenapa kau dan dia tampak tak akur?” “Farah adalah orang yang memperkerjakanku di bar juga merawatku sejak usia 12 tahun. Sejak aku dan Sagha memilih hidup sendiri, dan memilih abai tentang rencananya, sejak saat itu kami mulai bertentangan. Juga tentang masalah ....” Amira sengaja menjeda, untuk sebentar menatap Ramon. Apakah tidak masalah jika membahas Dired? Pikirnya. “Masalah apa?” tanya Ramon, penasaran. Ternyata laki-laki itu juga pu
Amira bergerak cepat menghampiri perempuan berbalut seragam hitam putih di sana. Segera kedua tangannya memapah untuk bangun, lalu membiarkan menepi dari Ramon. Selesai itu, Amira segera membalikkan badan untuk berhadapan dengan si biang masalah. Matanya kembali nyalang, tidak setuju dengan tindakan Ramon kali ini. “Pak, apa kau mabuk? Bagaimana bisa kau berbuat tidak baik seperti itu padanya?” hardik Amira. Ramon mengerang dalam dada, lagi-lagi harus berhadapan dengan Amira. Perempuan itu baginya terus menjadi penghalang amarah yang seharusnya sudah redah jika meluapkan seperti biasanya. “Jangan ikut campur! Kau kumasukkan ke dalam rumahku bukan untuk mencampuri urusanku!” balas Ramon, tidak peduli. Amira mendongak penuh. Wajah Ramon terlalu tinggi untuk di tatap dengan kepala datar. Mendengar jawaban Ramon, lagi-lagi membuat dada Amira terbakar. Apa benar kalau laki-laki di hadapannya ini adalah ayah dari kekasihnya? Bagaimana bisa mereka begitu berbeda watak? Bahkan sangat jauh
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny