Nyanyian burung menandakan hari akan segera dimulai. Bella menggeliat, meregangkan otot tubuhnya yang sedikit kaku. Kenangan semalam masih teringat jelas di dalam ingatannya. Dia mengecek jari manisnya, takut semua itu hanya mimpi. Bella tersenyum saat mendapati cincin berlian itu masih melingkar di jari manisnya.
Semuanya terlalu manis untuk Bella lupakan. Sekarang Bella sudah didera rasa rindu pada Raffa. Bella baru sadar, semalam dia tidak meminta kontak lelaki itu. Bodoh! umpatnya dalam hati. Dia kemudian memutuskan untuk menelepon Sindi. Gadis itu harus menjelaskan semuanya pada Bella.
"Ada apa, Bell? Tumben pagi-pagi telpon aku."
Suara Sindi sedikit serak di ujung sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur.
"Hari ini ke rumah aku dong, mau curhat nih. Jelasin ke aku, siapa Raffa sebenarnya," ucap Bella tanpa basa-basi.
"Oke, siap. Aku mandi dulu ya." Sindi langsung menutup telpon dari Bella. Awas saja, nanti Bella akan memanah Sindi dengan banyak pertanyaan.
Bella sendiri bersiap menyambut kedatangan sahabatnya itu. Mandi dan menyiapkan camilan untuk menemani Mereka mengobrol nanti. Setengah jam kemudian Sindi sampai. Wajahnya tampak seperti biasa tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Duduk, Sin." Bella pura-pura jutek.
"Kenapa sih, Bell? Sukses kan kencannya sama Kak Raffa?" Sindi masih tampak biasa saja.
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau Raffa itu kembarannya kak Raffi?" tanya Bella dengan nada ketus. Sindi membuang muka sambil menahan tawa yang hampir meledak.
"Ya ... maaf Bell. Aku sama kak Raffi takut kamu nolak Kak Raffa kalau sampe tau dia kembaran Kak Raffi" ujar Sindi sangat hati-hati. Seperti takut salah bicara.
"Tapi aku malah seneng, tuh," ucap Bella kemudian masih dengan nada ketus. Setelah mencerna kalimat gadis itu, Sindi langsung memeluk sahabatnya erat.
"Se-ri-us?" Sindi belum percaya dengan perkataan Bella.
"Beneran, Sin. Lihat cincin di jari manisku ini. Ini pemberian Raffa semalem." Bella menunjukkan cincin pemberian Raffa. Sindi melihat dengan kagum. Memang cincin yang dia pakai ini sangat indah. Bella sangat suka dengan selera Raffa.
"Waw! Aku nggak nyangka, semalem Kak Raffa ngelamar kamu. Selamat ya, Bell. Aku pasti bantu kamu untuk persiapan pernikahan kalian," Bella melihat Sindi sangat senang.
"Tapi aku takut, Sin."
"Takut kenapa?"
"Aku takut tidak bisa membahagiakan Raffa." Bella mencoba jujur. Meskipun dia telah menerima Raffa, Tapi Bella juga takut. Takut tidak bisa mencintai Raffa dengan tulus dan menganggap lelaki itu hanya bayangan dari Raffi.
"Aku yakin, kamu pasti bisa, Bell. Aku sudah bisa pastikan kalian jadi pasangan yang serasi. Ganteng dan cantik. Cocok," Sindi mencoba menyemangati Bella.
"Minggu depan kalian akan dinikahkan," sambung Sindi. Bella terbelalak. Kaget. Baru semalam dia bertemu Raffa, Seminggu lagi dia harus menghadapi pernikahannya dengan lelaki itu.
"Nggak bisa di undur, Sin? Aku belum ada persiapan apa-apa,"
"Mama udah siapin semuanya. Sejak sebulan yang lalu, aku, mama, papa dan Kak Raffi sudah mengatur semuanya. Kami yakin kamu pasti mau menerima Kak Raffa. Undangan pun sudah dicetak." Bella terharu. Keluarga Sindi sudah sangat baik padanya. Bella tidak menyangka akhirnya dia akan menjadi bagian dari keluarga Wijaya. Meskipun bukan dengan menikahi Raffi.
"Terima kasih, Sin. Kamu dan keluargamu sangat baik padaku. sampai-sampai menjadikan aku menantu."
"Sama-sama, Bel. Aku mau persahabatan kita terus berlanjut. Sebentar lagi kamu akan jadi kakakku. Aku sangat senang," Sindi memelukku lagi.
"Menurut kamu, gantengan mana? Kak Raffi atau kak Raffa?" celetuk Sindi. Harusnya pertanyaan ini jangan ditanyakan. Bella tidak bisa membedakan ketampanan mereka berdua.
"Mereka berdua sama-sama tampan. Tapi aku lebih ngevote Raffa satu angka dari kak Raffi."
"Huuu ... mentang-mentang calon suami dibelain nih, yee." Sindi mencubit pipi Bella gemas. Pipi gadis itu memerah. Entah kenapa Bella mulai merasa perasaannya terhadap Raffa mulai tumbuh.
Sejak malam itu, Bella merasa Raffa adalah orang yang spesial. Dia sukses mendapatkan tempat di hati Bella. Padahal dulu saat masih pacaran dengan orang lain, Bella tidak pernah merasa orang itu sesepesial Raffa. Kalau diibaratkan nasi goreng sepesial, telurnya bukan hanya dua tapi empat.
"Aku minta tolong, Bell ... jaga kakakku dengan baik ya. Sayangi dia, cintai dia. Aku ingin kalian berdua bahagia." Tiba-tiba Sindi menangis tersedu-sedu.
"Insyaallah, Sin. Aku akan berusaha jadi yang terbaik untuk Raffa," Bellamenghapus air mata Sindi dengan tisu. Bella bisa merasakan kesedihan yang mendalam sedang dialami oleh gadis itu.
"Dari kecil, kak Raffa nggak pernah dapat kasih sayang dari papa dan mama. Dulu ekonomi keluarga kami tidak sebaik sekarang. Terpaksa orang tuaku menitipkan kak Raffa pada kakek dan nenek di Amerika. Sekarang kami semua ingin melihat kak Raffa bahagia. Saat dia bilang ingin menikah, satu-satunya gadis yang kami pikir cocok dengan kak Raffa cuma kamu, Bell. Seperti sudah diatur oleh Tuhan, saat Kak Raffa buntutin kamu pertama kali dia langsung cocok. Dan Alhamdulillah, Kamu juga bersedia menikah dengan dia," cerita Sindi panjang lebar.
"Sebenarnya aku sempat curiga saat kamu ngotot banget pengen jodohin aku dengan seseorang yang kamu bilang temen kak Raffi itu. Setiap dekat dengan siapapun kamu pasti cerita. Kalau hanya teman, tidak mungkin kamu sampai setengah memaksa aku,"
Sejak awal kecurigaan Bella memang sudah benar. Tapi Bella sangat bersyukur memiliki calon suami seperti Raffa. Dia sangat menghargai Bella sebagai wanita dan juga dia mampu membuat gadis itu merasa nyaman.
Mungkin ini adalah sebuah kesempatan baik yang Tuhan berikan pada Bella. Tuhan mengirimkan sosok Raffa untuk menjaganya sekaligus memberi dia kesempatan untuk belajar menjadi istri yang baik.
"Untuk semuanya, aku minta maaf. Eh, Bell ... kak Raffa udah siapin rumah buat kalian tinggal nanti, loh. Begitu menikah, kamu akan diajak tinggal di sana, aku yakin, kamu pasti suka dengan rumahnya,"
"Ru-mah?" ujarku sedikit terbata. Bella pikir aku akan tetap tinggal di rumah ini meskipun sudah menikah.
"Iya, rumah baru kalian nanti," jelas Sindi. Dia menatap Bella heran.
"Memangnya harus langsung tinggal bersama ya?" Pertanyaan konyol muncul dari mulut Bella. Sindi langsung tertawa geli.
"Jelas dong, Sil. Setelah menikah kan kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri, jadi ya harus tinggal bareng," jelas Sindi di sela tawanya.
"Iya sih, Sil. tapi aku belum siap ... ."
"Hayoo belum siap apa? Belum nikah udah mesum nih temenku," ledek Sindi.
"Bukan itu yang aku maksud, Sindi! Iiiih, sepertinya kamu nih yang ngeres, " Bella balas meledek Sindi.
"Lama-lama juga terbiasa kok, Bell. Kakakku nggak suka gigit kok. Cukup dipuk-puk dia pasti nurut," kata Sindi asal.
"Ye elah, dikira Raffa kucing apa gimana? Pake dipuk-puk segala. " Bella tertawa lirih.
"Terserah kamu, marmut juga boleh." katanya lagi.
"Makan rumput dong ya?" Bella menimpali candaan calon iparnya.
Bella bahagia menghabiskan waktu hari ini bersama sahabat Sindi. Mereka terus membahas Raffa dan segala macam persiapan pernikahan Bella dan Raffa nanti dengan. Kapanpun, Bella sudah siap.
Hari ini Sindi mengajak Bella untuk pergi ke salon. Dia akan melakukan perawatan diri sebelum menjadi pengantin. Sengaja mereka berangkat pagi hari karena cuaca saat ini sedang tidak bersahabat. Musim kemarau menyebabkan suhu udara menjadi sangat panas di siang hari dan hujan di sore hari.Bella sebenarnya tidak terlalu hobi melakukan perawatan salon. Selain pemborosan, Bella lebih suka perawatan sendiri di rumah. Tapi untuk hari ini dia menurut saja. Kata Sindi, ini keinginan Raffi.Sambil menunggu Sindi datang, Bella memandangi foto Raffa yang sekarang Bella jadikan wallpaper. Beberapa hari lalu Sindi mengirimkan padanya via e-mail. Itupun Bella harus merengek untuk mendapatkan foto itu. Sayangnya Raffa tidak mengizinkan Sindi memberikan kontaknya pada Bella.Rasanya Bella sudah sangat rindu pada Raffa. Dia Sangat ingin berjumpa dengan lelaki itu. Meskipun hanya satu menit saja tidak
Bella sekarang ada di depan cermin. Beberapa perias pengantin pilihan keluarga Dirgantara merias wajah gadis itu. Akhirnya hari yang Bella tunggu datang juga. Hari ini ijab qabul antara dia dan Raffa Dirgantara dilangsungkan. Momen yang mungkin tidak akan dia lupakan seumur hidup.Sindi mendampingi Bella sejak lepas subuh tadi. Katanya saat ini Raffa sedang melaksanakan peresmian ikatan sakral mereka di sebuah masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka.Setelah ijab qabul dilaksanakan, Raffa akan menjemput Bella untuk pelaksanaan resepsi."Saya terima nikah dan kawinnya, Bella Ananda dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," Sindi memutar pesan suara kiriman Raffi.Artinya sekarang Bella sudah sah menjadi istri Raffa. Tiba-tiba jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Bisa jadi, wajahnya akan pucat pasi jikatidak ditutupi make-up. Sejak semalam dia sudah tidak bisa tidur
Raffa menggandeng Bella kembali ke kamar. Badan wanita itu terasa sakit semua. Resepsi adalah momen yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Meskipun hanya duduk sambil berpose layaknya model, namun rasa lelah akan langsung mendera setelah acara berakhir."Biar aku gendong. Kamu pasti capek, kan?"kata Raffa sambil menutup pintu kamar sekaligus menguncinya.Tanpa menunggu jawaban Bella, Raffa mengangkat tubuh ramping wanita itu dan menurunkannya pelan di ranjang mereka. Bella bersyukur, dia bisa kembali merasakan nikmatnya merebahkan diri ke atas kasur. Hampir seluruh otot di tubuh Bella melemas, tidak kaku seperti tadi saat mereka berada di atas pelaminan."Aku mau mandi dulu sebentar, kamu ganti baju, gih. Sindu sudah membelikanmu banyak baju tidur. Ambil saja di situ." Raffa menunjuk sebuah lemari baju yang terletak di pojok kamar. Setelah itu dia berjalan ke arah kamar mandi. Sesaat kemu
Bella terbangun saat cahaya matahari mulai menyelinap masuk menembus hordeng jendela kamarnya. Disebelah wanita itu ada Raffa sudah tidak ada. Tubuhnya masih polos tanpa sehelai benang tertutup selimut putih nan tebal. Segera dia menyingkap selimut itu dan menuju ke kamar mandi untuk mengecek apakah Raffa berada di sana atau tidak. Ternyata lelaki itu tidak ada di dalam ruangan sempit itu.Bella kemudian memutuskan untuk mandi, membersihkan dirinya dari sisa semalam. Setelah berganti pakaian dan sedikit merias wajah, dia segera turun ke lantai dasar. Suasana sepi. Tidak ada seorangpun di sana. Keluarga Dirgantara seakan tak tersisa. Di meja makan telah tersedia menu sarapan, tetapi itu tidak mampu menarik perhatian Bella."Selamat pagi, Non. Tuan berpesan, setelah Nona bangun harus segera sarapan," kata seorang asisten rumah tangga begitu ramah pada Bella. Ya, tentu saja Bella mengenal pekerja wanita itu. Dia sudah se
Bella menarik tangan Sindi menuju taman rumah sakit. Dia sengaja memilih sebuah bangku yang terletak di ujung taman. Ada pohon rindang di atasnya. Angin bertiup sepoi-sepoi, membawa terbang sedikit rasa sakit yang masih ada di hati wanita itu."Sin, ada yang ingin aku tanyakan padamu, ini tentang kak Raffi. Tapi kamu harus janji, katakan semuanya dengan jujur," ucapnya mantap pada Sindi. Dia merasa pantas untuk mengetahui semuanya, tentang apa yang terjadi pada Raffi."Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan, Bell? Aku siap menjawabnya." Sindi sudah menduga hal ini akan terjadi. Cepat atau lambat, kebenaran tentang apa yang terjadi pada Raffi pasti akan terbongkar."Sebenarnya, apa sakit kak Raffi semakin parah karena aku?" tanya Bella kemudian.Biarlah dia dibilang terlalu percaya diri, tetapi dia yakin kalimat yang baru saja dia ucapkan itu merupakan sebuah kebenaran."M
Bella benar-benar kembali ke rumahnya. Masih sulit baginya untuk menerima kenyataan yang baru saja dia ketahui. Bella menyesal telah melewati malam pengantin bersama orang yang ternyata tidak pernah mencintainya. Setidaknya itu yang ada di pikiran Bella saat ini. Dia membenci pernikahan settingan itu. Apapun keadaan Raffi, Bella bisa menerima. Mengapa Raffi malah memberikan dia begitu saja pada kembarannya dengan alasan konyol. Bella tidak masalah meskipun Raffi penyakitan. Gadis itu memiliki perasaan yabg tulus. Lebih baik pernah memiliki, daripada harus berada dalam situasi aneh ini. Bella ingin merawat Raffi sebagai seorang kekasih. Rasa yang ada untuk Raffa telah lenyap begitu saja. Menguap seiring terbukanya rahasia besar yang ditutupi oleh seluruh keluarga Dirgantara. Bella masih tidak percaya, bagaimana bisa Raffa menidurinya, padahal dia mungkin tidak memiliki perasaan apapun, walau secara hukum Raffi memang suami Bella.&nb
Pagi ini Bella dijemput Raffa untuk menjenguk Raffi ke rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu ceria. Lelaki itu memakai pakaian dengan sangat rapi. Bella mengakui kalau hari ini Raffa terlihat sangat tampan.Semalam, setelah obrolan panjang itu Raffa memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga Dirgantara. Dia memberi Bella kesempatan untuk memenangkan diri."Sudah siap?" tanya Raffa pada Bella diiringi senyum yang menawan."Sudah, Raf. Yuk." Bella berjalan ke arah mobil Raffa dan masuk. Lelaki itu mengikuti langkahnya, membukakan pintu mobil untuk Bella dan berlari kecil menuju ke sisi yang lain. Sekarang Raffa sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Bella.Lagu Jaz yang berjudul Dari Mata mengiringi perjalanan mereka. Keduanya tampak menikmati lagu romantis tersebut.Sepanjang perjalanan Raffa memutar lagu itu. Bella merasa aneh, mengapa d
Karena berputar-putar setelah pulang dari rumah sakit, akhirnya mereka sampai di rumah Bella hampir tengah malam. Saat tiba di sana, tiba-tiba listrik padam. Bella memiliki pbobia gelap. Saat keadaan gelap dan dia sendirian biasanya dada wanita itu akan terasa sesak dan sulit bernapas."Raffa, aku phobia gelap. Aku tidak akan bisa tidur," keluhnya. Bella terlihat mulai panik."Bagaimana kalau aku menemani kamu tidur? Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok. Aku hanya ingin menenangkan kamu," kata Raffa meyakinkan Bella. Dia tidak punya pilihan.Bella berfikir dahulu hingga beberapa saat. Benar juga, Raffa suaminya. Memang ada kemungkinan dia akan mau melukai Bella? Walaupun terjadi sesuatu, bukankah memang dia berhak melakukannya?"Boleh, Raf. Ayo masuk." Bella menggandeng erat tangan Raffa.Tentu saja setelah memarkirkan mobil di garasi. Mereka berdua masuk ke kamar Bella d
Sejak insiden antara Raffa, Bella, dan Raffi terungkap kemarin, Bella belum pernah lagi datang ke rumah keluarga Dirgantara. Terakhir Bella ke sana saat mengambil koper dan melihat isi kamar Raffi.Hari ini Bella dan Raffa mau berkunjung ke kediaman keluarga Dirgantara, yang tidak lain adalah rumah orang tua mereka. Bella dibantu Raffa memasak beberapa menu favorit keluarga. Sesampainya di sana, mama dan papa Raffa menyambut mereka dengan hangat. Sindi memeluk Bella erat."Aku fikir kamu masih marah gara-gara kejadian kemarin, Bell," ujar Sindi saat kami sama-sama menyiapkan makan siang di dapur."Aku sudah belajar menerima kenyataan, Sin. Lagipula Raffa selalu perhatian danbaik sama aku," katanya sambil menata piring di meja makan."Alhamdulillah, aku seneng banget dengernya, Bell. Kak Raffa memang baik. Dia orang yang bertanggung jawab dan tulus. Aku yakin dia bisa bahagiain kamu kok.
Karena sudah memutuskan untuk tinggal bersama, Bella dan Raffa berniat belanja beberapa kebutuhan rumah, terutama bahan makanan. Stok di rumah Bella sudah menipis, terlebih mereka akan membutuhkan lebih banyak mulai sekarang."Ini kartu ATM buat untuk kamu. Kodenya 121314, kamu boleh pakai untuk belanja apapun sesukamu, Bella" Raffa menyodorkan kartu berwarna biru kepada istrinya."Mas, jangan berlebihan. Aku masih punya tabungan kok." Bella mencoba untuk menolak pemberian Raffa dengan halus."Ini kewajiban aku, loh. Aku ini suamimu yang harus memberimu nafkah. Jadi tolong di terima, ya." Raffa memaksa Bella untuk menerima pemberiannya."Baiklah, aku terima. Terimakasih, Mas." Bella memasukkan kartu itu ke dalam dompet. Raffa tersenyum sumringah. Dia tampak sangat bahagia wanita itu menghargai pemberiannya.Lalu lelaki itu menggandeng Bel
Karena berputar-putar setelah pulang dari rumah sakit, akhirnya mereka sampai di rumah Bella hampir tengah malam. Saat tiba di sana, tiba-tiba listrik padam. Bella memiliki pbobia gelap. Saat keadaan gelap dan dia sendirian biasanya dada wanita itu akan terasa sesak dan sulit bernapas."Raffa, aku phobia gelap. Aku tidak akan bisa tidur," keluhnya. Bella terlihat mulai panik."Bagaimana kalau aku menemani kamu tidur? Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok. Aku hanya ingin menenangkan kamu," kata Raffa meyakinkan Bella. Dia tidak punya pilihan.Bella berfikir dahulu hingga beberapa saat. Benar juga, Raffa suaminya. Memang ada kemungkinan dia akan mau melukai Bella? Walaupun terjadi sesuatu, bukankah memang dia berhak melakukannya?"Boleh, Raf. Ayo masuk." Bella menggandeng erat tangan Raffa.Tentu saja setelah memarkirkan mobil di garasi. Mereka berdua masuk ke kamar Bella d
Pagi ini Bella dijemput Raffa untuk menjenguk Raffi ke rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu ceria. Lelaki itu memakai pakaian dengan sangat rapi. Bella mengakui kalau hari ini Raffa terlihat sangat tampan.Semalam, setelah obrolan panjang itu Raffa memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga Dirgantara. Dia memberi Bella kesempatan untuk memenangkan diri."Sudah siap?" tanya Raffa pada Bella diiringi senyum yang menawan."Sudah, Raf. Yuk." Bella berjalan ke arah mobil Raffa dan masuk. Lelaki itu mengikuti langkahnya, membukakan pintu mobil untuk Bella dan berlari kecil menuju ke sisi yang lain. Sekarang Raffa sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Bella.Lagu Jaz yang berjudul Dari Mata mengiringi perjalanan mereka. Keduanya tampak menikmati lagu romantis tersebut.Sepanjang perjalanan Raffa memutar lagu itu. Bella merasa aneh, mengapa d
Bella benar-benar kembali ke rumahnya. Masih sulit baginya untuk menerima kenyataan yang baru saja dia ketahui. Bella menyesal telah melewati malam pengantin bersama orang yang ternyata tidak pernah mencintainya. Setidaknya itu yang ada di pikiran Bella saat ini. Dia membenci pernikahan settingan itu. Apapun keadaan Raffi, Bella bisa menerima. Mengapa Raffi malah memberikan dia begitu saja pada kembarannya dengan alasan konyol. Bella tidak masalah meskipun Raffi penyakitan. Gadis itu memiliki perasaan yabg tulus. Lebih baik pernah memiliki, daripada harus berada dalam situasi aneh ini. Bella ingin merawat Raffi sebagai seorang kekasih. Rasa yang ada untuk Raffa telah lenyap begitu saja. Menguap seiring terbukanya rahasia besar yang ditutupi oleh seluruh keluarga Dirgantara. Bella masih tidak percaya, bagaimana bisa Raffa menidurinya, padahal dia mungkin tidak memiliki perasaan apapun, walau secara hukum Raffi memang suami Bella.&nb
Bella menarik tangan Sindi menuju taman rumah sakit. Dia sengaja memilih sebuah bangku yang terletak di ujung taman. Ada pohon rindang di atasnya. Angin bertiup sepoi-sepoi, membawa terbang sedikit rasa sakit yang masih ada di hati wanita itu."Sin, ada yang ingin aku tanyakan padamu, ini tentang kak Raffi. Tapi kamu harus janji, katakan semuanya dengan jujur," ucapnya mantap pada Sindi. Dia merasa pantas untuk mengetahui semuanya, tentang apa yang terjadi pada Raffi."Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan, Bell? Aku siap menjawabnya." Sindi sudah menduga hal ini akan terjadi. Cepat atau lambat, kebenaran tentang apa yang terjadi pada Raffi pasti akan terbongkar."Sebenarnya, apa sakit kak Raffi semakin parah karena aku?" tanya Bella kemudian.Biarlah dia dibilang terlalu percaya diri, tetapi dia yakin kalimat yang baru saja dia ucapkan itu merupakan sebuah kebenaran."M
Bella terbangun saat cahaya matahari mulai menyelinap masuk menembus hordeng jendela kamarnya. Disebelah wanita itu ada Raffa sudah tidak ada. Tubuhnya masih polos tanpa sehelai benang tertutup selimut putih nan tebal. Segera dia menyingkap selimut itu dan menuju ke kamar mandi untuk mengecek apakah Raffa berada di sana atau tidak. Ternyata lelaki itu tidak ada di dalam ruangan sempit itu.Bella kemudian memutuskan untuk mandi, membersihkan dirinya dari sisa semalam. Setelah berganti pakaian dan sedikit merias wajah, dia segera turun ke lantai dasar. Suasana sepi. Tidak ada seorangpun di sana. Keluarga Dirgantara seakan tak tersisa. Di meja makan telah tersedia menu sarapan, tetapi itu tidak mampu menarik perhatian Bella."Selamat pagi, Non. Tuan berpesan, setelah Nona bangun harus segera sarapan," kata seorang asisten rumah tangga begitu ramah pada Bella. Ya, tentu saja Bella mengenal pekerja wanita itu. Dia sudah se
Raffa menggandeng Bella kembali ke kamar. Badan wanita itu terasa sakit semua. Resepsi adalah momen yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Meskipun hanya duduk sambil berpose layaknya model, namun rasa lelah akan langsung mendera setelah acara berakhir."Biar aku gendong. Kamu pasti capek, kan?"kata Raffa sambil menutup pintu kamar sekaligus menguncinya.Tanpa menunggu jawaban Bella, Raffa mengangkat tubuh ramping wanita itu dan menurunkannya pelan di ranjang mereka. Bella bersyukur, dia bisa kembali merasakan nikmatnya merebahkan diri ke atas kasur. Hampir seluruh otot di tubuh Bella melemas, tidak kaku seperti tadi saat mereka berada di atas pelaminan."Aku mau mandi dulu sebentar, kamu ganti baju, gih. Sindu sudah membelikanmu banyak baju tidur. Ambil saja di situ." Raffa menunjuk sebuah lemari baju yang terletak di pojok kamar. Setelah itu dia berjalan ke arah kamar mandi. Sesaat kemu
Bella sekarang ada di depan cermin. Beberapa perias pengantin pilihan keluarga Dirgantara merias wajah gadis itu. Akhirnya hari yang Bella tunggu datang juga. Hari ini ijab qabul antara dia dan Raffa Dirgantara dilangsungkan. Momen yang mungkin tidak akan dia lupakan seumur hidup.Sindi mendampingi Bella sejak lepas subuh tadi. Katanya saat ini Raffa sedang melaksanakan peresmian ikatan sakral mereka di sebuah masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka.Setelah ijab qabul dilaksanakan, Raffa akan menjemput Bella untuk pelaksanaan resepsi."Saya terima nikah dan kawinnya, Bella Ananda dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," Sindi memutar pesan suara kiriman Raffi.Artinya sekarang Bella sudah sah menjadi istri Raffa. Tiba-tiba jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Bisa jadi, wajahnya akan pucat pasi jikatidak ditutupi make-up. Sejak semalam dia sudah tidak bisa tidur